Hasil survei Indonesian Presidential Studies (IPS) tentang kepuasan kinerja kabinet pemerintahan Presiden, Joko Widodo (Jokowi), dan Wakil Presiden, KH Ma’ruf Amin, periode Maret hingga April 2021, menempatkan Menteri Pertahanan (Menhan), Prabowo Subianto, pembantu presiden teratas.
Dalam survei tersebut jumlah persepsi publik yang puas kinerja Menhan mencapai 51,4 persen. Diikuti Menteri Keuangan, Sri Mulyani, dengan jumlah suara 45 persen.
Kemudian ada Menteri Sosial, Tri Rismaharini, di posisi ketiga (41,2 persen), menggeser Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, yang saat ini berada di peringkat ke lima dengan 37,5 persen.
Di atas Nadiem, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, berhasil menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah suara 39 persen. Menteri BUMN, Erick Thohir, sendiri menduduki posisi ke-6 dengan 33,6 persen dan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, 31,3 persen.
“Sementara tingkat kepuasan publik terhadap menteri-menteri lainnya dalam kabinet Presiden Jokowi, di luar tujuh menteri tersebut masih di bawah 30 persen,” kata Direktur Eksekutif IPS, Nyarwi Ahmad, dalam Diskusi Ruang Beranda bertajuk “Reshuffle Lagi di Tengah Pandemi” secara virtual, Rabu, 21 April 2021 lalu.
Untuk peringkat terakhir ditempati Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, dengan skor 14 persen.
“Dan data lain ialah, peran Menteri Koordinator itu tidak terlalu kelihatan. Hanya Pak Mahfud, Menkopolhukam. Justru menteri-menteri sosial, ekonomi, parekraf, BUMN itu lebih menonjol,” kata lulusan Bournemouth University, Inggris, itu.
Profesional Tak Tepat
Sementara itu Anggota Komisi XI DPR Misbakhun yang juga hadir, lebih menyoroti usulan sejumlah pihak yang menilai calon menteri untuk mengisi tim ekonomi di Kabinet Indonesia Maju haruslah dari kalangan profesional. Secara tegas ia menyebut usulan itu tidak tepat.
Reshuffle tahap pertama lebih kepada unsur parpol, terus kemudian (perombakan jilid II) dari akademisi. “Apakah akademisi juga akan memberikan jaminan? Karena apa, posisi menteri bukan posisi akademik, tapi posisi politis,” kata dia.
Menteri merupakan ujung tombak presiden dan wakil presiden untuk menerjemahkan dan merealisasikan visi dan misi negara. Dalam aspek implementasi, visi presiden harus dikemas dalam program nyata yang dapat dirasakan masyarakat Indonesia. Bahkan, seorang menteri mampu mengemas tujuan itu dalam bahasa yang sederhana atau mudah dipahami rakyat.
Perkaranya, kalangan profesional dinilai tidak mampu menerjemahkan tujuan kepala negara. Bahkan, cenderung masih mengedepankan dirinya sendiri. Ia mencontohkan, program-program yang dijalankan selama ini terkesan merupakan program kementerian yang berasal dari menteri itu sendiri.
Catatan lain bagi kalangan profesional adalah kemampuan komunikasi untuk membendung isu yang bisa merugikan Presiden. Dia cukup pemisitis bila kemampuan itu dimiliki profesional.
“Apa mau orang-orang profesional itu pidato begini di depan rakyatnya? Di tengah Presiden mengalami kesulitan dan di tengah membutuhkan popularitas untuk menaikkan programnya. Saya enggak percaya, Pak,” katanya.
Korbankan Kemristek
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menilai reshuffle dan perubahan nomenklatur kali ini menarik. Karena telah mengorbankan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemristek). Sementara, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) justru naik kelas bertransformasi menjadi Kementerian Investasi.
“Ke depannya apakah ingin fokus kepada riset sehingga produk yang dihasilkan berteknologi tinggi atau yang penting investasi secara nominal maupun realisasi naik dululah, karena kita butuh pemulihan ekonomi jangka pendek,” katanya.
Ia menjelaskan, di banyak negara, kebijakan yang diambil bukan substitusi melainkan sifatnya paralel karena sambung menyambung. Investasi berkualitas juga perlu adanya riset yang bagus.
“Banyak yang menyayangkan kenapa dalam situasi sekarang yang dikorbankan adalah Kemenristek, dihapus atau dilebur ke dalam Kemendikbud. Padahal kita melihat sekarang ini momentum, justru di saat pandemi ini kita melihat riset sebagai salah satu faktor utama pemulihan ekonomi,” kata Bhima seraya menambahkan, apalagi, jumlah peneliti di Indonesia masih sangat rendah.
Menurut data Indef tahun 2020, jumlah peneliti di Indonesia berkisar antara 216 orang per 1 juta penduduk. Dibandingkan dengan Vietnam, sebanyak 707 orang per 1 juta penduduk.
