Setelah mendapat surat teguran dari Kantor Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Khusus Batam, PT Batamitra Sejahtera seharusnya menghentikan kegiatan dan segera melaporkan dokumen kapal-kapal yang dimutilasi di galangannya. Tapi, semua diabaikan. Padahal, melapor itu gratis. Ancaman pengabaian ini adalah pencabutan izin. Sementara dampak yang ditimbulkan bisa mengarah ke pidana.
Surat teguran itu terbit pada 20 Agustus 2021. Namun, sampai pada 20 September 2021, belum ada satu pun dokumen yang masuk dari PT Batamitra Sejahtera (BMS) ke KSOP Khusus Batam. Sementara kegiatan penutuhan kapal jalan terus. “Bagaimana kami tahu soal dokumen kapalnya [yang ditutuh], sampai sekarang mereka [PT BMS] belum melapor,” kata Kepala Seksi Keselamatan Berlayar KSOP Khusus Batam, Yusirwan.
Padahal surat teguran itu meminta semua kegiatan penutuhan dihentikan sampai syarat yang dipersyaratkan dipenuhi dan dilaporkan. Selain itu, diterangkan juga apabila teguran tidak ditaati maka semua dampak hukum yang timbul baik perdata maupun pidana menjadi tanggung jawab PT BMS, dan KSOP Khusus Batam tidak akan lagi memberikan pelayanan terhadap kegiatan kapal, sampai kepada pencabutan izin otorisasi.
Humas KSOP Khusus Batam, Aina Solmidas, mengatakan, PT BMS terakhir kali melaporkan kegiatan penutuhan kapalnya pada Mei 2021 lalu, yaitu pada kegiatan MT Jakarta Fortune. “Mereka harus melaporkan kegiatannya untuk dilakukan pengawasan sesuai Peraturan Menteri Perhubungan PM 29 Tahun 2021. Kalau tidak, sanksinya adalah administrasi, bisa teguran tertulis sampai ke pencabutan izin operasi oleh DJPL [Direktorat Jenderal Perhubungan Laut].”
SEDIKITNYA, ada empat nama kapal yang HMS tahu dimutilasi menjadi besi tua tanpa dilaporkan oleh PT BMS periode Juli sampai September 2021 ini, yaitu MT Lumba, MT Lautan Tujuh, MT Lautan Energi, dan MT Great Marine (baca: Polisi Mengusut Kapal-Kapal yang Dirajang di PT Batamitra Sejahtera). Keempat kapal itu kasusnya sedang diselidiki oleh Polda Kepulauan Riau. Salah satunya bahkan dilaporkan atas dugaan pemalsuan dan pencurian.
Pengawasan dan PNBP Penutuhan Kapal
Aina Solmidas menerangkan, ada delapan syarat penutuhan kapal yang terlewati oleh PT Batamitra Sejahtera, yaitu sertifikat kapal, deletion certificate, surat jual beli, permohonan agen, Pernyataan Umum Kapal (PUK) lunas dari BP Batam, izin otorisasi penutuhan dari DJPL, surat pernyataan kebenaran dokumen dan kepemilikan, serta surat pernyataan penanggung jawab selama kegiatan. “Tapi, untuk izin otorisasi penutuhan mereka sudah punya.”
Meskipun sudah memiliki izin otorisasi penutuhan dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, perusahaan tetap wajib melapor kegiatan penutuhan kepada syahbandar. Selain untuk menghindari sengketa dan kemungkinan adanya tindak pidana, tujuan utama melapor yaitu untuk pengawasan dan pengendalian. Hal itu diatur dalam PM Nomor 29 Tahun 2014.
Sebetulnya, pada masa kepemimpinan Revolino, Kepala KSOP Khusus Batam yang baru, PT BMS terbilang sudah diberikan kemudahan. Tetapi masih saja tidak tertib. Tidak tahu apa alasannya. Padahal, mereka tidak lagi diwajibkan membayar ke negara. Berbeda dengan masa kepemimpinan Mugen Suprihatin Sartoto, Kepala KSOP Khusus Batam, terdahulu, yang sekarang sudah menjabat sebagai Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut DJPL.
Perbedaan itu ada pada kebijakan yang Mugen buat, yang menerapkan pungutan pengawasan sebesar Rp50 ribu per GT (Gross Tonnage)-nya, untuk menambah pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Kebijakan tersebut meskipun sudah sempat berjalan dan dilaporkan kepada Menteri Perhubungan, sekarang telah dihapuskan. Alasannya, karena tidak ada dalam Peraturan Pemerintah. Bayangkan, kalau masih berlaku, berapa miliar pendapatan negara bertambah atas kegiatan empat kapal yang dipotong di PT BMS secara ilegal itu.
HMS mewawancarai Mugen melalui sambungan telepon. Dalam sesi wawancara tersebut Mugen menjelaskan dengan rinci segala hal tentang pengawasan penutuhan kapal dan alasan kebijakannya dulu selama menjabat di Batam. Perlu diingat terlebih dahulu, Mugen resmi pindah dari Batam pada akhir Juli 2021 lalu. Sementara informasi yang HMS dapat, pemotongan MT Great Marine dimulai pada pertengahan Juli 2021.
