Setelah King Richard X tenggelam di perairan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, para pengusaha besi tua dan perusahaan-perusahaan salvage mulai melirik. Banyak “pemburu” harta bawah laut berselera mengangkat bangkai kapal berusia 50 tahun itu. Sebab, rongsokan kapal diperkirakan bernilai Rp15 miliar, sementara pengangkatannya hanya butuh biaya sekitar Rp3 miliar. Sengitnya persaingan, membuat setumpuk persoalan muncul di kemudian hari.
HMS berhasil mewawancara sejumlah pengusaha yang “kalah” dalam tender evakuasi kapal itu. Kesimpulan mereka sama yaitu, pemenang dalam persaingan ini mutlak adalah pemerintah. Sebab, perusahaan salvage yang ditunjuk oleh pemilik kapal tidak mampu menunaikan kewajibannya hingga batas tenggat maksimum yang ditentukan. “Paling lama 180 hari kalender sejak kapal tenggelam. Tapi ini sudah lewat, artinya bangkai kapal sekarang sudah punya negara,” kata sumber HMS.
Kapal keruk atau trailing suction hopper dredger (TSHD) ini tenggelam pada 13 Desember 2020 lalu, (Baca: Bom Waktu di Laut Batu Ampar). Berdasarkan surat izin kegiatan yang diterima HMS, pemerintah sebetulnya sudah memberikan kesempatan pada pemilik kapal untuk mengangkat bangkai bahteranya itu pada periode 11 Maret 2021 sampai 26 April 2021. “Dari sini terbukti kalau mereka [menyebut nama perusahaan] tidak mampu. Artinya, pemerintah wajib mengangkat dan menguasai kerangka King Richard [X]. Itu aturan yang berbicara,” katanya.
Aturan itu merujuk pada Pasal 203 Undang-undang Nomor 17 tahun 2018 tentang Pelayaran. Pada ayat (1) dijelaskan kalau tenggat maksimum adalah 180 hari, kemudian di ayat (2) dijelaskan, pemerintah wajib melakukan evakuasi atas biaya pemilik apabila ia tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1). Dan untuk menjamin kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan pula pada ayat (5) pemillik kapal wajib mengasuransikan kapalnya.
“Jadi yang berhak mendapat keuntungan dari bangkai kapal itu adalah negara, bukan lagi owner. Pertanyaannya sekarang, apakah kapal itu memiliki asuransi? Umurnya sudah 50 tahun, menurut pengalaman saya mana ada asuransi yang mau, kalaupun ada itu asuransinya berati sudah kabur. Coba ditelusuri saja. Karena kalau ada asuransi kenapa tidak asuransi saja yang mengerjakan [evakuasi],” katanya.
Kapal keruk berbendera Indonesia ini sebelumnya kata dia, berbendera Korea Selatan, bernama Goryo Ho. Pada tahun 2018, PT. Marina Intidaya Shipping membeli kapal ini dari Hyundai Engineering & Construction. Pelayaran terakhirnya tercatat yaitu selama 3 hari 11 jam, berlayar dari pelabuhan Busan menuju pelabuhan Makobar, Batu Ampar. Tujuannya datang untuk melakukan perbaikan. “Dari awal singgah, kapal itu belum bisa beroperasi sama sekali,” katanya.
Dia mengatakan, karena melihat histori kapal tua yang dibangun oleh Costain Blankevoort Dredging Ltd, itulah dia meragukan kalau kapal itu sudah memiliki asuransi. Sebab, menurut aturannya umur kapal setidak-tidaknya ialah 25 tahun, apabila melebihi angkat tersebut, pemilik kapal wajib melakukan survey kelayakan setiap tahunnya.
“Saya meyakini kapal sudah tidak ada asuransinya. Karena sudah tidak ada lagi asuransi yang mau membeli itu, karena sudah tidak ada lagi nilainya. Jadi ini [pengangkatan] sudah menjadi tanggungan pemilik kapal itu sendiri, makannya mereka memilih dibesituakan,” katanya.
Sejak 10 Mei 2021 lalu, HMS sudah berusaha meminta keterangan resmi Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) maupun Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) setempat, perihal kelanjutan evakuasi kapal ini. HMS juga masih berupaya mengonfirmasi perusahaan pemilik kapal, maupun pemenang tender yang ditunjuk mengevakuasi kapal.
