Perusakan lingkungan hidup tidak bisa sekadar diimbangi dengan penanaman pohon. Eksploitasi berlebihan dalam kurun waktu yang lama, membuat perbaikan menjadi sulit. Namun, mengingat pohon dan hutan sebagai pemasok oksigen dan bagian dari proses hidrologi, sekaligus penyeimbang ekologis suatu wilayah, usaha ini (menanam pohon), sekecil apapun tetap perlu diperjuangkan.
Saban hari, kala matahari beranjak menuju puncak, Rembulan Boru Ginting (60) dan Roslaini Nainggolan (46), memilah bibit-bibit bakau yang siap dipindahkan. Keduanya merupakan warga Pancur Pelabuhan, Tanjung Piayu, Sei Beduk, Kota Batam, Kepulauan Riau. Pemilahan bibit-bibit itu dilakukan guna memastikan bakal pohon bakau dapat bertahan di media lumpur, sambil berharap ia dapat hidup dan tumbuh besar.
Aktivitas itu hampir dikerjakan setiap hari, tentu sambil melihat cuaca dan kondisi pasang air laut. Rembulan Boru Ginting atau kerap disapa Bi Iting, merupakan salah satu warga Pancur Pelabuhan yang diberdayakan oleh organisasi Akar Bhumi Indonesia dalam program Rehabilitasi Hutan Lindung (RHL) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Sei Jang Duriangkang KLHK RI, khususnya hutan mangrove (hutan bakau). Begitu pula dengan Roslaini Nainggolan.
Peranan keduanya dianggap cukup penting. Selain bertujuan untuk menumbuhkan kecintaan serta kepedulian dalam melestarikan dan menjaga hutan mangrove, keterlibatan warga sekitar juga bakal menghadirkan sosok gate keeper atau penjaga yang memantau keberlangsungan tumbuh kembang pohon bakau. Baik yang sedang ditanam, maupun yang sudah tumbuh rimbun.
Akan tetapi, dalam perjalanannya, Bi Iting berkisah, beberapa bibit yang dia tanam dengan sengaja ditimbun oleh pihak tidak bertanggung jawab. Penimbunan itu pun menurutnya tidak tahu bakal menjadi apa. Meski kesal, Bi Iting mengaku dia tidak memiliki hak untuk melarang atau berkomentar lebih jauh tentang penimbunan tersebut.
“Yang bisa kami lakukan, ya, cuma menanam bibit-bibit bakau ini saja. kalau mereka menimbun lagi, ya, kami tanam lagi,” katanya.
Harapan Bi Iting sebenarnya tidak muluk-muluk. Dia hanya berharap masyarakat lebih peduli dalam menjaga dan melestarikan hutan mangrove, serta tidak ada lagi aktivitas penebangan pohon bakau.
“Mereka itu [pohon bakau] nangis kalau dirusak, kita saja yang tidak dengar. Mereka kan juga punya nyawa sama seperti kita, manusia. Sama-sama makhluk hidup,” kata Bi Iting.
Sementara Roslaini mengatakan, keterlibatannya dalam rehabilitasi hutan mangrove di Pancur Pelabuhan, karena dia dan suaminya merasakan langsung dampak dari rusaknya hutan mangrove. Keduanya memang menggantungkan hidupnya dengan melaut. Utamanya mencari udang yang cenderung mudah ditangkap tanpa perlu terlaluh jauh pergi ke laut seberang.
Namun, pembalakan liar pohon bakau dan aktivitas penimbunan membuat ekosistem di hutan mangrove rusak. Beberapa biota bahkan hilang. Alhasil, tangkapan udang menjadi sedikit, asap dapur pun kurang mengepul dibuatnya.
Hal itu yang kemudian mendorongnya ikut andil dalam RHL di sana. Selain itu, letak rumahnya yang tidak jauh dari bibir laut juga dia anggap sebagai sebuah alarm untuk membuat benteng alami bernama hutan mangrove. Dengan tujuan agar terhindar dari abrasi, angin laut, dan gelombang besar.
“Ya, semoga ke depannya tidak ada lagi perusakan hutan magrove di sini, lebih lagi setelah melihat kami-kami ini menanam bibit bakau dari pagi sampai sore,” katanya.
Dalam upayanya menanam bibit-bibit bakau itu, tidak sekali Roslaini mendapat kendala. Sekali waktu, dia bertemu dengan ular bakau, di lain waktu pula dia melihat buaya di sekitar lokasi penanaman. Meski begitu, semangatnya tidak mengendur. Roslaini meyakini, jika niatnya baik untuk lingkungan, maka lingkungan pun akan turut menjaga mereka.