Pertama yang harus diingat menurut Mugen adalah bahwa pengawasan itu sifatnya wajib dan sudah diatur oleh Peraturan Menteri tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Maritim. Apabila ada kegiatan penutuhan yang berjalan tanpa melapor ke syahbandar seperti kasus di PT BMS, artinya kegiatan itu tidak resmi dan dapat dibatalkan.
Kewajiban perusahaan melapor ke syahbandar untuk mencegah dampak negatif dari kegiatan penutuhan, terutama supaya kegiatan aman dan ramah lingkungan. Dengan kata lain, apabila tidak melapor dan mendapat pengawasan petugas, tentu tidak ada yang dapat menjamin kalau kapal-kapal yang dimutilasi bukanlah kapal curian ataupun kegiatannya benar tidak mencemari lingkungan. “Karena kalau sampai ada kecelakaan jiwa atau pencemaran, bisa dieskalasi ke ranah pidana. Pemalsuan dokumen termasuk dalam ranah pidana,” katanya kepada HMS, 20 September 2021.
Pelaporan itu juga agar petugas dapat memeriksa keabsahan dokumen terutama terhadap penutuhan eks kapal-kapal berbendera asing. “Karena dalam laporan itu pemohon diminta menandatangani surat pernyataan tanggung jawab mutlak. Jika nanti didapati masalah dokumen harus tanggung jawab secara hukum maupun administratif.”
Sementara ketika ditanya untuk alasan dia memungut tarif pengawasan semasa menjabat dulu, Mugen mengatakan, “Masih ingat insiden penutuhan MV Acacia? Saat itu isu apa yang ditulis di media?” katanya.
Insiden itu ialah kasus pemotongan kapal Acacia Nassau, berbendera Bahama, di PT Graha Trisaka Industri pada Februari 2021 lalu (baca: Drama Pemotongan Kapal Bahama). Waktu itu, Mugen yang baru menjabat dihadapkan dengan masalah akibat kelakuan satu pejabat KSOP Khusus Batam lama, yang mengeluarkan surat izin pengawasan, padahal galangan belum memiliki izin otorisasi. Kasusnya bergulir hingga beberapa pejabat syahbandar dimutasi dan digiring sampai ke Komisi I DPRD Batam, yang menyebutkan ada miliaran PNBP yang hilang.
TERNYATA kerugian negara senilai miliaran rupiah yang ramai dipermasalahkan tersebut sebetulnya tidak ada. Karena kata Mugen, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Perhubungan, belum diatur mengenai tarif pengawasan penutuhan kapal. Yang ada hanyalah tarif pengawasan pengangkatan kerangka kapal.
“Maka setiap pemohon pengawasan kegiatan penutuhan kapal saya tawarkan untuk membuat kesepakatan bersama yang rumusnya berlaku sama bagi pemohon lainnya, yaitu 50 persen dari tarif pengawasan pengangkatan kerangka kapal.”
Kebijakan itu dibuat juga sebagai jalan tengah yang adil menurutnya untuk menyikapi permasalahan yang ada waktu itu (baca: Perkara Kapal Bahama Hampir Sampai di Penghujung).
“Supaya galangan kapal di Batam yang sudah banyak “mati suri” dapat terus berkegiatan, mengurangi jumlah PHK pekerja galangan, kegiatan penutuhan jadi mudah dikendalikan termasuk pencegahan polusi, kecelakaan kerja yang mungkin timbul, menambah pendapatan negara [PNBP], dan meningkatkan efek domino ekonomi di Batam.” (baca: Senja Kala Industri Maritim Batam)
SOAL kekuatan hukum kebijakannya itu, Mugen mengatakan, kalau ia sudah melaporkan kesepakatan bersama tersebut kepada Menteri Perhubungan. Tarif yang dibayarkan juga langsung masuk ke negara. Dia berharap hal itu bisa menjadi rujukan revisi PP Nomor 15 Tahun 2016, terutama kalau melihat tidak teraturnya kegiatan penutuhan sekarang di Batam.
“Pilihannya adalah dibiarkan seperti itu atau diatur, agar lebih dapat dikendalikan, dan tentu memberikan manfaat untuk negara,” kata Mugen.
Perihal kasus yang ada di PT Batamitra Sejahtera, sebagai Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut DJPL, dia mengatakan, “Bahwa semua kegiatan harus sesuai dengan yang sudah diatur, pengawasan dan koordinasi sesuai prosedur dalam PM 29 Tahun 2014 harus diikuti. Mengenai tarif PNBP pengawasan, mudah-mudahan revisi PP 15 Tahun 2016 tentang PNBP segera terbit, sehingga payung hukumnya bisa lebih kuat daripada kesepakatan.”
Terhadap sanksi yang mestinya harus diterima PT Batamitra Sejahtera, Mugen mengatakan bahwa hal itu tergantung kepada tingkat pelanggarannya, “Kembali kepada semangat UU [Undang-Undang] Cipta Kerja, yang tidak tertib aturan, bisa dilakukan teguran, denda sampai pencabutan izin,” kata dia.