Seorang pria mengguncang Kota Batam hari-hari ini. Tidak tahu apa alasannya tiba-tiba ia menyerang ustaz yang sedang memberi ceramah di masjid. Kelakuan lain yang tak kalah heboh ialah saat ia mengaku sebagai penganut paham komunisme. Banyak reaksi yang muncul. Apalagi beberapa hari lagi Indonesia memperingati peristiwa G30S/PKI atau Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia.
HMS mencoba mencari tahu latar belakang pria itu. Sekaligus menguji klaimnya yang mengaku sebagai seorang komunis. Hasil wawancara bersama beberapa sumber mulai dari akademisi sampai orang-orang yang pernah bertemu dan mengenal pria itu, didapat kalau perilaku pria itu lebih mengarah seperti orang stres ketimbang penganut paham yang punya sejarah kelam di Indonesia.
SELASA siang, 21 September 2021, berdasarkan sepotong informasi dari salah satu jemaat Masjid Jami’ Baitusy Syukur Jodoh, tempat pelaku menyerang Ustaz Abu Syaid Chaniago, pelaku katanya sempat terlihat oleh beberapa warga di sekitar Komplek Jodoh Center. (baca: Pelaku Penyerangan Ustaz di Batam: Saya Komunis).
HMS pun menuju lokasi yang jaraknya hanya sekitar 200 meter dari masjid. Di sana, HMS mampir ke sebuah warung kelontong dekat pangkalan ojek. Budi, salah satu warga yang rutin nongkrong di sana mengatakan, sekitar pukul 10.00 WIB, beberapa jam sebelum penyerangan, pria itu sebetulnya sempat datang ke pangkalan sembari menenteng nasi bungkus dan memakannya di sana.
Budi kemudian menawarkan sebotol air mineral kepada pria itu dan diterima dengan sopan. “Usai makan dia juga minta rokok dan saya kasih. Setelah bilang terima kasih, dia langsung pergi entah ke mana,” katanya.
Pelaku memang sering mondar-mandir di depan warung plus pangkalan ojek itu dalam satu bulan terakhir. Selama itu, ia tidak pernah terlihat mengganggu orang-orang. Tapi, kalau melihat dari penampilan, Budi mengatakan, “Nggak beres memang dia itu,” katanya sambil memberi garis miring menggunakan jari telunjuknya. “Selama saya lihat memang dia pakai baju dan celana yang itu-itu saja, ke mana-mana juga tidak pernah pakai alas kaki, nyeker aja gitu. Tapi anehnya, beberapa jam sebelum kejadian pemukulan ustaz itu, dia ke sini pakai sendal jepit. Entah dapat dari mana.”
Menurut Budi, selama ini pria itu tinggal di gedung kosong di sebelah Hotel Oasis, Batu Ampar, Kota Batam. Di sana, ia tinggal bersama beberapa orang pengumpul barang-barang bekas.
“Coba ke sana saja, kalau kami memang tahunya dia itu stres atau gila gitu. Saya bahkan kemarin mau nanya nomor [togel] ke dia, tapi takutnya dia malah ngamuk,” katanya tertawa.
HMS kemudian mendatangi gedung kosong yang dimaksud Budi, yang menjadi tempat tinggal pria itu selama ini. Gedung kosong itu memiliki empat lantai, kondisinya terlihat tidak terurus. Dindingnya didominasi warna semen dengan lumut yang menghitam di banyak sisi. Pekarangannya ditumbuhi rerumputan tinggi dan beberapa pohon yang tak kalah tinggi pula.
PADA bagian depan, terdapat pagar dari teralis berwarna hitam. Jalan setapak jadi satu-satunya akses masuk bagi kendaraan yang melintas. Di sana, HMS menjumpai Sihombing dan Awan, dua dari empat warga yang belakangan diketahui diberi mandat oleh pemilik gedung untuk menjaga bangunan itu.
Awan mengatakan, dirinya telah 15 tahun menjaga gedung kosong itu. Menurutnya, pelaku penyerangan ustaz itu datang sekitar lima bulan lalu tanpa membawa apapun selain baju yang melekat pada badannya. Saat itu, Awan menanyakan asalnya. Namun, dijawab dengan sembrono dan tidak lengkap.
