Kekecewaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seakan tak terbendung, saat mengungkapkan rendahnya kinerja para kepala daerah, terutama dalam penggunaan anggaran untuk bantuan masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Kekecewaan tersebut dilontarkan saat memberikan pengarahan kepada kepala daerah se-Indonesia pada Kamis, 29 April 2021, dalam pertemuan virtual di Istana Negara, kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.
“Kemarin angka yang saya lihat yang tinggi itu baru belanja pegawai. Tapi itu juga baru di angka 63%,” katanya.
Presiden mengatakan akselerasi belanja modal per Maret 2021 baru mencapai 5,3%. Oleh sebab itu kepala negara mengaku tak habis pikir lantaran belanja pemerintah daerah tidak bisa maksimal.
“Padahal yang namanya perputaran uang di sebuah daerah itu sangat menentukan pertumbuhan ekonomi. Jadi transfer pusat ke daerah itu tidak dibelanjakan, tapi ditaruh di bank,” kata presiden.
Data yang diperoleh, pada akhir Maret terdapat dana pemerintah daerah yang ‘nganggur’ sebesar Rp182 triliun. Angka tersebut, kata Jokowi, terus menerus mengalami kenaikan.
“Tidak semakin turun, semakin naik. Naik 11,2%. Artinya tidak segera dibelanjakan. Gimana pertumbuhan ekonomi daerah mau naik kalau uangnya disimpan di bank? Hati-hati,” katanya.
Jokowi mengajak seluruh provinsi, kabupaten maupun kota untuk segera membelanjakan anggarannya untuk membantu masyarakat di tengah pandemi Covid-19.
“Saya sudah sampaikan bolak balik ke Mendagri untuk ingatkan semua daerah agar segera belanjakan APBD baik belanja aparatur, atau belanja modal. Tapi yang terpenting itu belnaja modal,” kata presiden.
“Ini disegerakan sehingga terjadi peredaran uang di daerah. Hati-hati Rp182 triliun. Ini uang yang sangat guede sekali. Ini kalau segera dibelanjakan, uang akan berputar di masyarakat akan pengaruhi pertumbuhan ekonomi yang tidak kecil,” tegasnya tanpa senyum.
Pada 2020 dan berlanjut 2021, pemerintah memberikan berbagai stimulus demi menjaga ekonomi yang dihantam pandemi Covid-19. Kebijakan ini disebut sebagai istilah ‘helikopter uang’ diperkenalkan oleh ekonom Milton Friedman pada tahun 1969 untuk menyebut pelonggaran moneter yang tak biasa. Kebijakan ini diambil dalam situasi tak wajar, yakni ketika terjadi kekeringan likuiditas sementara perekonomian stagnan karena hal tak terduga.