Akar Bhumi Indonesia menemukan ratusan hektare area hutan konservasi di Taman Wisata Alam (TWA) Muka Kuning, Kota Batam, Kepulauan Riau, lenyap. Berdasarkan SK.Menhut No.427/Ktps-II/1992, luas kawasan berkisar 2.065,62 hektare. Sebagian digunakan untuk membangun waduk, dan ada juga yang diduga dicaplok untuk membangun perumahan mewah.
TWA itu adalah satu-satunya yang dimiliki Batam. Sony dari Akar Bhumi Indonesia mengatakan, perusakan makin parah lantaran ada proyek cut and fill di sana. Temuannya pun telah dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), setelah pihaknya tidak mendapat respon dari pemerintah setempat (baca: Panbil Group Membuka Lahan di Muka Kuning, Agus: Kasus Ini Menjadi Catatan Saya).
“Akibatnya tentu banyak, karena kawasan hutan itu punya peran vital. Utamanya soal ketersediaan air di Batam,” katanya kepada HMS, 25 Oktober 2021.
Kepala Gakkum KLHK Wilayah Sumatera II, Alfian Hardiman, mengatakan terkait persoalan di TWA Muka Kuning yang masuk dalam kategori hutan konservasi, pihaknya lebih dulu akan berkoordinasi dengan DLHK Kepri, BKSDA, BP Batam, dan instansi lain terkait. Hal itu menurutnya dilakukan untuk memeriksa konstruksi dan status lahan hutan konservasi yang diduga telah beralih fungsi.
“Soal surat aduan yang dilayangkan oleh Akar Bhumi Indonesia, memang sebaiknya juga dikirim ke Balai Pamantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XII Tanjung Pinang,” katanya kepada HMS, 16 Oktober 2021.
Dia juga mengatakan, untuk setiap kerusakan lingkungan seharusnya dilaporkan dan ditangani terlebih dahulu oleh pemangku kawasan yang lebih berwenang. Bila tidak direspon barulah ke pihaknya. “Setelah itu baru kita lakukan kolaborasi. Antara Gakkum KLHK dengan pemangku kawasan di sana. Artinya, kalau [pemerintah setempat] sudah tidak sanggup bisa koordinasi ke kami,” kata Alfian.
Akar Bhumi Indonesia sendiri mengetahui ada jumlah luasan hutan yang hilang itu setelah timnya turun ke lokasi. Metode pengukuran yang dipakainya, yaitu dengan memeriksa batas-batas lokasi dan mengandalkan citra satelite. Mereka juga menghitung jumlah area yang sudah dipakai untuk pembangunan DAM Sei Ladi dan Muka Kuning. Hasilnya barulah didapat ada selisih area yang hilang sekitar 200 hektare. Area hutan yang tersisa di sana sekarang, katanya, kurang lebih tinggal 900 hektare saja.
TWA Muka Kuning sendiri ditetapkan menjadi hutan konservasi melalui SK.Menhut No.427/Ktps-II/1992 Tanggal 5 Mei 1992 dengan luas kawasan 2.065,62 hektare. Secara pribadi, Soni mengaku heran atas hilangnya luasan hutan konservasi tersebut. Berdasarkan perhitungannya, pelepasan lahan di kawasan hutan konservasi tersebut hanya berkisar 900 hektare saja. Yang diperuntukkan untuk pembangunan dua waduk.
“Jadi 2000 [hektare] dikurang 900 harusnya kan sisa 1100. Sekarang sisanya, menurut ukuran kami cuma 900. Jadi sisa 200 hektare itu ke mana?” katanya, “bahkan data terbaru kami itu jumlah awalnya ada 2490 hektar,” kata Sony.
Pihaknya tentu menyesalkan ini, sebab hutan konservasi berada pada tingkat atas sebuah hutan di atas hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang bisa dikonversi, dan APL.
Selain itu TWA Muka Kuning juga, kata Soni, berperan juga sebagai daerah tangkapan air bagi DAM Muka Kuning dan DAM Sei Ladi. Selain itu, proyek cut and fill yang diduga sedang digarap oleh PT Harapan Jaya Sentosa (Panbil Group) dan berdekatan dengan wilayah konservasi tersebut mengakibatkan menyempitnya daerah aliran sungai menuju DAM Duriangkang, yang menyuplai hampir 70 persen kebutuhan air warga Kota Batam.
