Pada suatu sore, saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Joy dijemput ibunya di tempat rental PlayStation (PS) “Mau jadi apa kamu kalau main PS, terus?” kata Ibunya saat itu. Walau dilarang, Joy masih saja datang; meski secara diam-diam.
Berbagai permainan di konsol PlayStation (PS) dia gemari. Beberapa bahkan terus dia mainkan hingga tuntas. Sebut saja gim seperti God of War, Warrior, GTA, Resident Evil, dan yang paling digandrunginya- termasuk oleh teman-temannya adalah, tentu saja Winning Eleven. Sebuah gim sepak bola dengan segudang tim dan pemain top dunia.
Di balik alasan gemar dan menyukai berbagai permainan yang ada, ada hal yang membuat Joy dan remaja lainnya terus bermain PS di tempat rental. Memang harus diakui, untuk ukuran anak sekolah, memiliki apalagi membeli PlayStation bukan perkara mudah. Tentu karena harganya yang timpang dengan uang saku seumuran mereka: beda cerita kalau Joy dan remaja lainnya di tempat rental PS adalah anak pejabat.
Namun, persoalan ini bukan semata tentang uang. Ada cerita lain di balik kebiasaan mereka menghabiskan waktu di tempat rental PS. Menurut Joy, bermain gim di tempat rental PS adalah sebenar-benarnya bentuk solidaritas anak-anak seumuran-nya saat sekolah dulu. Sebab, kata dia, dengan uang saku yang tidak banyak, Joy dan temannya seringkali memutar otak untuk tetap bisa jajan dan dapat menyambangi tempat rental PS usai sekolah.
“Kalau jajan sih, ya, gak usah banyak-banyak, bisa makan sampai kenyang dari rumah. Tetapi kalau mau main PS, kan, nggak bisa di rumah, nggak punya. Maka-nya musti main di tempat rental, duitnya patungan sama kawan,” katanya.
Riuh dan Kebisingan di Tempat Rental PS
Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB. Kandar Syahrial (27), datang ke tempat rental PS langganannya. Sama seperti Joy, Kandar adalah remaja yang sejak sekolah banyak menghabiskan waktu di tempat rental PlayStation. Bermain di sana bagi keduanya ibarat ibadah wajib yang harus ditunaikan. Sebagaimana ibadah wajib, menurut Kandar, bermain PS pun tidak setiap hari atau tiap waktu dia tunaikan. “[Main PS adalah] upaya menyelamatkan diri dari kebosanan,” kata dia.
Tempat rental PlayStation umumnya ruangan luas dengan deretan teve yang berjejer dan menempel di dindingnya. Di depan teve terdapat dua kursi untuk pelanggan, karena rata-rata pemain datang berdua bahkan lebih.
Untuk harga, tiap jam bakal dipatok Rp3 ribu dan Rp5 ribu untuk paket dua jam. Tetapi harga itu berlaku saat tempat rental masih menyediakan PS 2-generasi kedua PlayStation, medio 2010 awal. Kehadiran PlayStation generasi ketiga yaitu PS 3, kemudian mengubah kebiasaan pemain seperti Kandar dan Joy, serta mengubah pula roda bisnis rental PS.
Malam itu Kandar datang bersama empat temannya ke rental PlayStation. Di tempat langganannya itu, tidak ada aturan yang membatasi pemain bermain di satu teve dan PlayStation. “Sejauh kita bayar, ya, bebas aja mau main berapa orang, udah langganan juga,” kata Kandar sambil terkekeh.
Menurut dia, dari sekian banyak permainan yang disediakan di tempat rental, gim sepak bola adalah yang paling digemari. Kedatangannya kali itu juga untuk bermain gim sepak bola. Karena selain bisa memainkan dan menggerakkan langsung pemain dari klub sepak bola idola, permainan ini pun memungkinkan dimainkan oleh banyak orang.
Kandar mengatakan, pemain gim di tempat rental PS bukan sekadar orang yang suka bermain gim saja. Ia lebih dari itu. Bermain gim utamanya di tempat rental adalah sebuah kegiatan yang melibatkan emosi antarpemain. Pemain bisa saja berteriak, bahkan memaki saat tim yang dia mainkan gagal mencetak gol atau saat kebobolan. Kandar tentu tidak berlebihan, sebab saat bermain pun tiap orang bakal menunjukkan kemampuannya dalam memegang joystik. Sehingga pemain gim pun merasa seolah menjadi pemain bola itu sendiri.
“Apalagi kalau dilihat orang lain, makin merasa jagolah kita,” katanya tertawa.
