Silakan Diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara
Pemerintah mempersilahkan jika ada pihak yang tidak menerima keputusan Kementerian Hukum dan HAM menolak pengesahan hasil Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, Deli Serdang, untuk mengajukan keberatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN). Karena di sana akan diuji alasan dan argumentasi dari Partai yang memilih Muldoko sebagi Ketua Umum.
Menjawab pertanyaan wartawan dalam konperensi pers secara virtual, Rabu 31 Maret 2021 siang, Menkumham, Yasonna Laoly, menyatakan pihaknya tidak berurusan dengan masalah yang terkait internal partai. Jika ada keberatan silakan keputusan Kemenkumham diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN).
Dalam acara yang diikuti Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, disampaikan pernyataan pemerintah menolak pendaftaran hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat, Deli Serdang yang digelar yang disebut Kubu Moeldoko. Penolakan didasarkan atas belum dilengkapinya sejumlah dokumen yang diminta Kementerian Hukum dan HAM.
“Dari hasil pemeriksaan dan atau verifikasi terhadap seluruh kelengkapan dokumen fisik, sebagaimana yang dipersyaratkan masih ada beberapa kelengkapan yang belum dipenuhi,” kata Menkumham.
Dokumen yang belum dilengkapi antara lain soal DPC, DPD, hingga surat mandat. Oleh sebab itu, pemerintah menolak permohonan hasil KLB Partai Demokrat di Deli Serdang.
“Dengan demikian, pemerintah menyatakan bahwa permohonan hasil kongres luar biasa di Deli Serdang tanggal 5 Maret 2021 ditolak,” ujar Yasonna.
Hasil KLB Partai Demokrat Deli Serdang dan kepengurusan versi Moeldoko telah didaftarkan ke Kemenkumham pada pertengahan Maret. Jubir DPP Partai Demokrat kubu Moeldoko, Ilal Ferhard, mengatakan akan menerima apa pun hasil pengumuman yang dikeluarkan Kemenkumham.
“Memang dari awal pasca-KLB berlangsung, kami dari kubu Pak Moeldoko, sebagai ketua umum kami, mengatakan apa pun yang terjadi, apa pun putusan-putusan oleh Kemenkumham, jelas kami menerima dengan lapangan dada,” ucapnya.
Dualisme Kepengurusan
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, sejak muncul konflik internal di Partai Demokrat tak bisa dilepaskan namanya dengan polemik dualisme kepengurusan. Apalagi ia memiliki jabatan penting di Pemerintahan Jokowi. Sebab status Moeldoko yang merupakan Ketua Umum Demokrat versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang adalah Kepala Staf Kepresidenan.
Terkait itu, Menko Mahfud MD pada kesempatan sebelumnya kepada media menyampaikan bahwa saat ini pemerintah sudah bersikap dan mengintervensi terkait polemik Demokrat. Menurut dia, berbeda sikap pemerintah saat perhelatan KLB Sibolangit yang ditentang kubu Demokrat pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Karena yang pemerintah tidak bersikap itu ketika terjadi KLB yang dianggap ilegal Pak AHY. Nah, kita katakan kita enggak ikut-ikut lah yang seperti itu. Siapapun yang terlibat apakah Moeldoko, Moelyono, atau apa itu, itu bukan urusan pemerintah,” kata Mahfud, Selasa, 30 Maret 2021.
Ia menjelaskan, maksud intervensi dalam persoalan ini adalah dari sudut administrasi negara. Menurutnya, intervensi pemerintah ada karena kepengurusan Demokrat KLB sudah mendaftarkan kepengurusan ke Kementerian Hukum dan HAM.
“Karena penyelenggara KLB itu sudah menyampaikan laporan tentang pergantian kepengurusan dan sebagainya. Pemerintah sudah masuk intervensi, intervensi dalam arti menjalankan tugasnya, yaitu sudah meneliti dokumen itu,” tuturnya.
Namun ia menyampaikan, Kemenkumham meminta agar Moeldoko Cs melengkapi berkas persyaratan. Ia bilang sesuai aturan, kelengkapan berkas itu ditunggu sepekan. Dengan merujuk waktu penyerahan kelengkapan dari kubu Moeldoko, pemerintah memberi tenggat terakhir Selasa, 30 Maret 2021 pukul 00.00 WIB.
