Polemik berkepanjangan menerpa Kelurahan Patam Lestari, Kecamatan Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau, beberapa tahun belakangan. Perluasan area Kampung Tua-nya sejak tahun 2017 berulangkali terhantam masalah tetapi proses pekerjaannya sampai sekarang terus berjalan, dan tentu ada alasan di balik itu. Singkat kata, kiwari ini belum ada kepastian soal legal atau tidaknya pemekaran di sana, termasuk soal seberapa besar dampak pengerusakan lingkungannya. Pihak berwenang yang paling tahu dan biarlah itu menjadi pekerjaan rumah mereka.
Agus Purwoko, Kabid Konservasi Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum Badan Lingkungan Hidup Kepri, mengatakan, persoalan lingkungan yang tengah membelit perluasan areal kampung itu akan ditangani secara serius. Timnya akan meninjau lokasi untuk membuktikan apakah benar ada pekerjaan penimbunan yang merusak kawasan hutan lindung.
“Kalau disposisi perintah dari Kadis [DLHK Kepri] ke saya, minggu depan tim saya akan turun ke TKP. Pembuktiannya setelah tim mem-floting–nya melalui titik koordinat yang diambil. Terkait izin lingkungan, tim akan meminta yang bersangkutan untuk memperlihatkan dokumen-dokumennya dan dokumen lain yang dimiliki,” kata Agus Purwoko kepada HMS, 7 April 2021.
Dia menjelaskan, perluasan lahan dengan membabat hutan lindung sama sekali tidak dibenarkan. Terkecuali lokasinya adalah Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK), itupun baru dapat dilakukan dengan syarat pengelola atau pengembang memegang surat ganti tukar hutan atau mengganti pohon-pohon yang terkena proses pekerjaan.
“Ada kewajiban mengganti pohon yang ditimbun itu, nanti kita tahu itu, pohon jenis apa saja yang ditimbun, jumlahnya berapa, tingginya berapa kita tahu itu, dan mereka harus ganti. Jadi kegiatan penimbunan itu kita harus liat dulu apakah dia kawasan atau bukan kawasan. Kalau dia kawasan kita akan hentikan itu, kalau memang terjadi seperti itu bisa dilakukan penangkapan. Dia punya kewajiban membayar [hutan yang dirusak],” kata dia.
Ketika ditanyakan perihal Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam yang sudah menerbitkan surat penghentian aktivitas penimbunan pada 23 Februari 2021. Dia mengatakan, “Saya baru dapat informasi ini, dan memang di meja saya itu belum ada berkas mengenai permasalahan itu. Tapi kalau sudah masuk ke ranah kita, ke bidang saya, pasti akan segera kita tindaklanjuti. Sudah bagus itu DLH Batam. Kita serius menangani masalah ini,” kata Agus Purwoko.
Perihal status kawasannya, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, Lamhot Sinaga, mengatakan, kawasan di sana memang ada yang masuk dalam lokasi hutan lindung, tetapi tidak secara keseluruhan. Namun, seberapa luas kawasan hutan lindungnya dan apakah benar terkena pekerjaan perluasan lahan, pihaknya juga belum tahu karena belum melakukan pengukuran.
Menurut dia, mekanisme penanganan kasus ini harusnya dilihat dari sisi izin lingkungan terlebih dahulu, kemudian barulah berbicara soal mangrove yang mengalami kerusakan. Apabila dalam proses pekerjaannya terbukti tidak mengantongi izin dan hutan yang dibabat masuk dalam kawasan hutan lindung, maka pihak pengembang kata dia, telah melanggar ketentuan yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
“Mengenai mangrovenya, apakah ada yang harus diselesaikan dengan kami? Iya ada. Namun mekanismenya dia harus punya izin dahulu, karena sepengetahuan kami sejauh ini mereka tidak punya izin lingkungan. Nah, kalau dia memang [terbukti] masuk kawasan hutan lindung saya pastikan itu ilegal. Ada pidananya, pelanggaran itu artinya penggunaan kawasan hutan lindung non prosedural atau tidak memiliki izin,” kata Lamhot Sinaga kepada HMS.
Laporan HMS kali ini tidak akan sekadar memajang cerita tentang pemotongan bukit, penimbunan hutan bakau, atau soal tudingan jual beli kaveling berkedok relokasi masyarakat adat. Ada hal lain yang patut diceritakan dari Patam Lestari, yaitu tentang masyarakat yang menuntut janji-janji pembangunan. Ini cerita tentang manusia pesisir, yang hidup sebagai sumber sejarah dan berharap memiliki rumah di tengah ketersedian lahan yang menipis. Siapa yang dapat menebak nasib. Begitulah kiranya ungkapan yang tepat untuk masyarakat Kampung Tua Patam Lestari saat ini.
