Siprianus Apiatus (27), menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan mendekam di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 2 A Batam. Tahanan kasus pengeroyokan ini sempat dinyatakan meninggal karena sakit, belakangan polisi mengumumkan kalau hasil autopsi jenazahnya menunjukkan kalau korban meninggal karena dianiaya. Tentu setelah pengumuman itu, babak baru kasusnya pun dibuka.
Informasi awal yang beredar, Siprianus meninggal setelah mendapat perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Embung Fatimah, pada 10 April 2021. Namun demikian, ada keterangan lain yang HMS dapatkan pada Kamis, 15 April 2021, sewaktu mendatangi RSUD Embung Fatimah untuk menanyakan pihak rumah sakit mengenai kronologi kematian dan hasil visum luar korban.
Hari itu, rencana wawancara sempat urung terlaksana karena Direktur RSUD dan Bagian Humas sedang tidak berada di tempat, HMS kemudian mendatangi bagian program dan diminta menunggu di sana. Tak lama setelahnya datang seorang laki-laki perwakilan RSUD menanyakan tujuan kedatangan.
Setelah mengajukan pertanyaan mengenai korban atas nama Siprianus Apiatus, ia lalu menghubungi salah satu karyawan RSUD via telepon dan menanyakan data korban. Selesai melakukan panggilan telepon, ia lalu mengatakan, “Dari data kita, korban sampai ke sini sudah dalam kondisi meninggal dunia,” katanya.
Pada 11 Mei 2021, HMS kembali mencoba mengonfirmasi Direktur RSUD Embung Fatimah, Any Dwyana, untuk memastikan keterangan dari perwakilan rumah sakit itu. Any Dwyana menyarankan HMS untuk bertanya kepada Agung, Dokter Forensik, yang menangani Siprianus hari itu. Hanya saja, Agung, sampai berita ini ditulis belum menjawab pertanyaan HMS.
Seperti diketahui, sebelumnya Kepala Pengamanan Rutan Kelas II A Batam, Ismail, mengatakan, Siprianus sempat mendapat perawatan di RSUD Embung Fatimah, korban tiba di sana sekira pukul 11.00 WIB. Dokter katanya sempat melakukan tindakan medis, hanya saja pada pukul 12.46 WIB, Siprianus dinyatakan meninggal dunia. Kata Ismail, menurut keterangan dokter Siprianus mengidap penyakit restorasi destress.
Soal tudingan pengacara ada bekas-bekas penganiayaan pada tubuh korban pun dibantah oleh Ismail. Dia mengatakan, perihal bekas memar di dada dan punggung korban itu hanyalah bekas kerokan, karena sewaktu korban sakit rekan satu sel-nya mengira si korban sedang mengalami gejala masuk angin. (baca: Dua Versi Berbeda Tentang Kematian Narapidana Rutan Batam).
Sementara soal patah tulang menurut dia, itu karena korban dulunya menurut keluarga pernah jatuh dari sepeda motor yang mengakibatkan tulang lengannya patah. Artinya patah tulang itu adalah luka lama dan lagi pula katanya hasil visum di RSUD Embung Fatimah juga tidak ada yang menyatakan kalau si korban ini patah tulang.
“Kami masih menunggu hasil dari autopsi, karena keluarga belum puas dengan keterangan dokter. Dipikirnya ada penganiayaan,” kata Ismail.
Sementara itu, terungkapnya penyebab kematian Siprianus pertama kali diumumkan oleh Kapolsek Sagulung, AKP Yusriadi Yusuf, yang mengatakan, kasus meninggalnya napi tersebut bukan disebabkan karena penyakit, melainkan karena hantaman benda tumpul pada bagian perut korban. (baca: Siprianus Meninggal Bukan Karena Sakit, Tapi Dianiaya).
“Berdasarkan hasil autopsi yang kita dapatkan, ada hantaman benda tumpul pada perut korban, sehingga menyebabkan pendarahan pada organ di dalam perut, akhirnya memicu respon radang sistem dan menimbulkan kegagalan multi organ,” kata AKP Yusriadi Yusuf kepada HMS pada Senin, 10 Mei 2021.
Dari hasil autopsi tersebut, kemudian pihaknya melakukan pemeriksaan kepada beberapa para terduga pelaku dan akhirnya didapatkan 3 orang yang mengakui bahwa telah melakukan penganiayaan terhadap korban.
“Sabtu [8 Mei 2021] kemarin kita sudah melakukan penyidikan terhadap ketiga pelaku dan kita sudah menentapkan ketiganya sebagai tersangka,” kata dia.
