Warga Kavling Anggrek Putih Kebun Sayur, Dapur 12, Kelurahan Sei Pelunggut, Kecamatan Sagulung, Kota Batam, Kepulauan Riau merasa resah dengan aktivitas pemagaran yang dilakukan pihak PT Jeni Prima Putra Sejati di lokasi sengketa lahan yang masih dalam proses pembahasan.
Pada Jumat, 29 Januari 2021, sekitar pukul 09.00 pagi, puluhan warga selaku pemilik lahan di lokasi tersebut, berkumpul untuk mencari solusi agar para pekerja tidak lagi melakukan aktivitas pembanguan pagar di sekitar area tersebut.
“Kurang lebih dua minggu inilah [pemasangan pagar itu] mereka mulai kerja,” kata salah seorang warga.
Sebagai catatan, warga Kavling Anggrek Putih Kebun Sayur, Dapur 12 yang menjadi narasumber HMStimes enggan memberikan nama lantaran takut akan adanya intimidasi dari pihak tertentu.
Menurut keterangan warga, mereka juga telah mengundang anggota Komisi I DPRD Kota Batam, PT Jeni Prima Putra Sejati, perwakilan dari Polsek Sagulung, BP Batam, dan Lurah Sei Pelungut untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Menurut warga, masalah kepemilikan lahan itu sudah terjadi hampir tiga tahun. Namun, hingga saat ini, belum ada kata sepakat dari masalah tersebut.
“Kan ini masih proses, harusnya jangan ada aktivitas dulu,” katanya kepada HMS pada Jumat, 29 Januari 2021.
Di lokasi itu, terdapat enam bangunan yang sudah berdiri dan ditempati oleh pemiliknya. Sisanya hanya lahan kosong yang sudah dibeli warga dari seorang bernama Ridwan, dan belum berani melakukan pembangunan karena masih ada permasalahan pada lahan tersebut.
Warga yang sudah terlanjur membeli dan mendirikan bangunan di lokasi itu, hanya meminta ganti rugi yang sepadan kepada PT Jeni Prima Putra Sejati jika ingin mengambil alih lahan mereka.
“Kami mau ganti rugi sesuai nominal yang kami keluarkan untuk bangun rumah. Jangan sampai rugi,” katanya.
Warga juga mengatakan, mereka sering mendapatkan intimidasi dari salah satu oknum aparat yang terlibat dalam sengketa tanah tersebut. Awalnya oknum tersebut merupakan rekan dari Ridwan pada saat proses cut and fill. “Tapi tidak tahu bagaimana, sekarang dia mengintimidasi kami,” kata warga lainnya.
Cahyo Budi, salah seorang warga yang membeli lahan di area tersebut untuk mendirikan sebuah sekolah Taman Kanak-kanak (TK), tapi urung ia lakukan. Cahyo awalnya diperkenalkan kepada Ridwan melalui oknum aparat tersebut untuk membeli lahan di area itu. Setelah area dibeli dan akan dibangun, oknum tersebut malah melarangnya. “Kami udah beli, pas mau dibangun malah dilarang,” kata Cahyo.
Ia mengaku telah mengeluarkan uang sebesar Rp18 juta untuk membeli dua kavling di lokasi itu. Cahyo pun hanya meminta uang tersebut kembali jika ada ada pihak yang ingin mengambi alih lahan. Jika tidak, Cahyo juga enggan untuk melepasnya karena ia memiliki bukti dan surat hibah dari pembelian kavling di lokasi tersebut.
Menurut para warga, pihak perusahaan enggan melakukan ganti rugi, dan menyuruh mereka untuk meminta ganti rugi kepada Ridwan sebagai orang yang menjual tanah kepada mereka. Warga juga mengatakan, BP Batam pernah berencana untuk menengahkan masalah ini, tapi sampai saat ini hal tersebut belum juga terjadi.