Malam itu, 6 April 2021, Firmansyah, tokoh adat masyarakat Patam Lestari duduk bersila sejajar bersama HMS. Hari itu barangkali dia tak menyangka akan bertemu wartawan HMS di kala janjinya menemui wartawan lain. Sebelum pertemuan itu sebetulnya kami sudah mengobrol lewat telepon seluler. Mulanya Firmansyah emosional, yang mungkin disangka berniat menebarkan opini negatif dan mencoba mengambil keuntungan dari masalah perluasan kampung yang tengah dia hadapi. Baiklah, perasaan jengkelnya itu dapat dimaklumi lagi dipahami.
Pendek kata, sebelum masuk ke inti persoalan, Firmansyah mengatakan, “Jadi mungkin sedikit cerita dulu bagaimana sejarahnya kami pindah dari kampung halaman kami [Patam Lama] ke tempat yang sekarang [Patam Lestari], kenapa dibilang kampung halaman karena ada sejarahnya di Patam Lama itu,” kata dia memulai ceritanya kepada HMS.
Sebetulnya, sejarah masyarakat kampung ini ternyata sudah ada sejak 1840, dan dulunya masyarakat lokal ini bermukim di Kelurahan Tanjung Pinggir (sekarang disebut Patam Lama). Peradabannya dimulai dari datangnya serombongan orang yang mengaku berlayar dari Bintan. Mereka berjumlah 10 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang dipimpin oleh tetua bernama Gadoh bin Pandak atau akrab disapa Datuk Janggut.
Daerah itu dulunya dipimpin oleh seorang Penghulu, kepadanya lah waktu itu Datuk Janggut memohon izin menempati kawasan Patam Lama. Alasan mereka berimigrasi dari Bintan ke Batam yaitu, untuk “berpindah angin” atau istilah kala itu mencari tempat pekerjaan baru seperti berdagang, bertani, dan melaut.
Izin pun diberikan, kedatangan mereka disambut baik. Alhasil, Datuk Janggut bersama rombongan pun memulai hidup baru mereka di pesisir pantai nan indah yang berhadapan langsung dengan Singapura dan Johor.
Lambat laun pulau rimba ini pun berkembang, begitu juga perkampungan di sana. Dan sejalan dengan tujuan awalnya pemerintah menjadikan kota ini sebagai Singapura-nya Indonesia, pembangunan sedari tahun 1980-an mulai tak pernah absen di Kota Batam. Investasi di sektor wisata mulai menyasar kawasan Patam Lama. Setelah ratusan tahun masyarakat adat tinggal di area tersebut, dengan atas nama pembangunan pada tahun 1989, pemerintah meminta warga untuk pindah ke lokasi lain.
“Lokasi kami ternyata dilirik oleh pemerintah untuk pembangunan pariwisata dan katanya yang mengambil ini salah satu perusahaan luar atau join-an dengan pengembang dari Batam. Pada tahun 1989 itu, pemerintah datang ke lokasi menemui tokoh di sana yang kebetulan adalah ayah kandung saya tersendiri. Namanya Dahlan Aman [alm], beliau ketua lembaga adat, RW [rukun warga], dan Imam Masjid juga,” kata Firmansyah.
Setelah perdebatan panjang, akhirnya tanah mereka yang luasnya lebih kurang 150 hektare itu pun harus rela diambil oleh pemerintah. Waktu itu, satu meter tanahnya dihargai sekitar 50 perak. Ada perjanjian yang dibuat di sana untuk kelangsungan anak cucu masyarakat tempatan, salah satunya yaitu pemberian lahan baru untuk mereka bermukim nantinya.
Pemukiman di Patam Lama pun diratakan, ada ratusan rumah yang terkena dampaknya, termasuk areal pemakaman tua di kawasan tersebut juga dipindahkan. Ratusan kepala keluarga pun berimigrasi menempati areal baru yang saat ini dikenal dengan Kelurahan Patam Lestari. Sedangkan Patam Lama menjelma menjadi kawasan wisata kaum berduit bernama Indah Puri Resort & Golf. Mereka harus rela digusur dari kampung mereka. Patam Lama tinggal kenangan.