Direktur Legal Panbil Group, Jeremiah, saat dikonfirmasi HMS mengenai aktivitas cut and fill tersebut tidak memberikan jawaban. Upaya konfirmasi yang dilakukan HMS melalui aplikasi pesan singkat pada 7-9 Agustus 2021 juga tidak berbalas. Terakhir, pesan yang sama pun sempat dilayangkan pada 22 Oktober 2021. Namun, tidak ada respon.
Sony mengatakan, “Pada 29 September 2021 lalu, kami melihat langsung terjadinya sedimentasi di saluran air yang tidak jauh dari Kawasan Industri Panbil. Kuat dugaan, sedimentasi terjadi karena proyek cut and fill itu. Air pun dibuatnya keruh, saluran air ini kan bermuara ke DAM Duriangkang,” katanya.
Di hari yang sama, dalam video yang direkam Akar Bhumi Indonesia, terlihat air keruh memenuhi saluran air di seberang Kawasan Industri Panbil. Kondisi hujan membuat volume air deras keluar dan turut membawa material lain berupa pasir. Jumlah pasir pun kian banyak dan menumpuk hingga membuat aliran air itu tampak dangkal. Atau dalam bahasa lainnya, terjadi sedimentasi di sana.
Sedimentasi sendiri adalah proses pengendapan material hasil erosi di tempat tertentu. Bahan yang terendap tersebut dapat disebabkan oleh banyak kondisi, seperti material yang terbawa angin, terbawa aliran air, atau terbawa gletser. Bahan atau material yang mengendap tersebut akan menyatu, lalu membentuk jenis batuan baru yang disebut dengan batuan sedimen.
Manager Sumber Daya Air BP Batam, Hadjad Widagdo, saat dikonfirmasi pada Selasa, 5 Oktober 2021 lalu mengatakan, pihaknya tengah menelusuri asal pasir tersebut. Dia mengungkapkan, fokus utamanya saat itu adalah menormalisasi saluran air itu menggunakan alat berat.
“Normalisasi juga akan kami lakukan secara bertahap, karena kalau dilakukan sekaligus dikhawatirkan akan mengganggu kualitas air DAM Duriangkang. Jika sumber pasir dan pihak penanggung jawab sudah diketahui, akan kami tegur dan ajak menjaga lingkungan bersama-sama,” katanya.
Hutan Konservasi yang Khas
Hutan konservasi sendiri adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang memiliki fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan ini mempunyai ciri khas tertentu baik di darat maupun di perairan. Di dalamnya terdapat fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Secara hukum, penetapan satu wilayah menjadi kawasan hutan lindung pun harus memenuhi beberapa unsur seperti adanya flora dan fauna yang dilindungi, dan keberagaman flora dan fauna. Sementara di TWA Muka Kuning, berdasarkan catatan BBKSDA Riau dalam situs resminya menyebutkan area itu memiliki potensi flora seperti bintangur, tempoyam, nibung, pasak bumi, kempas, balam, riang-riang, manggis-manggisan, meranti, dan pelawa. Serta beragam fauna seperti kera ekor panjang, babi hutan, kancil, napu, kijang, lutung, beruk, bajing, biawak, tiung, gagak, tekukur, raja udang, dan elang laut.
Soni Riyanto mengatakan, KSA terdiri dari Cagar Alam yang merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
“Kemudian ada Suaka margasatwa, yaitu kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya,” katanya.
Lalu, kata dia, terdapat pula Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
“Kawasan pelestarian alam terdiri dari Taman Nasional yang merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi,” kata Soni.
Dia menambahkan, terdapat pula Taman hutan raya. Yaitu kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kemudian, masih kata Soni, yang terakhir adalah Taman wisata alam (TWA) yang merupakan kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
“Untuk yang terakhir, di Batam hanya ada satu Taman Wisata Alam yang berlokasi di Muka Kuning, Sei Beduk. Tapi saat ini kondisinya rusak parah lantaran ada proyek cut and fill. Akibatnya tentu banyak, karena kawasan hutan itu punya peran vital. Utamanya soal ketersediaan air di Batam,” katanya.