Para pejabat Badan Usaha Pelabuhan (BUP) BP Batam bakal hilir mudik ke kantor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Kepulauan Riau dalam beberapa pekan ini. Ada proses penyelidikan yang sedang berjalan. Polisi masih enggan menjelaskan ikhwal kasusnya, tetapi diduga terkait dengan berbagai ongkos yang seharusnya tidak dipungut kepada para pengguna jasa.
Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Harry Goldenhardt, mengatakan, penyelidikan saat ini masih dalam tahapan pengumpulan bahan keterangan. Oleh karena itu, dirinya belum dapat memberitahu lebih jauh tentang siapa dan apa dugaan tindak pidana yang dilakukan. “Iya, memang benar ada penyelidikan yang dilakukan oleh penyidik Ditreskrimsus. Untuk sementara itu dulu,” katanya kepada HMS, 8 Agustus 2021.
Sepanjang pekan lalu, kabar pemeriksaan pejabat BUP Batam sebetulnya sudah menjadi konsumsi para pengguna jasa. Sumber HMS mengatakan, para pejabat yang diperiksa itu termasuk Direktur BUP Batam, Nelson Idris, beserta beberapa bawahannya. “Ada beberapa orang, pemeriksaan katanya juga dilakukan di kantor BP Batam,” katanya Kamis pekan lalu.
Menurut dia, pemeriksaan masih berkaitan dengan tuntutan aliansi pengusaha dan pekerja yang sudah dipenuhi oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam 2 Agustus 2021 lalu. Yaitu soal kesepakatan merevisi peraturan lama yang bermasalah dan keluhan pengusaha terkait adanya pungutan paksa. (baca: BP Batam Mereformasi Aturan Kepelabuhanan).
Direktur BUP Batam, Nelson Idris, yang dikonfirmasi HMS sejak 6 Agustus 2021, sampai sekarang enggan memberikan komentar. Sementara Direktur Promosi, Humas dan Protokol Badan Pengusahaan (BP) Batam, Dendi Gustinandar, mengaku tidak mengetahui perihal adanya pemeriksaan itu.
Dalam beberapa bulan ini delapan asosiasi pengusaha dan pekerja memang sedang bersatu. Mereka membentuk Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim (AGKIM) Batam. Tujuannya untuk membongkar penyebab jatuhnya industri maritim Batam, yang katanya, dimulai pada tahun 2016 lalu dan disebabkan oleh ulah “nakal” oknum-oknum di BUP Batam. (baca: Senja Kala Industri Maritim Batam).
Aliansi ini meminta pemerintah mencabut dua Peraturan Kepala (Perka) BP Batam, yaitu Perka Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Sistem Host-To-Host Pembayaran Kegiatan Jasa Kepelabuhanan di Lingkungan Pelabuhan Batam, Perka Nomor 11 Tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksana Jenis dan Tarif Kepelabuhanan, serta merevisi PP No. 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Menurut mereka, ada berbagai ongkos yang seharusnya tidak dipungut pemerintah dari pengusaha kapal dan mengarah kepada pungutan liar. (baca: Penyebab Runtuhnya Industri Maritim Batam, Salah Kelola dan Harus “Direset” Kembali).
Para pengusaha ini sempat mengancam mogok operasi, tetapi untunglah batal lantaran usulan mereka akhirnya dipenuhi oleh BP Batam. Akan tetapi, sebelum sampai ke situ, ada satu hal yang membingungkan. Yaitu ternyata Perka BP Batam Nomor 11 Tahun 2018, yang mereka minta dicabut itu, rupanya sudah diganti dengan Perka Nomor 14 Tahun 2019. Masalahnya, tidak ada satupun dari delapan asosiasi yang mengaku tahu atas penerbitan Perka itu.
Keluhan itu awalnya datang dari Asosiasi Pengusaha Bongkar Muat Indonesia (APBMI) Kota Batam. Menurut pengusaha, pungutan tarif jasa bongkar muat curah cair dalam negeri naik berkali-kali lipat, pengusaha menjerit. Badan Pengusahaan (BP) Batam mengklaim tarif baru itu sudah sah dan berlaku sejak tahun 2019 lalu. Sementara menurut para pengusaha, implementasinya baru jalan pada Selasa siang, 13 Juli 2021, tanpa pemberitahuan pula. (baca: Arthur: Cuma Hantu yang Tahu).
“Paginya masih pakai tarif lama, begitu lewat jam 12 tarif sudah naik dua kali lipat. Ini ada buktinya, tiba-tiba sudah dipotong dan keluar nota. Ya kami kaget lah,” kata Arthur, Direktur PT Pasada Artha Cargo kepada HMS, 15 Juli 2021.
Arthur saat itu kesal bukan main. Sebab, dalam hitungan menit bisnisnya yang harusnya untung malah jadi rugi jutaan rupiah. Ia tidak bisa klaim tambahan biaya kepada pemilik kapal karena sudah bersepakat dalam kontrak menggunakan tarif lama. Alhasil, sudahlah merugi, ia juga dinilai tidak becus dan dicurigai ‘ada main’ oleh kliennya.
Dia merasa banyak hal yang aneh atas kenaikan tersebut. Mulai dari tarif dalam negeri yang lebih mahal ketimbang tarif luar negeri. Kemudian tarif curah cair dalam negeri tersebut nilainya sama dengan tarif yang lama, yaitu sama-sama diangka Rp6,180. “Kami rasa mereka [BP Batam] itu salah ketik, kalau pun tidak, kami minta peraturan itu dibatalkan sebelum ada sosialisasi dan dana kami yang sudah dipotong dikembalikan,” kata dia.
Dia sendiri sudah mengajukan keberatan kepada BP Batam hari itu juga. Menurut keterangan pejabat di sana, mereka tidak tahu menahu apakah Perka itu sebelum disahkan sudah disosialisasi kepada pengusaha atau tidak. Sebab, peraturan ini sudah ada sejak tahun 2019, sewaktu posisi Direktur Badan Usaha Pengelolaan Pelabuhan, masih dijabat oleh Nasrul Amri Latif, yang posisinya digantikan oleh Nelson Idris pada Januari 2020 lalu.
Alasan peraturan ini baru diterapkan sekarang, katanya juga dari keterangan yang ia dapat, hal itu dikarenakan Perka Nomor 14 Tahun 2019 ini menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kebetulan para pejabat tinggi di sana baru menjabat setelah Perka itu disahkan, dan barangkali tidak tahu kalau Perka itu ada. Alhasil, karena selama dua tahun tarif berlaku dan BP Batam masih menggunakan tarif lama, hal ini otomatis menjadi temuan kerugian negara.