Pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 9 Batam, di Tanjung Piayu, Sei Beduk, Batam, Kepulauan Riau diduga menyalahi aturan karena dibangun di atas kawasan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) hutan bakau. Selain itu, masyarakat sekitar juga merasa resah akibat masalah yang ditimbulkan pada proses pengerjaan pembangunan sekolah tersebut.
Menurut Viktor Voreman M. Samosir (28), warga Perumahan Tanjung Piayu Pancur Pelabuhan, hilir mudik truk pengangkut tanah yang tidak dilengkapi dengan penutup bak membuat muatan yang dibawa tercecer di jalanan. Akibatnya, jalanan dipenuhi material tanah timbunan dan berdebu.
“Karena penimbunan itu juga, anak sungai yang juga menjadi drainase warga menjadi sempit dan dangkal,” katanya kepada HMS, Kamis, 11 Febuari 2021.
Ia menambahkan, sejak adanya pengerjaan bangunan sekolah itu, sudah terjadi dua kali banjir di pemukimannya. Banjir pertama terjadi pada 22 November 2020, kemudian terjadi lagi pada awal tahun 2021 saat Batam diguyur hujan selama tiga hari.
“Sebelumnya di sini tidak pernah banjir. Banjir kemarin pun memang tidak berlangsung lama, tetapi tetap saja membahayakan warga. Soalnya pada saat banjir, rumah saya kemasukan ular kobra. Kalau anak istri atau saya digigit dan kenapa-kenapa, siapa yang mau bertanggung jawab?” katanya.
Untuk mencegah kejadian itu terulang, ia dan beberapa warga lainnya pun berinisiatif meminjam eskavator milik Dinas Bina Marga Batam untuk mengeruk anak sungai yang menyempit dan dangkal itu.
Akar Bhumi Indonesia, organisasi lingkungan yang fokus pada kelestarian hutan bakau dan mangrove mengecam aksi penimbunan dan pembangunan SMKN 9 Batam tersebut. Soni Riyanto dari Akar Bhumi Indonesia mengatakan, penimbunan ekosistem mangrove baik di buffer zone dan hutan lindung telah mengurangi lahan hutan, merusak, dan mematikan pohon bakau yang menjadi habitat hewan serta mengurangi hasil tangkapan nelayan.
“Kami tidak kontra dengan pembangunan SMKN 9 Batam. Namun, kami ingin setiap pembangunan terlebih yang menyerobot kawasan lindung haruslah dilengkapi dengan surat atau legalitas yang diakui negara,” katanya.
Ia menjelaskan, pihaknya menerima laporan dari warga pada 16 oktober 2020 lalu perihal pembangunan SMKN 9 Batam, dan menemukan ada timbunan lebih dari 50 meter. Timbunan itu, kata dia, telah memasuki buffer zone atau area steril dari segala macam aktiviitas manusia.
“Kami sempat bekerja sama dengan warga dan menghentikan proses pengerjaan pembangunan SMKN 9 Batam. Namun, proses penimbunan tetap berjalan secara sembunyi-sembunyi, dan sampai hari ini luas lahan yang ditimbun sudah mencapai 1,6 hektare dan tidak menutup kemungkinan akan bertambah. Selain itu kami juga sudah menyurati Dinas Pendidikan Kepri Desember lalu terkait persoalan ini,” katanya lagi.
Soni menerangkan, semenjak kedatangan Iriana Jokowi pada 2019 silam, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia menunjuk Akar Bhumi Indonesia untuk melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) seluas 50 hektare dengan menggandeng masyarakat Tanjung Piayu Pancur Pelabuhan. Kebijakan RHL mangrove pun, kata dia, dilakukan secara bertahap, dan di tahun ini akan ditambah 50 hektare.
“Penimbunan dan pembangunan sekolah itu memunculkan kerusakan di hutang lindung, selain itu semakin berkurang dan hilang pula rasa cinta masyarakat dalam partisipasi menjaga hutan sebagai penunjang kehidupan. Ini ironi sekali, di tengah usaha pemerintah dan kami untuk mengedukasi dan meningkatkan pengetahuan dalam menjaga hutan serta mengerakkan ekonomi masyarakat dengan program penanaman, justru di depan masyarakat dipertontonkan perusakan ekosistem mangrove dan pengambilan lahan hutan dengan semena-mena,”
“Spirit Dinas Pendidikan Kepri sebagai pengemban tugas pemerintah untuk mencerdaskan masyarakat dan generasi muda, justru malah merusak lingkungan tempat masyarakat hidup,” kata Soni.
Ia menjabarkan, penimbunan dan pembangunan SMKN 9 Batam telah melanggar Undang-undang no.5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemmnya, Undang-undang no.32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Undang-undang no. 27 tahun 2007 junto undang-undang no.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Undang-undang kehutanan no. 18 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.
Anggota Komisi IV DPRD Kepri dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Wahyu Wahyudin dalam peninjauannya ke lokasi pada Selasa, 9 Febuari 2021 lalu mengatakan, pembangunan SMKN 9 Batam memang berada di titik konservasi hutan lindung. Ia menambahkan, dirinya akan memeriksa ke kembali ke Dinas Pendidikan Kepri mengenai hal itu. Sebab, ia juga menerima laporan kalau lokasi pembangunan sekolah itu merupakan tanah hibah dari warga.
“Kami selaku DPRD Kepri akan memeriksa itu semua. Apakah lahan ini benar-benar dikasih atau tidak, karena kalau tidak ini bahaya juga. Jangan sampai kita orang pendidikan justru mengajarkan yang tidak-tidak. Karena krisis dalam pendidkan kita adalah keteladanan, dan kalau ternyata pembangunan ini tidak ada izinnya maka memberikan keteladanan yang salah. Ini yang tidak boleh,” katanya.
Sementara Anggota Komisi IV DPRD Kepri dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Saproni berpendapat lain. Menurutnya memang untuk kelengkapan surat-surat atau administrasi pembangunan SMKN 9 Batam domainnya ada di Dinas Pendidikan Kepri. Namun, semua kelengkapan surat izin atau administrasi itu diketahuinya sedang berjalan.
“Pada 22 Januari 2021 kemarin kami sudah melakukan pertemuan dengan pihak Dinas Pendidikan Kepri selaku pemilik proyek dan Akar Bhumi Indonesia yang protes terhadap pembangunan ini. Saat pertemuan itu hasilnya sudah jelas, karena ada kebutuhan akan sekolah maka pembangunannya harus jalan,” katanya.
Saproni mengatakan, jika ada pihak yang merasa pembangunan SMKN 9 Batam diperlukan analisis mengenai lingkungan (Amdal), hal itu dirasanya justru tidak perlu. Menurutnya, Amdal hanya digunakan untuk pembangunan dengan luas lima hektare ke atas saja. Sehingga pembangunan SMKN 9 Batam cukup memerlukan UKL–UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan) saja.
“Daerah yang akan dibangun juga tidak masuk dalam kawasan hutan yang dilindungi. Dari pihak Akar Bhumi Indonesia juga kami minta soal peta hutan lindung yang ada di sini belum ada, lokasinya di mana juga tidak bisa mereka tunjukkan. Tapi Alhamdulillah mereka mendukung, dalam artian tidak menghalangi atau menghambat proses pembangunan, sekolah ini. Cuma masalah komunikasi saja. Proses pembangunan SMKN 9 Batam tetap berlanjut, dan harapan kami tahun ini sudah bisa mulai penerimaan murid baru,” kata Saproni.