Teroris serang Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri). Pernyataan sebagian publik ini sulit ditepis, setelah hampir semua media menyoroti tragedi tewasnya seorang perempuan setelah tertembak di kompleks Mabes Polri di Jl. Trunojoyo, Jakarta Selatan pada Rabu, 31 Maret 2021, petang.
Berbagai komentar muncul dan disiarkan langsung sejumlah televisi. Intinya ada tindakan berani seorang perempuan mengacungkan senjata api kepada penjaga di Mabes Polri. Bahkan lokasi aksi perempuan berjilbab itu disebutkan hanya 300 meter dari ruang kerja Kepala Polri (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Sementara di media sosial viral berbagai komentar, di antaranya betapa lemah pengamanan di Mabes Polri. Lolosnya pengunjung membawa senjata api menjadi alasan, bahwa tingkat pengamanan kantor Kapolri harus ditingkatkan dan pemeriksaan para tamu maupun orang luar, lebih diperketat.
Pasti kita terkejut dan prihatin menyaksikan tragedi Rabu petang di Mabes Polri itu. Masih segar ingatan, karena tiga hari sebumnya terjadi aksi teror bom bunuh diri di Gerbang Gereja Katedral, Makassar.
Peristiwa Minggu, 28 Maret 2021, pagi yang menyedihkan di ibu kota Sulawesi Selatan itu menewaskan dua pelaku aksi teror bunuh diri dan melukai sejumlah orang di halaman tempat peribadatan. Jika tiga hari kemudian, korban tewas kembali dan lokasinya bahkan di pusat pengendali operasi tugas Polri, harus menjadi perhatian serius.
Dalam peristiwa berdarah di dua lokasi ini diketahui, para pelaku yang menjadi korban tewas, adalah mereka yang masuk usia muda. Dua korban tewas di Makassar sepasang suami istri masing-masing berusia 25 dan 23 tahun. Sedangkan korban tewas di Jakarta juga perempuan lajang kelahiran tahun 1995.
Seraya tetap berharap polisi segera mengungkap peristiwa buruk ini, kita menjadi teringat hasil survey tentang sikap toleransi beragama di dunia pendidikan, khususnya kampus.
Survey dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta dirilis pada Maret 2021 ini. Hasilnya, sebanyak 30,16% mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah dan sangat rendah. Atau bisa dikatakan, 30% mahasiswa memiliki sikap intoleran terhadap agama yang berbeda.
Lembaga penelitian otonom di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah ini melalui program CONVEY Indonesia merilis temuan survei nasional tersebut yang dilakukan pada 2020 lalu.
Hasilnya toleransi di kalangan responden mahasiswa dan dosen dari beragam kelompok agama: Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu dan aliran kepercayaan, terjawab masih cukup rendah.
Kehidupan bermasyarakat di kalangan generasi milenial ini perlu menjadi perhatian khusus. Negeri dengan beragam suku, agama, ras dan golongan memang bisa menjadi rentan perpecahan jika kita tidak abai faktor persatuan dan kesatuan bangsa.
Pancasila yang telah ditetapkan sebagai falsafah dan pandangan kita kini terkesan menjadi kurang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Hidup berbangsa yang satu dengan damai, perlu terus kita ajarkan dan ingatkan khususnya kepada generasi muda.
Bisa jadi era globalisasi dan terbukanya informasi, salah satu penyebab dari sikap intoleransi. Untuk itu tidak ada kata selain, mari terus kuatkan ikatan tali persaudaraan kita. Berbeda suku, agama, ras dan golongan, harus menjadi kekuatan yang bersatu dan bukan perpecahan!