Sejumlah tokoh anti komunisme Jawa Timur (Jatim) bertemu mengkritisi buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, dan Kebudayaan RI. Buku yang katanya sudah ditarik dari peredaran itu sempat menggegerkan kalangan anti-PKI.
Bukan cuma karena hilangnya nama KH Hasyim Asy’ari, tokoh dan pendiri Nahdlatul Ulama, tetapi juga masuknya orang-orang komunis dunia dalam buku wajib bagi siswa.
“Republik ini sudah darurat komunis. Sudah tidak ada waktu untuk berdiskusi. Kita mendesak tokoh-tokoh nasional secepatnya konsolidasi. Ini wajib, kalau kita masih cinta NKRI,” kata Drs Arukat Djaswadi, Ketua Gerakan Rakyat Anti Komunisme (GERAK), kepada pers Selasa, 4 Mei 2021.
Disebutkan dalam pertemuan di Museum NU Surabaya itu hadir antara lain, KH Ibrahim Rais (Pembina Yayasan Kanigoro), Ustad Mustain (Kediri), dan Dr Zainal Abidin (Kepala Pusat Pengembangan Pendidikan dan Aktivitas Instruksional Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jawa Timur).
Prof Dr Aminuddin Kasdi, sejarawan Universitas Negeri Surabaya (UNESA), meski berhalangan hadir, tetapi catatan kritisnya terhadap buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ cukup menyita perhatian peserta.
Ada juga peserta dari Nganjuk, Madiun, dan Magetan. Termasuk generasi muda, mahasiswa dari perguruan tinggi.
Semakin Terstruktur
Menurut Arukat, gerakan kiri (eks PKI) tampak semakin terstruktur, sistematis, dan masif. Bahkan tidak sedikit tokoh-tokoh Islam yang terkecoh, kemudian larut mendukungnya.
Diuraikan, dari pertemuan gembong-gembong PKI di Hotel Cempaka (Jakarta) sampai terbitnya UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi), SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM) beberapa waktu lalu, semua itu terkait kepentingan eks PKI.
Mirisnya, lanjut Arukat, kini kader-kader PKI sudah berada di posisi strategis. “Terbitnya buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ yang memasukkan tokoh-tokoh PKI, menghilangnya peran ulama seperti Kiai Hasyim Asy’ari, bukanlah kealpaan. Mereka ingin memutihkan PKI, membersihkan PKI dari darah jahatnya,” katanya.
Masih menurut Arukat, dirinya bersama tokoh-tokoh anti-PKI, sudah puluhan tahun mengadang kebangkitan komunisme ini. Dengan demikian cukup paham, bagaimana modus mereka membelokkan sejarah.
“Kami pernah menghadap Menko Kesra RI, Pak Alwi Shibab saat itu. Kami sampaikan, kalau 1000 peluru ditembakkan, paling banyak 1000 korban mati. Tetapi, kalau sejarah diubah, bangsa ini bisa lenyap,” katanya.
Saatnya Bergerak
Sementara itu KH Ibrahim Rais sepakat dengan Arukat, bahwa, tidak ada waktu lagi berdiskusi. Saatnya bergerak untuk menyelamatkan NKRI dari manuver anak keturunan PKI.
“Komunisme ini bukan seperti partai politik yang kita punya. Komunisme ini memiliki jaringan internasional atau sering disebut Komintern. Kader-kader PKI ini akan terus menghapus jejak kelamnya. Sementara anak-anak muda kita tidak banyak yang paham. Akhirnya banyak generasi muda muslim terkecoh,” kata Kiai Ibrahim.
Pembelokan sejarah dalam buku ‘Kamus Sejarah Indonesia’ adalah fakta dan bukan masalah lalai atau lupa. Apalagi yang bertanggung jawab dalam buku itu, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, Hilmar Farid, yang dikenal pendiri Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER). Kalau dulu dikenal dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berpaham PKI.
Menurut pemberitaan pedoman bengkulu.com, Hilmar, kelahiran Jerman Barat 8 Maret 1968, dikenal sebagai aktivis kebudayaan. Bahkan ia sempat bersama-sama Widji Thukul, Moelyono, Linda Christanti, Raharjo Waluyo Jati, dan Semsar Siahaan pada tahun 1996 mendirikan organisasi kebudayaan bernama Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (JAKER).
Selain aktif menjadi aktivis, Hilmar yang akrab disapa Bung Fay juga dikenal sebagai sejarawan. Pengagum Pramoedya A Toer itu juga tercatat sebagai pengajar di Institut Kesenian Jakarta dan sering menjadi keynote speaker masalah kebudayaan.
Kiai Ibrahim pun memberikan warning kepada generasi muda, agar tidak mudah dibelokkan pemahamannya soal PKI.
Ia kemudian menyebut istilah ‘NKRI Harga Mati’ yang digelorakan M Natsir melalui Mosi Integral 3 April 1950. “NKRI Harga Mati, itu Mosi Integral M Natsir. Resolusi Jihad itu fatwa Mbah Hasyim. Ini tidak boleh lepas dari sejarah bangsa Indonesia,” katanya.
Kamus Berbahaya
Hal yang sama ditulis Prof Dr Aminuddin Kasdi, sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Menurutnya, penulisan sejarah Indonesia, tidak perlu menggunakan istilah “Kamus Sejarah Indonesia”.
Kalau pakai istilah kamus, ini mengandung pengertian bahwa isi buku itu sudah pakem, tidak bisa berubah, sehingga jadi bahan indoktrinasi. Dan ini sangat berbahaya, apalagi dibuat dengan salah.
“Ini bertentangan dengan kaidah keilmuan yang terbuka terhadap perubahan, karena adanya penemuan fakta-fakta baru atau perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Aminuddin.
Mantan aktivis GP Ansor ini juga menyoal isi buku Kamus Sejarah Indonesia yang dibuat Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid. Menurutnya, ini bukan kekhilafan, tetapi jelas ada upaya pembelokan sejarah.
Ini bukti bahwa kelompok kiri tidak pernah berhenti bergerak. “Saya mendengar sendiri lewat videonya, bahwa Dirjen Kebudayaan (Hilmar Farid) ini begitu getol membela PKI dalam peristiwa Lubang Buaya (G/30/S/PKI). Ini masalah serius,” katanya.
Untuk itu, pertemuan para tokoh anti komunisme Jawa Timur merekomendasikan agar segera digelar konsolidasi nasional. “Kami mendesak tokoh-tokoh agama, TNI-Polri, DPR RI, bahkan dunia kampus segera turun, menggelar konsolidasi nasional,” katanya.