Pengamat Maritim Siswanto Rusdi menilai ada misleading terkait isu mafia pelabuhan yang sekarang mengemuka. Menurutnya, kasus mafia tersebut lebih banyak terjadi di luar bukan di dalam pelabuhan.
Pernyataan itu disampaikan saat menjadi narasumber uji kompetensi wartawan di Auditorium Mr Kasman Singodimedjo, Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jakarta.
Ia menjelaskan, pascamerger, Pelindo dikepung tentang isu mafia pelabuhan. Kemenko Kemaritiman dan Investasi RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan Kejaksaan Agung sudah menurunkan tim intel.
Masalahnya, ada misleading terkait dengan kata pelabuhan. “Padahal berkali-kali sudah terbukti, korupsi itu sudah berkali-kali terbukti terjadi di luar pelabuhan. Mafia itu adanya di luar pelabuhan. Sebetulnya lebih tepat disebut mafia pengurusan kargo oleh pihak ketiga yang mewakili shipper.Kalau di dalam pelabuhan sudah mengalami perubahan,” kata Siswanto kepada wartawan, Sabtu, 18 Desember 2021.
Di pelabuhan, inefisiensi itu hanya 1% sampai 2%. Efisiensi itu justru perlu dilakukan di luar pelabuhan. Karena itu, ketika menyebut mafia pelabuhan harus diarahkan pada pihak di luar pelabuhan. Di mana, variable biaya sewa peti kemas, pengangkutan peti kemas ke pabrik, kemudian sewa truk, memunculkan efek domino mendongkrak biaya logistik mencapai 23% sampai 24% PDB (Pendapatan Domestik Bruto).
Penggabungan Pelindo
Siswanto menyatakan, diketahui, merger Pelindo secara resmi telah terlaksana, dengan ditandatanganinya Akta Penggabungan empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Layanan Jasa Pelabuhan, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia I, Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia III, dan Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia IV, melebur ke dalam Perusahaan Perseroan (Persero) PT Pelabuhan Indonesia II yang menjadi surviving entity._
Masalahnya, kata Siswanto, Pelindo tidak bisa menjangkau ke sana karena itu ranah bisnis depo peti kemas. Pengaturan makin sulit karena dalam bisnis depo peti kemas melibatkan banyak elemen, mulai Kementerian Perdagangan, Bea Cukai, dan pelaku bisnis atau swasta.
Tata kelola pelabuhan diatur oleh Kementerian Perhubungan melalui regulasi oleh menteri, dirjen, bahkan otoritas pelabuhan pun mengeluarkan regulasi.
“Semua regulasi itu hanya mengatur Pelindo tidak ada yang mengatur depo peti kemas yang tetanggaan dengan Pelindo. Akibatnya, BUMN dicekik regulasi,” kata pria yang juga direktur The National Maritime Institute (Namarin) tersebut.
Sebetulnya pemerintah bisa masuk, tapi kayaknya segan dengan asosiasi berbagai asosiasi yang ada. Tak sedikit pengurus puncak temannya menteri, temannya pejabat. Kan nggak mungkin melarang para ketua asosiasi. Mau diatur bagaimana karena itu bukan kewenangan pemerintah.