Ridwan, pemilik lahan tersebut mengatakan kepada HMS, bahwa ia mendiami lokasi tersebut sejak tahun 1997. Ia mulai melakukan pemotongan tanah pada tahun 2013 hingga 2019. Ia mengatakan, pemotogan lahan yang ia lakukan mendapatkan izin oleh BP Batam.
Menurutnya, kasus sengketa tanah ini muncul pada 2019 setelah ia melakukan pemotongan tanah. Takada masalah pada tahun-tahun sebelumnya, padahal menurutnya pihak PT Jeni Prima Putra Sejati mengakui memiliki lahan ini pada tahun 2013.
“Kalau memang tanah ini benar milik mereka, kenapa tidak dari dulu melarang [cut and fill],” kata Ridwan.
HMS juga menghubungi pihak perusaan PT Jeni Prima Putra Sejati, yang juga mengklaim pemilik lahan di area tersebut. Wiliyanto Sitorus, Manajer Lapangan PT Jeni Prima Putra Sejati mengatakan, sejak tahun Juni 2013 ia telah mengurus izin lahan tersebut dan telah membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).
Wiliyanto juga mengatakan, tahun 2018 lalu ia telah meminta Ridwan untuk tidak melakukan pemotongan. Pihaknya pun tidak ada urusan dalam ganti rugi tanah karena para warga membeli lahan tersebut dari Ridwan.
“Dia [Ridwan] juga pernah menggugat kami di PTUN, tapi gugatannya ditolak. Setelah itu dia tidak melakukan banding lagi. Berarti bisa disimpulkan, kan?” kata Wiliyanto.
Ia menjelaskan, Ridwan pernah meminta ganti rugi sebesar Rp2 miliar kepada pihak perusahaan. Namun, karena nominal tersebut dinilai cukup besar, pihak perusahaan tidak menyetujuinya.
Di hari yang sama, sekitar pukul 11.00 siang, beberapa anggota Komisi I DPDR Kota Batam hadir untuk meninjau lokasi sengketa lahan tersebut.
Utusan Sarumaha, salah satu perwakilan dari rombongan DRPD Batam mengatakan, kehadiran mereka merupakan angenda lanjutan setelah pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Ridwan dan PT Jeni Prima Putra Sejati yang mengklaim pemilik lahan tersebut.
Ia juga mengatakan, kehadirannya di lokasi itu, selain untuk meninjau lokasi mana yang diklaim, juga untuk mencari solusi terbaik agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
“Pada RDP pertama, kami meminta agar kedua belah pihak melakukan musyawarah secara mufakat,” kata Utusan kepada HMS.
Ia juga kecewa dengan tidak hadirnya pihak BP Batam pada peninjauan lokasi tersebut. Padahal ia berharap BP Batam juga hadir, agar bisa mengetahui lokasi di bagian mana yang telah dialokasikan untuk pihak perusahaan.
Ia juga menyangkan di tengah belum selesainya proses sengketa lahan tersebut, pihak perusahaan sudah mulai melakukan pemagaran.
“Seakan-akan PT Jeni mengabaikan lembaga ini [DPRD Kota Batam],” katanya.
Lantaran banyaknya permintaan warga untuk memberhentikan aktivitas pemagaran di area tersebut, pihak DPRD melakukan negosiasi dengan para pemborong untuk sementara waktu tidak melanjutkan sampai menemukan solusi dari masalah tersebut. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi gesekan antara warga dengan pihak pemborong.
Namun, tampaknya pihak pemborong tidak menyetujui hal tersebut dan membuat situasi sedikit memanas. Untungnya para warga tidak melakukan tindak kekerasan meski sempat terdengar ada teriakan provokasi.
“Mohon untuk para warga jangan melakukan tindakan di luar batas, yang nantinya bisa merugikan diri sendiri. Biar kami yang cari solusinya, serahkan saja masalah ini kepada kami,” kata Utusan.