Ketiga pelaku penganiayaan tersebut tak lain merupakan narapidana di Rutan yang sama, yakni Muhammad Yandi, Rinaldo Putra, dan Adi Saputra. “Mereka bertiga merupakan narapidana kasus pencurian,” katanya.
Pengungkapan kasus ini menurut AKP Yusriadi Yusuf, karena kerjasama antara pihak Rutan dan Kepolisian yang saling terbuka, sehingga pihaknya bisa melakukan penyelidikan lebih dalam. “Pihak Rutan bahkan memfasilitasi kita untuk pemeriksaan kepada para pelaku,” kata dia.
Sementara itu, Sekretaris Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Batam, Tonny Siahaan, mewakili tim pengacara Siprianus lainnya, yakni Radius, Natalis Zega, dan Ramon Frangky, pun mengapresiasi kinerja polisi yang akhirnya dapat membuktikan kecurigaan dari keluarga sebelumnya, bahwa Siprianus memang bukan meninggal karena sakit, melainkan karena dianiaya. Hanya saja, mereka belum menerima salinan hasil autopsi dan belum bisa berbicara secara rinci soal kekerasan apa saja yang menimpa Siprianus. (baca: Pengacara Menduga Tiga Tahanan Hanya “Kambing Hitam” dalam Kasus Kematian Siprianus).
Langkah pihaknya setelah mendapatkan fakta terbaru ini yaitu adalah menyurati Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Presiden. Hal ini dilakukan karena pihaknya masih menduga ada hal yang ditutup-tutupi. Terlebih sedari awal pihak rutan berulangkali mengklaim kalau Siprianus meninggal karena sakit.
“Supaya peristiwa ini tidak terulang lagi, kami akan menyurati Kemenkumham, bahkan kepada Presiden. Supaya pemerintah bisa membersihkan oknum-oknum penegak hukum, apalagi di Rutan yang selama ini kita lihat banyak korban di sana, tetapi kita lihat tidak ada keberanian dari pihak keluarga, juga terbatasnya biaya untuk meminta bantuan penasehat hukum. Dan kami turun dengan rasa kemanusiaan, kami bersedia mendampingi pihak keluarga dalam kasus meninggalnya siprianus, sampai semuanya benar-benar tuntas,” kata Tonny Siahaan, 10 Mei 2021.
Dugaan adanya rekayasa itu diperkuat dari sejumlah keterangan mantan narapidana yang sudah ditanyai oleh pihaknya. Selain itu kata dia, beberapa waktu lalu, sebelum dan sesudah Siprianus meninggal ada juga narapidana lain yang mendadak meninggal dunia.
“Dan kami dari pihak penasehat hukum telah mengumpulkan informasi dari teman-teman bahkan mereka yang pernah ditahan di sana, mereka yang sudah bebas menceritakan hal tersebut [adanya penganiayaan]. Ada juga disitu tahanan memukul tahanan tetapi bukan keinginan tahanan tersebut, tetapi perintah dari petugas,” katanya.
Atas dasar itulah pihaknya tidak akan mentah-mentah mempercayai keterangan tiga tersangka yang sudah diumumkan polisi tersebut. Tim pengacara masih menduga, ketiga orang ini memang sengaja dijadikan kambing hitam karena hasil autopsi membuat pihak Rutan tidak dapat mengelak lagi kalau Siprianus meninggal memang benar karena dianiaya.
“Harus dilindungi hak tersangka ini agar bersedia mengungkap siapa yang menyuruhnya. Karena pada awalnya Kepala Rutan mengatakan, tidak ada perkelahian atau permusuhan antara korban dan terduga tersangka. Konon karena hasil autopsi sudah menjelaskan kematian korban maka pihak Rutan mengkambinghitamkan ketiga nama tersebut. Ini harus di usut dan ketiga tersangka harus terbuka jujur tentang siapa yang menyuruhnya,” kata dia.
Selain itu pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Ombudsman Kepulauan Riau. Tonny Siahaan mengatakan, “Komunikasi berkaitan dengan perkara tersebut, kami menyerahkan informasi putusan Pengadilan Negeri Batam. Di mana setelah divonis bersalah dia [Siprianus] sampai kematiannya, dia masih ditahan di Rutan. Sebagaimana biasanya setelah selesai statusnya inkrah, harus dipindahkan ke lembaga permasyarakatan. Hingga kematian tersebut, korban masih berada di sana. Itu menjadi salah satu kejanggalan yang harus dijawab oleh pihak Rutan,” kata Tonny Siahaan.