Deru mesin forklift yang sibuk mondar-mandir memindahkan karung raksasa itu terdengar mendominasi. Puluhan pekerja yang rata-rata perempuan terlihat santai memilah limbah elektronik yang menumpuk di sekitaran mereka. Sesekali terdengar senda gurau, seolah tidak ada rasa khawatir, meskipun seisi ruangan tempat mereka bekerja dipenuhi gunungan sampah yang mengandung merkuri dan tergolong limbah bahan beracun dan berbahaya (B3).
Situasi itu terekam dalam video yang diterima HMS, yang katanya adalah aktivitas di dalam gudang blok C-3A kawasan Horizon Industrial Park, Kota Batam, Kepulauan Riau. Ada sejumlah dokumentasi foto yang ikut dilampirkan, bergambar situasi luar gedung yang memperlihatkan tumpukan puluhan karung semen raksasa berisi sampah-sampah elektronik teronggok di halaman depan bangunan.
Pengirimnya adalah Dedek Wahyudi, anggota dari Lembaga Aliansi Indonesia Badan Penelitian Aset Negara (LAIBPAN). Menurut dia, kuat dugaan limbah elektronik ini adalah barang-barang yang diimpor dari luar negeri ke Batam. Dugaan itu muncul setelah ia melihat volume sampah elektronik yang kalau ditimbang beratnya mencapai hitungan ton. Semakin kuat, setelah ia tahu ternyata gudang itu berdiri tanpa plang nama perusahaan.
“Saya mendapat informasi ini hari Sabtu [29 Mei 2021], bertepatan dengan limbah itu masuk ke kawasan. Kemudian esok harinya saya mencoba mendatangi lokasi, tapi oleh petugas keamanan saya tidak boleh masuk. Padahal saya hanya ingin memastikan data yang saya terima ini benar atau tidak sebelum terpublikasi secara luas,” kata Dedek Wahyudi kepada HMS, 31 Mei 2021.
Belum sempat mendatangi lokasi, pada hari yang sama HMS mendapat informasi kalau seluruh limbah itu sudah dikeluarkan dari gudang menuju kawasan yang takjauh dari Horizon Industrial Park. Satu dokumentasi foto pemindahan barang-barang bekas itu pun ikut dilampirkan. Menurut Dedek, soal pemindahan itu sebetulnya sudah ia wanti-wanti sebelumnya. “Karena itu kan harus cepat dicek, apalagi sudah ada media yang tahu. Data yang kami terima juga terbilang akurat dan berasal dari sumber terpercaya,” katanya.
Dedek mengatakan, perusahaan yang mengelola limbah elektronik itu adalah PT ES. Dari data yang ia dapat pemiliknya berinisial FY adalah pemain lama di dunia importasi sampah elektronik. “Sempat bermasalah di Jakarta juga infornya,” katanya. Terkait temuannya ini, Dedek meminta pihak Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam turun ke lokasi memeriksa aktivitas perusahaan tersebut. “Kalau tidak salah kenapa barang itu pindah setelah kita datang,” katanya.
Dari data yang HMS dapat, PT ES sendiri adalah sebuah perusahaan daur ulang limbah logam yang beralamat di Kecamatan Sekupang. Perusahaan ini sempat santer dibicarakan pertengahan 2019 lalu, sewaktu Batam dihebohkan dengan impor bahan baku industri pengolahan plastik dari mancanegara. Persoalannya kala itu, PT ES diduga mengimpor puluhan ribu ton limbah elektronik dan telah melanggar izin impor terkait HS Code-nya.
Pihak yang paling vokal menyuarakan persoalan itu ialah seorang pemerhati lingkungan di Kota Batam, Azhari Hamid. Ketika diminta komentarnya terkait permasalahan ini, ia mengatakan, dalam PP No. 10 tahun 2014 sebetulnya sudah jelas menyebutkan bahwa limbah elektronik tidak boleh diimpor. Meski begitu, menurutnya limbah elektronik hanya diperbolehkan masuk ke Indonesia jika hanya untuk keperluan transit saja.
“Artinya kalau misalnya limbah elektronik ini CPU komputer dan saat masuk lalu keluar Indonesia bentuknya masih sama, ya tidak masalah. Yang kemudian masalah adalah ketika CPU komputer itu keluar Indonesia dalam bentuk pecahan, berarti di sini sudah dicacah atau diambil bagian-bagian lainnya,” katanya kepada HMS melalui sambungan telepon, Senin, 31 Mei 2021.
Menurutnya, dalam PP No. 22 tahun 2021 turunan UU Ciptaker, disebutkan bahwa transit barang elektronik harus mendapat izin dan disetujui oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI. Jika barang itu masuk dengan izin kementrian lain, kata dia, maka hal itu tidak benar prosedurnya.
“Kalau dilihat dari foto-foto yang ada, barang sebanyak itu didapat dari mana kalau tidak diekspor. Dengan tidak adanya plang nama di tempat itu, bisa jadi itu merupakan bagian dari perusahaan lain. Karena bisa saja karena jumlah barang itu banyak, maka pihak perusahaan menyewa atau meminjam tempat lain untuk melakukan proses pencacahan barang elektronik itu tadi. Tapi kayaknya itu memang satu perusahaan tetapi menjadi sub contract dengan perusahaan lain,” kata Azhari.
Menurutnya, limbah elektronik itu memiliki kandungan zat berbahaya seperti merkuri, mangan, timbal, litium, dan kadmium. Sebagai material yang tak bisa diurai oleh alam, logam berat ini bisa mencemarkan dan merusak lingkungan jika tak ditangani dengan tepat.
Ia juga mengatakan, bahwa sampah elektronik punya karakter yang berbeda dengan sampah lainnya sehingga membakar bukanlah solusi terbaik. Jika terkena hawa panas, senyawa kimia dalam barang-barang elektronik ini bisa menciptakan senyawa baru yang lebih berbahaya, bahkan bersifat karsinogenik, alias bisa memicu kanker. Apabila senyawa ini terbawa melalui udara, tentu bisa dengan mudah mengontaminasi orang lain.
Selain itu, kata dia, zat seperti merkuri bisa saja mengontaminasi ikan-ikan di laut yang dikonsumsi manusia sehingga akhirnya memicu penyakit kronis seperti gangguan di sistem saraf pusat, ginjal, dan sistem reproduksi. Bahkan, ibu menyusui bisa saja menularkannya pada bayi melalui asi. Jika sampah elektronik dicampur dengan sampah lainnya, dari waktu ke waktu kandungan berbahaya di dalamnya bisa mencemari air dan tanah yang mengancam semua makhluk hidup serta lingkungan.
“Yang jelas mereka [pihak perusahaan] harus memiliki izin impor, artinya barang itu tidak boleh masuk Indonesia. Kalau menurut saya yang perlu dicari adalah calo atau importir apakah perusahaan itu sendiri atau ada yang mengurusnya sampai bisa masuk ke Batam,” katanya.
Sampai berita ini ditulis HMS masih berupaya mengonfirmasi pihak-pihak terkait. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam, Herman Rozy, dan Kepala Bidang Penegakan Hukum Lingkungan (PHL) Dinas Lingkungan Hidup, Endra Rika, juga belum merespon konfirmasi yang dilayangkan HMS.