“Saya dari Malaysia, tinggal di Kampung Aceh,” kata Awan meniru ucapan pelaku saat itu.
Awan menjelaskan, pelaku selalu tertawa atau bahkan diam saat ditanya soal apapun. Akan tetapi, ia memang tidak pernah mengganggu siapapun. Padahal banyak anak-anak yang bermain di sana. Atas dasar itulah Awan mengizinkannya menetap di sana.
“Dulu dia sempat tidur di lantai dasar, tapi karena di sini sering kami pakai untuk nongkrong akhirnya saya suruh dia tinggal di lantai dua,” kata Awan.
SOAL makanan ada satu hal yang paling Awan ingat, yaitu pelaku selalu terlihat memakan buah busuk yang dipungutnya di Pasar Jodoh. Sepengetahuannya juga, pria itu tidak pernah memakan nasi selama tinggal di gedung tua itu. Gelagatnya pun dinilai absurd oleh warga lain.
“Tiap bangun tidur dia pasti minum air di bak penampung air di belakang gedung ini. Nyeduh kopi pun pakai air itu, entah dapat duit dari mana juga kami tidak tahu. Tapi selama ini dia tidak pernah mukul atau mengganggu orang lain, makanya kami kaget saat tahu kejadian ini,” kata Awan.
Sementara menurut Sihombing, pelaku selalu bangun siang dan keluar sebentar kemudian kembali ke gedung tua itu sembari membawa buah-buah busuk yang dipungutnya di Pasar Jodoh. Sihombing menjelaskan kalau pelaku tidak pernah keluar dari gedung tua dalam kurun waktu yang lama.
“Dia itu keluar paling 1-2 jam lha, tak pernah itu lama-lama di luar,” katanya.
Dia menuturkan, istrinya bahkan sempat melihat pelaku menulis tulisan dengan aksara arab di sebuah kertas yang tak lama langsung dibakar oleh pelaku sendiri. Meski sudah berbulan-bulan tinggal di sana, baik Awan maupun Sihombing mengaku tidak mengetahui sama sekali asal-usul pelaku. Keduanya bahkan mengutarakan hal sama saat beberapa anggota kepolisian datang ke gedung tua itu.
“Saya bilang ke polisi kalau dia itu nggak waras, ngapain ditahan? Percuma juga kan,” katanya.
HMS juga sempat melihat ‘tempat tinggal’ pelaku di lantai dua gedung tua itu. Di sana, terlihat beberapa kulit berbagai macam buah yang mengering. Hal yang menguatkan pernyataan Awan kalau pelaku sering membawa dan memakan buah busuk. Terlihat pula satu karpet yang digunakan pelalu sebagai alas tidur. Di sekelilingnya terdapat juga puntung rokok dari berbagai merek.
Menurut Awan, pelaku juga sering membawa puntung rokok yang dijumpainya di jalan. Sekali waktu, Awan bahkan melihat kantung baju di bagian dada dan kantung celana pelaku penuh dengan puntung-puntung rokok.
Menguji Klaim Pelaku yang Mengaku Seorang Komunis
AKADEMISI dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Putera Batam (UPB), Sholihul Abidin mengatakan, komunisme adalah sebuah paham atau ideologi. Menurutnya, penganut paham komunisme tidak mesti atau cenderung menyerang pemuka agama tertentu.
“Bahwa penganut paham komunis ini tidak mempercayainya tuhan atau ateis, banyak dari mereka iya. Tapi kalau dia pasti menyerang pemuka agama tentu tidak,” katanya.
Dia menjelaskan, jika dilihat dari sejarahnya, penyerangan yang dilakukan orang-orang komunis kepada sebuah kelompok agama justru dilakukan atas dasar politis. Paham non komunis pun banyak yang melakukan kekerasan terhadap kelompok atau pemuka agama lain.
“Memang, secara umum mereka yang beragama dan tidak akan selalu kontra dalam banyak hal. Jadi kalau dia komunis lalu menyerang pemuka agama, ya tidak begitu konsepnya. Atau yang beragama menyerang komunis kan tidak juga,” kata Abidin.
Lebih jauh, menurut Abidin jika ditanya apakah kejadian penyerangan terhadap Ustaz Abu Syaid Chaniago itu merupakan momentum jelang Gerakan 30 September (G30/S), dia tidak menapiknya. Terlepas dari apakah benar atau tidak pelaku menganut paham komunisme. Jika ditelaah, kata dia, seorang yang menganut paham komunisme tidak bisa hanya mengaku dirinya komunis. Lebih lagi paham itu dilarang di Indonesia.