Pada 17 Juni 2021, HMS juga sudah mendatangi kantor unit Pelaksana Teknis (UPT) di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut itu. Humas KSOP Khusus Batam, Aina Solmidas, menyarankan HMS untuk mengisi formulir permohonan informasi dan berjanji akan menjawab semua pertanyaan HMS dalam waktu dekat. “Tulis saja dulu pertanyaannya, nanti akan saya jawab, karena saya harus melihat data kapal itu dulu,” kata Aina Solmidas kepada HMS.
Sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Kepulauan Riau, meminta pengangkatan bangkai kapal keruk atau trailing suction hopper dredger (TSHD) King Richard X yang tenggelam di perairan Batu Ampar, Kota Batam, segera dituntaskan. Proses evakuasi yang lambat melampaui tenggat maksimum pengangkatan, dikhawatirkan akan berdampak pada pencemaran laut.
“Harus secepatnya diangkat, karena ada ketentuannya [tenggat maksimum]. Apalagi kalau memang betul di kapal masih ada sisa minyak, itu yang kita antisipasi jangan sampai pecah dan mencemari perairan,” kata Kepala Seksi Pengelolaan Limbah B3 DLHK Kepri, Edison, belum lama ini. (Baca: DLHK Kepri Minta Bangkai Kapal King Richard X Segera Diangkat dari Laut Batu Ampar)
Dia mengatakan, sebelumnya pihaknya memang sempat menerima laporan adanya pencemaran di laut yang berasal dari ratusan ton bahan bakar minyak (BBM) yang terkurung dan tenggelam bersama kapal itu. (Baca: Bom Waktu di Laut Batu Ampar). Akan tetapi, menurut laporan yang ia terima masalah tumpahan minyak tersebut sudah ditangani. “Kan, sedari awal terkait kapal yang tenggelam itu isunya berkaitan dengan pencemaran. Jadi, report atau laporan kita juga ada terima,” kata dia.
Jauh sebelum itu, Komite Peduli Lingkungan Hidup Indonesia (KPLHI) juga sudah memperingatkan bahwa lambung kapal keruk King Richard X bisa pecah apabila terlalu lama dievakuasi dari dasar laut. Ibarat bom waktu, ratusan ton bahan bakar minyak (BBM) katanya berpotensi mencemari perairan.
Kapal tua berumur 50 tahun ini sendiri tenggelam bersama ratusan ton bahan bakar minyak (BBM) yang terkurung di dalamnya pada Desember 2020 lalu, dan proses pengangkatannya sampai sekarang masih urung dilakukan. (Baca: Bangkai Kapal King Richard X Belum Diangkat, Pencemaran Minyak Mengintai).
“Kapal akan sulit bertahan menahan tekanan bawah air. Pertanyaannya, seberapa kuat kapal itu menahan tekanan air. Semua kan ada masa lelahnya, kalau dia tidak kuat menahan formasi air tentu kapal akan pecah,” kata Ketua KPLHI Batam, Azhari Hamid, 20 Mei 2021.
Apabila kapal pecah atau ada keretakan kecil saja pada bagian tangki kapal maka pencemaran di laut tidak bisa terelakkan. Menurutnya, hal itu sekarang mungkin saja sudah terjadi mengingat minyak yang lolos keluar tidak serta merta muncul ke permukaan.
“Kalau ada kebocoran minyak itu tidak akan langsung naik vertikal ke atas [permukaan air] karena di bawah laut masih ada arus, jadi minyak akan terbawa dan nanti memapar ke sekitarnya atau sekelilingnya mengikuti arus,” katanya.
Satu hal yang membuat kapal jenis trailing suction hopper dredger lebih berpotensi mencemarkan laut adalah karena spesifikasi kapal ini lebih khusus ketimbang kapal pada umumnya. Kapal membutuhkan banyak bahan bakar untuk menggerakkan komponennya seperti: pipa pengisap, tabung pengisap, mesin pengeruk, serta alat-alat lainnya.
“Jadi banyak membutuhkan bahan bakar, bukan hanya bakar, ada juga gris atau oli dan pelumas untuk peralatan dredger-nya. Belum lagi kalau di dalam hopper-nya itu masih ada lumpur atau sisa-sisa lumpur. Namun, saya rasa lumpurnya sudah terlepas ke ataslah waktu tenggelam,” kata Azhari Hamid.