Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kepulauan Riau mengaku belum mengetahui persoalan pembukaan lahan oleh PT Papan Jaya (Panbil Group) di Muka Kuning, Sei Beduk, Kota Batam. Padahal proyek cut and fill di sana sudah berjalan sekitar satu tahun, berdekatan dengan hutan konservasi dan daerah tangkapan air waduk pula.
Kabid Konservasi Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum DLHK Kepri, Agus Purwoko, mengatakan, dirinya bahkan baru mengetahui kalau ada proyek cut and fill atau gali uruk di hutan konservasi Muka Kuning tersebut. Meski begitu, dia menjelaskan bahwa hutan konservasi sebenarnya bisa digunakan asal lebih dulu dilakukan pelepasan. (baca: Panbil Group Diduga Menggunduli Hutan Konservasi Tanpa Izin).
“Cuma apakah itu sudah diurus atau belum, saya belum tahu,” katanya saat dihubungi, Jumat, 17 September 2021 kemarin.
Terkait adanya dugaan pelanggaran dalam proyek itu, Agus mengaku akan memeriksanya terlebih dahulu ke bidang kehutanan. “Kalau memang perlu, kami akan turun ke lokasi yang dimaksud. Kasus ini juga menjadi catatan saya,” katanya.
Menjadi tidak masalah yang dia maksud adalah karena sudah banyak hutan konservasi yang dilepaskan dan dimanfaatkan menjadi perkebunan. “Seperti yang di Bintan salah satunya. Hutan konservasi dilepaskan menjadi perkebunan sawit.”
Sony dari Akar Bhumi Indonesia mengatakan, pihaknya sudah menyoroti kasus cut and fill di hutan konservasi Muka Kuning itu sejak satu tahun belakangan. Meski belum memberikan laporan resmi, Akar Bhumi Indonesia sudah menginformasikan kasus itu langsung ke Kepala DLHK Kepri.
“Memang sampai saat ini belum ada respon sama sekali. Tapi minggu ini kami tengah menyusun laporan resmi yang akan dilayangkan ke DLHK Kepri,” kata Sony.
Lebih jauh, Sony menjelaskan bahwa proyek cut and fill itu dikhawatirkan memengaruhi stok dan kualitas air di Dam Duriangkang. Hutan konservasi itu yang mestinya berperan sebagai daerah tangkapan air akan kehilangan fungsinya saat Batam dilanda hujan.
“Selain itu, proyek cut and fill juga akan mengakibatkan sendimentasi di daerah aliran sungai (DAS) yang tidak jauh dari lokasi. DAS juga dibuatnya keruh,” katanya.
Sony juga mengatakan, proyek cut and fill di hutan konservasi Muka Kuning diduga tidak dilengkapi kajian lingkungan. Sehingga pihaknya mendesak DLHK dan instansi lain terkait untuk mengkaji ulang pemberian izin proyek tersebut.
Menurutnya, penetapan suatu kawasan sebagai hutan konservasi bukan tanpa alasan. Di dalamnya tentu terdapat hewan atau tumbuhan endemik sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan.
Kepala Seksi Konservasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah Kepri, Decky, mengatakan, dari pantauan pihaknya bukaan lahan di belakang Kawasan Panbil berada di luar kawasan hutan Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning. Sehingga menurutnya, proyek cut and fill itu posisinya berada di batas wilayah hutan konservasi.
“Selama ini izin pengelolaan TWA atau hutan konservasi ada di KLHK RI. Tapi khusus untuk kawasan bebas, sesuai PP 41 tahun 2021, izin ada di kepala badan pengusahaan kawasan bebas. Namun, sampai saat ini belum ada peraturan teknisnya,” kata dia.
Sejauh ini, kata Decky, BKSDA selaku unit pelaksana teknis dari KLHK RI khususnya Ditjen KSDAE berperan dalam pertimbangan teknis dalam proses perizinan. Pertimbangan teknis yang diperhatikan oleh BKSDA adalah kesesuaian lokasi izin dengan blok pengelolaan kawasan TWA, ada tidaknya tumpang tindih izin dalam lokasi yang dimohon, dan seterusnya.