Ketua Akar Bhumi Indonesia, Hendra Tanli Wijaya, mengatakan, keterlibatan masyarakat dalam proses konservasi hutan mangrove bukan hanya pada proses penanaman bibit bakau saja. Tetapi dimulai sejak pencarian bibit itu sendiri. Selain itu, kata dia, masyarakat yang terlibat juga dalam proses perawatannya.
“Keterlibatanya masyarakat sengaja dilakukan karena baik dan buruk kualitas sebuah hutan mangrove, pasti langsung dirasakan mereka lebih dulu. Untuk itu, bagi kami masyarakat adalah garda depan dalam rehabilitasi mangrove di Pancur Pelabuhan, Sei Beduk ini,” katanya.
Hendra menjabarkan, luas hutan mangrove yang direhabilitasi di Pancur Pelabuhan, Sei Beduk mencapai 60 hektare. Sejak 2016, menurutnya paling tidak Akar Bhumi Indonesia sudah menanam sebanyak lebih dari 200.000 bibit pohon bakau. Meski begitu, kata dia, beberapa bibit gagal tumbuh karena berbagai faktor.
Oleh karena itu, mereka pun turut mengadvokasi beberapa kasus penimbunan lahan khususnya hutan mangrove. Karena selain turut merugikan masyarakat, penimbunan juga ikut merusak ekosistem yang ada di hutan mangrove. “Kami meyakini, [bibit] yang ditanam belum tentu tumbuh, tapi perusakan sudah pasti mematikan tumbuhan berikut ekosistemnya,” kata Hendra.
Lamhot Sinaga, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Unit II Batam, seperti yang dinukil dari Mongabay mengatakan, hutan mangrove yang rusak paling banyak ada di Batam dan Bintan. Penimbunan terjadi dengan dalih untuk keperluan pemukiman, industri, tambak, dan kegiatan ekonomi lain-lain.
Persoalan di lapangan juga bukan semata penimbunan ilegal, kata Lamhot, evaluasi BPDASHL KLHK selama rehabilitasi mangrove 2020 banyak gangguan dari “penguasa lahan”. Di beberapa tempat terjadi saling klaim pemilik. Inilah yang membuat rehabilitasi menjadi sulit. Perlu penertiban, karena kondisi lapangan “penguasa lahan” punya dokumen atau surat. Surat itu, kata Lamhot, perlu verifikasi apakah resmi dari BPN atau tidak. “Banyak ditemukan surat pemilik lahan hanya setingkat kecamatan.”
Sementara Agus Purwoko, Kabid Konservasi Pemberdayaan Masyarakat dan Penegakan Hukum Badan Lingkungan Hidup Kepri, dalam wawancaranya bersama HMS pada 7 April 2021, perluasan lahan dengan membabat hutan mangrove di areal lindung sama sekali tidak dibenarkan. Terkecuali lokasinya adalah Areal Penggunaan Lain (APL) atau Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK). Itupun baru dapat dilakukan dengan syarat pengelola atau pengembang memegang surat ganti tukar hutan atau mengganti pohon-pohon yang terkena proses pekerjaan.
“Ada kewajiban mengganti pohon yang ditimbun itu, nanti kita tahu itu, pohon jenis apa saja yang ditimbun, jumlahnya berapa, tingginya berapa kita tahu itu, dan mereka harus ganti. Jadi kegiatan penimbunan itu kita harus liat dulu apakah dia kawasan atau bukan kawasan. Kalau dia kawasan, kita akan hentikan itu, kalau memang terjadi seperti itu bisa dilakukan penangkapan. Dia punya kewajiban membayar [hutan yang dirusak],” kata dia.
Khusus di daerah seputaran Tanjung Piayu, perusakan lingkungan beberapa kali dilaporkan terjadi. Pembangunan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 9 Batam, misalnya, proyek itu diduga menyalahi aturan karena dibangun di atas kawasan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) hutan bakau. (baca: Pembangunan SMKN 9 Batam Menuai Kritik).
Perusakan itu mengundang banyak masalah. Menurut Viktor Voreman M. Samosir (28), warga Perumahan Tanjung Piayu Pancur Pelabuhan, masyarakat mengeluhkan hilir mudik truk pengangkut tanah yang tidak dilengkapi dengan penutup bak membuat muatan yang dibawa tercecer di jalanan. Selain itu drainase warga juga menjadi sempit dibuatnya. Daerah mereka juga sering direndam banjir.