“Berarti, pemerintah mulai hari Rabu sudah menyatakan sikapnya. Sehingga, mulai Rabu, Kamis, atau Jumat hari-hari berikutnya sikap pemerintah sudah jelas. Pemerintah sudah ikut di dalam upaya menyelesaikan konflik itu dari sudut administrasi negara,” ujar Mahfud.
Biarkan Saja
Dia menjelaskan adanya anggapan pemerintah membiarkan KLB yang disuarakan kubu AHY, Menko menekankan, ada pandangan lain yang bersuara agar pemerintah tak usah ikut-ikutan karena bisa melanggar UU. “Ya, biarin aja karena belum ada kasus saat itu. Sekarang sudah ada kasus masuk, dan pemerintah sudah menyiapkan keputusannya,” tutur Mahfud.
Soal status Moeldoko yang merupakan bagian pemerintah, ia menekankan tak ambil pusing. Sebab sejauh ini, pemerintah melalui Kemenkumham belum mengeluarkan keputusan apa pun menyangkut polemik Demokrat. “Apapun keputusan nanti kan akan menimbulkan polemik. Tidak apa-apa. Memang tugas kita itu setiap hari mendengarkan polemik. Kalau saya sih enggak peduli, polemik, polemik itu,” tutur Mahfud.
Pun, ia menyampaikan polemik Demokrat adalah urusan Moeldoko, bukan terkait pemerintahan.
Tetapi Mahfud berpendapat, pemerintah tak boleh melarang eks Panglima TNI itu dalam urusan politik. “Begini ya, urusan Pak Moeldoko itu ada dua. Satu urusan hukum, kalau urusan hukum, pemerintah itu tidak boleh melarang dia. Untuk ikut di dalam sebuah KLB, mau ikut atau tidak itu, kita tidak boleh melarang dan tidak boleh menyuruh,” ujarnya
Untuk etika politik persoalan Moeldoko – Demokrat, menurutnya, Jokowi selaku presiden juga punya pertimbangan. “Kalau secara politik, itu urusan dia. Misalnya menyangkut etika politik, kemudian secara politik juga, presiden kan bisa mempertimbangkan sendiri. Ini pak Moeldoko seperti apa posisinya. Saya kira di luar urusan hukumlah yang begitu-begitu. Menyangkut etika politik ya bisa macam-macam. Tergantung kepada siapa yang bicara, khan,” tambahnya.
Pakar Tata Negara
Sebelumnya pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menyatakan, bila pemerintah konsisten melaksanakan aturan sesuai Undang-Undang No 2/2011 tentang Partai Politik, urusan Partai Demokrat sebenarnya mudah.
Pemerintah memang tidak seharusnya hanya melihat aspek substansif dalam pendaftaran parpol. Pemerintah tinggal memeriksa apakah AD/ART parpol bersangkutan sesuai UU Parpol.
”Kalau sesuai, terima perubahan dan kepengurusannya. Kalau tidak sesuai, pemerintah hendaknya menyarankan agar diubah sesuai UU Parpol. Intinya pemerinatah tak berwenang menerima atau menolak,” ujar Refly dalam video berjudul Bagaimana Menyelesaikan Konflik Demokrat? Ini Opini RH yang diunggah di youtube.
Menurut Refly, bila masih ada konflik, pendaftaran mesti ditahan. ”Harus di-hold. Diterima tapi pendaftar dan AD/ART yang baru tidak bisa dinyatakan sah,” kata Refly.
Apa yang harus dilakukan pemerintah? Menurut Refly, pemerintah mesti menyerahkan kepada partai politik bersangkutan untuk menyelesaikan masalahnya. Hal ini sesuai dengan Pasal 32 UU Parpol.
”Partai politik akan menyelesaikannya masalah internalnya melalui musyawarah mufakat sesuai jiwa Pancasila, kalau tidak tercapai barulah melalui mahkamah partai. Kalau ditolak bisa melalui pengadilan,” tutur Refly.
Pasal 32 UU No 2/2011 tentang Parpol secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
(1) Perselisihan parpol diselesaikan oleh internal partai politik sebagaimana diatur dalam AD/ART
(2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.
(3) Susunan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan pimpinan partai politik kepada kementerian
(4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh hari)
(5) Putusan mahkamah partai politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.