Hal senada juga dirasakan Arwin Saputra (22). Menurut dia, pemain gim di rental PS seperti dirinya bakal spontan teriak saat tim jagoan yang dimainkan mencetak gol. Dengan jumlah teve dan Playstation yang bisa mencapai belasan di tempat rental, jika kondisi ramai, maka berbagai suara akan terus saling bersaut-sautan.
“Tapi justru karena ramai dan berisik itu yang bikin seru,” katanya.
Kandar dan Arwin berpendapat, bermain gim PlayStation lebih seru dan menyenangkan saat dilakukan di tempat rental PS. Karena selain bisa dilakukan bersama pemain lainnya, atmosfer, dan sensasi yang dirasakan ditempat rental PS pun berbeda jika bermain gim PlayStation dilakukan sendiri di rumah, kata keduanya.
Tempat Rental PS dan Potensi Atlet e-Sport
Dewan Olimpiade Asia (Olympics Council of Asia, OCA) untuk pertama kalinya menyertakan permainan video gim kompetitif alias e-Sport dalam ajang olahraga Asian Games 2018 lalu. Dengan begitu, e-Sport tampil sebagai cabang olahraga eksibisi dan melibatkan enam gim.
Dari keenam gim itu, terdapat Pro Evolution Soccer (PES), sebuah permainan yang dimainkan oleh Joy, Kandar, dan Arwin di tempat rental PS. Melihat durasi ketiganya bermain PS sejak lama, tidak menutup kemungkinan mereka berkesempatan membanggakan nama Indonesia di kancah dunia.
Namun, Kandar mengaku kalau menjadi atlet e-Sport bukan perkara mudah. Selain membutuhkan konsistensi berlatih, kemampuan mumpuni juga dirasa menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Kandar berkisah, sekali waktu saat bermain di tempat rental PS, dia diajak bermain oleh operator yang berjaga di sana. Operator ini bekerja di tempat rental PS, dan bertugas menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan pemain saat datang: mengatur waktu bermain yang diinginkan pemain, menyiapkan joystik dan kursi, serta merangkap pula menjadi kasir.
“Abang itu [si operator] ternyata jago betul mainnya, kupikir selama ini kemampuanku udah mantap lah. Karena kalau main PS sama kawan seringnya menang daripada kalah,” aku Kandar.
Menurutnya, operator rental PS pasti telah berlatih dan bermain gim lebih dari yang pemain atau pelanggannya lakukan. Waktu senggang operator itu, kata dia, seringkali diisi dengan bermain atau berlatih kemampuan baru sembari menunggu pelanggan datang dan selesai bermain. Sesuatu yang bisa dilakukan Kandar dan tentu saja bukan menjadi kebiasaanya melakukan itu. Dia hanya datang ke tempat rental PS, bermain sekian jam sambil bercanda tawa, lalu pulang. Hal yang kemudian Kandar sadari mengapa kemampuannya berbeda dengan sang operator tadi.
Dengan perbandingan kemampuan yang jauh itu, kemudian Kandar tidak ingin menjadi atlet e-Sport. Beberapa kompetisi pertandingan PS untuk gim PS pun diakuinya tidak pernah Kandar ikuti. Padahal kompetisi itu hanya sekelas pertandingan antarkelurahan, tetapi Kandar kadung kendur setelah melihat gap yang terlalu jauh dengan pemain lain.
Meski begitu, paling tidak Indonesia tetap memiliki potensi segudang atlet e-Sport, khususnya untuk gim PS. Di Kecamatan Bengkong, Batam, saja, sedikitnya terdapat 9 tempat rental PS yang tersebar di berbagai titik. Dengan kalkulasi sederhana, andai satu tempat rental PS memiliki dua operator maka paling tidak di Kecamatan Bengkong sedikitnya terdapat 18 calon atlet e-Sport sambil berharap kesemuanya memiliki kemampuan mumpuni.
Hingga kini, tempat rental PS masih terus didatangi pemain gim. Meski gim-gim lain bermunculan dan dapat dimainkan dengan gawai, sensasi yang dirasa amat berbeda. Paling tidak itu yang dikatakan para pemain gim di sana. Tempat rental PS memang cenderung pengap dan berisik, langit-langit ruangannya juga seringkali bewarna kekuningan akibat asap rokok yang mengepul. Namun, tawa canda dan euforia yang meletup saat bermain gim di sana, membuat Joy, Kandar, dan Arwin menjadikan tempat rental PS bagian dari cerita hidup mereka. Bagi ketiganya, tempat rental PS adalah wadah luapan emosi dan penyelamat dari kebosanan.