“Komunisme juga tidak menjadi jawaban masa depan. Karena banyak negara-negara komunis yang justru tertinggal dengan negara dengan paham demokrasi. Komunis ini kan pada dasarnya musuh kapitalis. Itu saja sebenarnya. Kita tidak bicara agama apapun lah kalau pembahasannya soal komunisme ini,” kata Abidin. “Kalau ada kemudian ada orang menyerang pemuka agama lalu mengaku sebagai penganut paham komunisme, itu sebenarnya jadi tanda tanya,” katanya.
SEJAUH yang dia pelajari dan pahami sebagai akademisi, komunisme meskipun saat ini tidak banyak dianut masyarakat, tidak serta merta bakal menyerang pemuka agama. Dalam kasus penyerangan itu, dia bahkan lebih menekankan kalau perbuatan pelaku tidak bisa dibenarkan. Menyerang orang lain tanpa dasar jelas tindakan kriminal.
“Saya khawatirnya justru orang-orang yang lebih radikal pemahamannya, yang berani melakukan penyerangan seperti itu. Paham komunis juga sudah tidak ada kan sekarang, berbeda saat zaman kolonial dulu,” kata dia.
Menurut Abidin, klaim pelaku sebagai seorang komunis tidak perlu ditanggapi dengan serius. Meski dia mengakui bahwa siapapun sah-sah saja mengklaim dirinya menganut paham apapun, tidak terkecuali komunisme. Namun, menurutnya paham komunisme jelas dilarang di Indonesia.
“Lalu di Indonesia justru orang-orang tidak terbuka menjelaskan paham yang dia anut, lebih lagi komunisme. Mendeklarasi diri sebagai penganut paham komunisme justru tidak umum di sini, untuk sekarang ya. Kalau ada yang begitu, aneh jadinya. Apalagi melihat kalau melihat latar belakang pelaku” katanya.
Gaduh Suara Ibu-Ibu
Andi, Pengurus Harian Masjid Jami’ Baitusy Syukur Jodoh, tengah mengerjakan tralis di sebelah masjid. Tralis yang dikerjakannya itu rencananya hendak dipasang di bagian atas pagar samping masjid, yang memang peruntukkannya untuk mencegah orang masuk dari sana pada malam hari.
Sambil memilah besi, Andi turut mendengarkan ceramah yang disampaikan Ustaz Abu Syaid Chaniago dari dalam masjid. Namun, tiba-tiba muncul suara ibu-ibu minta tolong kepadanya. Dia kemudian melihat kegaduhan di dalam masjid. Tanpa berpikir panjang, Andi kemudian masuk ke dalam masjid melalui jendela.
“Kejadiannya memang begitu cepat, saya lihat ibu-ibu pengajian juga sudah heboh kan saat itu,” katanya kepada HMS, Selasa, 21 September 2021.
Andi mengaku, saat itu melihat Ustad Abu Syaid sempat terkapar di lantai usai ditendang pelaku pada bagian wajahnya. Dengan dibantu pengurus masjid lain, dia pun langsung mengamankan pelaku sebelum bertindak lebih jauh.
Andi berkisah, pelaku cenderung menunjukkan sikap biasa-biasa saja usai diamankan. Sebab, kata dia, pelaku sempat meminta izin mengambil sendalnya di luar masjid sebelum dibawa ke kantor polisi. Dia pun ragu jika pelaku dianggap memiliki gangguan kejiwaan. Serta merasa aneh pula jika pelaku dipandang sebagai manusia normal atau biasa-biasa saja.
Berdasarkan runtutan cerita Andi, pelaku sempat ditahan di 3 kantor kepolisian yang berbeda. Pertama, pelaku diamankan di Pos Polisi Lalu Lintas Jodoh. Tak lama berselang pelaku kemudian dibawa ke Polsek Batu Ampar, sebelum akhirnya dibawa ke Polresta Barelang.
“Pemeriksaan di Polresta Barelang semuanya dipanggil. Saya, ketua masjid, salah satu ibu-ibu pengajian, dan petugas keamanan masjid. Ya selama pemeriksaan saya hanya menjawab apa yang saya tahu saja,” katanya.