Negara maju seperti Jerman memiliki 5.211 orang peneliti per 1 juta penduduk, Jepang 5.331 orang dan tertinggi, Korea Selatan punya 7.890 orang peneliti per 1 juta penduduk.
Di sisi lain, belanja riset Indonesia juga hanya 0,3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dibandingkan Malaysia 1,1 persen. Negara maju seperti Jepang anggaran risetnya 3,4 persen dari PDB, sedangkan Korea Selatan 4 persen.
“Jadi jumlah risetnya kalah, belanja riset kalah,” kata Bhima.
Menurut dia, seharusnya Kemenristek tetap didukung karena itu salah satu bentuk komitmen pemerintah mendorong riset. Kemudian di sisi lain, masih banyak hal salah satunya perlu diperbaiki, misalnya hak paten.
“Banyak teman-teman yang mau berinovasi di Indonesia karena ekosistemnya belum mendukung, akhirnya paten itu didapatkan di negara lain yang proses pendaftaran patennya relatif lebih cepat,” katanya.
Kemudian dari sisi daya saing, Indonesia sebenarnya terlihat sangat jelas apple to apple dengan negara-negara lain. “Indonesia itu memang daya saingnya so-so lah kita di peringkat 50 dunia. lebih baik daripada Vietnam, Filipina. Cuma yang jadi catatan kalau kita bongkar komponen daya saing yang ada di Indonesia, kita menang itu karena marketplace kita besar karena populasi penduduk kita besar, doyan jajan, doyan belanja,” katanya.
Hal ini saja sudah membuat banyak investor tertarik ke Indonesia, salah satunya karena melihat pasar yang besar.
“Jadi, kalau dalam konteks ini Pak Jokowi ingin meningkatkan realisasi investasi yang berkualitas juga, saran saya Sri Mulyani yang diganti karena banyak dari sebagian ini justru tugas dari menkeu,” katanya.
Menurut dia, beberapa hambatan dari daya saing dan usaha itu bukan dengan cara BKPM naik menjadi kementerian, tapi justru ada pada kementerian teknis yang belum cepat untuk melakukan perubahan. “Salah satunya di Kemenkeu dalam pembayaran pajak kemudian trading accros border. Ini salah satu hal ya. Belum bicara registrasi IMB di Indonesia yang rumit dan lain-lain,” katanya.
Nadiem Ketemu Mega
Sementara dalam kesempatan itu, Ketua DPP partai banteng, Eriko Sotarduga, menanggapi kabar beredar terkait pertemuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
Pertemuan itu diketahui dari unggahan foto pada akun Instagram Nadiem, Selasa, 20 April 2021. Eriko membantah anggapan kedatangan Nadiem mencari suaka politik jelang reshuffle. Sebab pertemuan itu terjadi sudah beberapa hari lalu.
“Jadi gini, kenapa Mas Nadiem bertemu dengan Bu Mega? Sebenarnya pertemuan atau silaturahmi antara Mendikbud dengan Ibu Mega dalam kapasitas beliau sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila),” katanya.
Pertemuan selama dua jam itu juga fokus membahas hilangnya kurikulum Pancasila dalam Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan.
“Kalau mau dijabarkan lebih lanjut ini terkait dengan PP Nomor 57 yang sempat menjadi kontroversial. Itulah yang disebut aksi dan reaksi cepat dari Ibu Mega. Kenapa sampai ada perubahan dalam hal pendidikan Pancasila yang juga ada di perguruan tinggi atau tingkat-tingkat pendidikan di levelnya masing-masing,” katanya.
Bahkan pertemuan tersebut tidak dilakukan secara empat mata. Megawati dalam hal ini bukan berperan sebagai Ketua Umum PDIP. “Ibu Mega yang saya kenal tidak mungkin mencampuri hal-hal seperti itu,” Eriko menekankan.
Sebaliknya, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai pertemuan itu bukan sekedar silaturahmi atau diskusi semata. Ia memberi gambaran ketika Nadiem dikritik Muhammadiyah, Nadlatul Ulama (NU), hingga Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terkait persoalan anggaran Program Organisasi Penggerak, justru yang dilakukan mantan bos Gojek itu berkeliling menemui para kiai NU.
“Ini juga bagian untuk menyelesaikan kritik. Ini fakta dan kenyataan. Nah artinya, bisa jadi pertemuan itu tidak ada yang kebetulan,” katanya.
Ibarat jika ingin bertemu menteri maka Ketua DPR harus membawa bahan. Tapi di luar itu adalah pembicaraan lain. “Tolonglah amankan kita dikitlah, colek-colek sedikit Pak Jokowi biar kita aman. Kan bisa saja. Tapi tadi, ada bahasa diplomasi, lobi, dan media. Nah yang mungkin digunakan Nadiem adalah bahasa lobi, bahasa diplomasi dengan membawa bahan persoalan Pancasila. Ya itu biasa dilakukan oleh politisi di manapun untuk mengamankan diri ketika banyak disorot,” kata Ujang.