“Proses pemindahan tahun 1990, kami sudah menetap di tempat yang baru Patam Lestari. Waktu kami pindah ke tempat yang baru di rumah yang baru, dalam rumah itu ada tinggal 2 sampai 3 kepala keluarga di situ. Tentunya sebagai tokoh masyarakat, alamarhum ayah saya meminta kepada pemerintah supaya ada lahan baru karena yang sekarang tidak cukup, artinya masyarakat minta diperluas lah. Janji pemerintah saat itu akan membantu,” kata dia.
Janji perluasan itu pun memakan waktu cukup lama. Realisasinya tak nyata. Bukannya mempunyai rumah, relokasi itu membuat penduduk lokal yang dulunya memiliki lahan dan rumah jadi kehilangan tempat tinggal. Banyak dari mereka yang sampai sekarang harus tinggal di atas pelantar rumah panggung tepi laut. Pembangunan sektor wisata lagi-lagi bukan membuat masyarakat meraup untung, tetapi malah buntung.
“Berjalannya waktu pergerakan dilakukan kawan-kawan untuk mempertahankan kampung-kampung yang ada di Batam. Jangan sampai kampung kami ini diambil demi kepentingan pemerintah tanpa memandang kami orang tempatan. Tahun 2004, waktu itu Wali Kotanya masih Pak Nyat Kadir, akhirnya diselamatkanlah kampung adat ini dengan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Batam Nomor 105 Tahun 2004,” kata Firmansyah. Dari dokumen Dinas Pertanahan tahun 2017 yang dia perlihatkan, sesuai SK 105 tahun 2004, lahan Kampung Tua Patam Lestari memiliki luas 13,85 hektare. Kemudian berdasarkan verifikasi Tim Penyelesaian Kampung Tua pada tahun 2014 diperoleh ukuran dari Badan Pengusahaan (BP) Batam seluas 5,03 hektare, kondisi lahanya dijelaskan adalah rawa-rawa dan berlumpur.
“Artinya, pemerintah juga tahu kalau lahan yang kami timbun itu termasuk dalam perluasan lahan kampung tua. Tidak ada lahan yang lain kami punya, hanya itu yang diberikan oleh Pemerintah, hanya rawa-rawa dan tidak bisa diapa-apakan. Takbisa dijadikan tempat tinggal, akhirnya masyarakat itulah membuat rumah di samping-samping sungai. Rumah panggung atau segala macam. Jadi dengan segala desakan kalau kami tidak bergerak tidak akan terelaisasi kampung kami. Dengan maksimal kami memberanikan diri menggarap kampung. Ini kepentingan masyarakat. Sampai lah dengan hari ini [muncul masalah],” kata Firman.
Firman membantah kalau perluasan lahan yang sedang dia lakukan merusak hutan bakau (baca: Belasan Hektare Hutan Bakau Disulap Jadi Kaveling). Sebab, menurut dia sebelum proses perluasan dilakukan, hutan bakau di sana memang sudah dirusak. Perusaknya adalah orang-orang yang datang dari luar kampungnya.
“Karena bakaunya diambil untuk dijadikan arang dan dijual ke Singapura. Bukan masyarakat kami yang merusak, tetapi masyarakat luar mulai dari Tanjung Uma, Belakang Padang, pada ke situ ngambil kayu bakau untuk kepentingan arang. Jadi itu memang sudah habis. Bisa diambil keterangan dari orang setempat,” katanya. Firman mengatakan, “Kami dikasih lokasi itu, kami harus putar otak untuk merealisasikan kampung kami, bukan sedikit biaya, jadi ada pihak ketiga di situ, itu adalah bagian dari proses bagaimana kami menjadikan kampung kami. Mungkin sekilas gambaran seperti itu,” kata dia.
Begitulah Patam Lestari dengan sekelumit masalahnya. Pembangunan yang digadang-gadang sebagai senjata ampuh meningkatkan taraf hidup ternyata berbuah masalah. Masyarakat adat kehilangan rumah atas nama pembangunan, distribusi ekonomi hanya dinikmati segelintir orang.
Dan Patam sesuai namanya yang diambil dari kata “Pitam”, bermula dari kisah perampok yang tunggang langgang bertemu dengan seorang pendekar. Dalam perjalanannya tanah luhur mereka ternyata juga “terampok”. Ingin mencoba membangun, terbelit masalah lingkungan. Tentu muncul pertanyaan siapa perampok dan siapa pendekar dalam perluasan kampung adat itu?