Dia dan beberapa orang mengaku sempat dimintai keterangan polisi sempat, kemudian dipertemukan dan menyaksikan langsung proses interogasi terhadap pelaku. Dari kesaksiannya, Andi melihat bahwa pelaku bersikap aneh dan berbicara ngelantur. Beberapa pertanyaan polisi pun, kata Andi, tidak dijawab oleh pelaku. Yang diketahuinya hanyalah asal pelaku yang mengaku merupakan warga Aceh.
“Orang Aceh itu kan bagus-bagus agamanya, kok kamu melakukan hal ini?” kata Andi meniru ucapan polisi kepada pelaku. Kemudian si pelaku menjawab, “Kelihatannya saja begitu kalau dari luar Pak, kalau dilihat dari dalam bobrok itu. Saya ini komunis.”
SABAN Senin pagi, memang rutin digelar pengajian yang dikhususkan untuk ibu-ibu. Pengajian di Masjid Jami’ Baitusy Syukur tiap Senin itu pun diberi nama Zikir Bismillah Pimpinan Ustaz Asep, dan telah lama berhenti karena pandemi. Gelaran terakhir bahkan dilakukan pada Mei 2020 silam.
Di dalam pengajian itu, diisi dengan berbagai kegiatan seperti salat duha berjamaah, zikir, salawatan, dan diselingi dengan ceramah dari ustaz. Nama Ustaz Asep yang tersemat pada nama pengajian sendiri merujuk pada nama seorang ustaz yang menginisiasi dan biasanya mengisi kegiatan itu. Namun, pada hari kejadian penyerangan, Ustaz Asep berhalangan hadir dan kemudian digantikan dengan Ustaz Abu Syaid Chaniago.
Andi menjelaskan, sebelum adanya kasus penyerangan itu, Zikir Bismillah baru dilakukan selama tiga kali. Sehingga, pengurus serta jemaat masjid amat terpukul dengan kejadian penyerangan saat pengajian itu. Pasalnya, kata dia, usai kejadian itu pihak kepolisian meminta untuk mengabari setiap gelaran kegiatan yang sekiranya mengundang banyak massa.
“Mungkin tujuannya biar ada rasa nyaman untuk jemaat ya, tapi ada penjagaan begitu ada rasa waswas juga. Pihak kelurahan juga meminta kami untuk mempertimbangkan ulang kalau-kalau mau membuat kegiatan serupa,” katanya.
SECARA pribadi, Andi mengaku heran dengan pemukulan yang dialami Ustaz Abu Syaid. Menurutnya tidak ada yang aneh dari materi ceramah tersebut. Pun Ustaz Abu Syaid sendiri setahun belakangan memang diakuinya sering mengisi ceramah-ceramah di Masjid Jami’ Baitusy Syukur Jodoh.
Dari semua keterangan narasumber di atas, ada satu kesamaan tanggapan. Entah ia ditunggangi atau memang benar dia seorang komunis, pria itu dianggap stres atau bahkan tidak waras. Ada juga yang menyebut kalau ia adalah orang dengan gangguan jiwa, atau disingkat ODGJ—sebutan yang lebih manusiawi untuk orang gila menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa— (baca: Bung Raja: Kami Ini Manusia, Bukan Binatang)
Dikutip dari halodoc.com, stres adalah reaksi tubuh ketika seseorang menghadapi tekanan, ancaman, atau suatu perubahan. Seseorang biasanya mengalami stres ketika tuntutan yang diberikan padanya lebih besar dari kemampuannya untuk mengatasinya. Stres bisa dialami oleh siapa saja, mulai dari anak-anak sampai orang tua. Stres merupakan reaksi yang sepenuhnya wajar dialami semua orang dari waktu ke waktu ketika dihadapkan pada situasi yang membuat mereka merasa tertekan.
Stres bisa dibagi menjadi dua jenis, yaitu stres eksternal dan internal. Stres eksternal adalah stres yang sumbernya berasal dari lingkungan sekitar. Hal ini bisa mencakup trauma, pengalaman hidup, atau masalah sehari-hari. Sedangkan stres internal adalah stres yang bersumber dari dalam diri kita sendiri dan merupakan jenis stres yang paling umum.