“Andai Taliban tidak ada lagi di muka bumi, saya pasti mau pulang,” kata Muhammad Zia (21), pencari suaka asal Afganistan yang sudah 3 tahun tinggal di kawasan Gedung Akomodasi Non-Detensi Kota Batam, Kepulauan Riau. Ia rindu keluarga dan membenci perang yang memaksanya meninggalkan tanah kelahirannya. “Tetapi Taliban sekarang berkuasa, saya tidak bisa pulang,” katanya.
Sabtu pagi, 21 Agustus 2021, HMStimes.com mendatangi gedung yang disediakan Pemerintah Indonesia untuk menampung para pencari suaka negara konflik (baca: Di Afganistan Takbisa Hidup Damai, di Batam Takbisa Bekerja). Berkat bantuan seorang petugas jaga, HMS berhasil mewawancara dua pemuda Afganistan dari suku Hazara bernama Muhammad Zia dan Muhammad Reza, yang cukup fasih berbahasa Indonesia. Namun, wawancara harus dilakukan di luar pekarangan gedung, karena petugas pengawas sedang libur.
Muhammad Zia, merasa hidupnya selalu dibayang-bayangi teror. Entah pada dirinya atau keluarga yang terperangkap di negeri nun jauh di timur. Ia bercerita, sejak Taliban berhasil merebut kekuasaan, pikirannya makin tak tenang. Karena si adik laki-laki kabur dari rumah dan tak dapat dihubungi. Semakin kalut ketika mengingat ketiga adik perempuannya yang kini tengah memasuki usia perkuliahan. Ia takut mereka diperkosa atau dibunuh.
“Orang tua saya sudah tua, jadi kemungkinan untuk disakiti kecil. Tetapi adik-adik perempuan masih muda, aku khawatir nasib mereka. Masa depan mereka. Mereka harusnya kuliah dan belajar, karena suatu saat akan menjadi orang besar,” katanya pria berkulit putih khas orang timur tengah ini.
Dia menduga, adik laki-lakinya kabur lantaran takut dipaksa bergabung dengan Taliban. Menurut pengalamannya, Taliban memang sering memaksa laki-laki usia 15 tahun ke atas untuk angkat senjata melawan siapapun yang dianggap musuh. Itu juga lah salah satu alasan yang membuat ia kabur dari negaranya.
Pada 2014 silam, ia sempat bekerja sebagai relawan di sebuah klinik dalam program vaksinasi polio. Pekerjaan itu ia tinggalkan karena Taliban memburu mereka yang bekerja dengan pemerintah, termasuk tenaga kesehatan. Dia bahkan sempat menyaksikan beberapa rekan seprofesinya tewas di ujung senapan. Saat itulah dia membuang seluruh identitasnya sebagai relawan dan memutuskan meninggalkan negaranya. Ia memulai proses pelarian serupa judi: tidak membawa kartu identitas; tidak tahu arah tujuan.
Menurutnya, Taliban akan membunuh siapapun yang pernah bekerja di pemerintahan meski orang itu telah bekerja di pemerintahan 10 tahun lalu. Pola yang mirip seperti Orde Baru saat membumi hanguskan gerakan PKI.
Saat meninggalkan Afganistan, Zia singgah di India lalu Malaysia sebelum akhirnya sampai di Indonesia. Di sini, pertama kali dia diungsikan di Bogor, dipindahkan ke Pekanbaru, lalu Pontianak, dan terakhir menetap lama di Batam.
“Saya berharap kondisi di Afganistan akan membaik, karena kami warga lelah berperang. Kenapa kita harus saling membunuh? kita ini kan sesama manusia. Teman-teman saya yang bergabung ke Taliban pun sepertinya dilakukan karena terpaksa. Entah apapun alasannya. Siapa yang mau perang sementara hidupnya dikelilingi dengan keluarga yang dicintai?,” kata Zia.
Dia mengatakan, Pemerintah Afganistan juga tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Tidak hanya presiden, seluruh pejabat negara Afganistan itu malah kabur dengan membawa uang beserta sanak familinya. Sementara rakyat afganistan harus berjuang menyelamatkan nyawanya sendiri.
“Beberapa hari ini saya selalu mengikuti perkembangan di Afganistan. Dampak buruknya, saya kerap terbangun di malam hari, bermimpi sedang memegang senjata dan berperang. Itu menakutkan. Bayang-bayang nasib keluarga selalu ada dalam kepala. Saya harap mereka bisa keluar dari Afganistan, tapi sekarang sepertinya itu mustahil. Karena anggota Taliban sudah berjaga menjaga pintu keluar-masuk kota-kota yang mereka kuasai,” kata Zia.
Zia berkisah, pada usia 6 tahun ayahnya mengatakan kalau dia melihat Taliban membunuh ratusan orang suku Hazara. Taliban menggali lubang yang cukup lebar dan dalam lalu memasukkan orang-orang suku Hazara ke dalamnya kemudian mengubur hidup-hidup mereka.
“Jadi kalau ada yang mengatakan Afganistan akan lebih baik di bawah pemerintahan Taliban, itu hanya kabar bohong. Buktinya, ratusan bahkan ribuan orang memadati bandara untuk meninggalkan negeri itu saat Taliban menguasai ibu kota Kabul. Bahkan ada yang tewas karena memaksa naik ke atas pesawat dan jatuh,” kata dia.
Kelompok Penjahat?
Perebutan kekuasaan oleh Taliban pun seolah membawa kembali kengerian kelompok bersenjata dan peperangan dalam benak warga Afganistan. Minimnya keamanan dan stabilitas ekonomi setelah invasi Amerika Serikat ke Afganistan pada 2001 lalu pun turut berkontribusi pada eksodus ribuan warga Afganistan yang mencari suaka.
Muhammad Reza, pengungsi Afganistan lainnya, mengatakan, Taliban itu adalah sekelompok penjahat. Anggota mereka katanya sebagian merupakan warga Pakistan yang sering membantu memasok atau menyelundupkan senjata.
Mereka katanya juga “hobi” melanggar hak asasi manusia dan budaya. Misal, perempuan tidak diizinkan keluar rumah tanpa baju yang tertutup plus burqa. Kaum perempuan juga dilarang mengakses pendidikan dan tidak dizinkan mengendarai kendaraan bermotor. Sementara kaum laki-laki diwajibkan memelihara janggut.
“Pemerintah lebih baik dalam mengelola Afganistan ketimbang Taliban. Pemerintah tidak pernah mengatur cara berpakaian kami, kalau Taliban, laki-laki yang mau bermain sepak bola saja harus menutupi hampir seluruh kaki. Itu yang kami rasakan sejak Taliban ada pada 1990-an” kata pria dari suku Hazara, yang merupakan kelompok etnis terbesar ketiga di Afganistan ini. Mayoritas dari suku Hazara menganut Islam Syiah dan sudah sejak lama menghadapi diskriminasi dan persekusi di Afganistan dan Pakistan yang didominasi Islam Sunni.
Menurut Reza, Taliban tidak mentolerir warga Afganistan memeluk agama lain selain Islam. Mereka, penganut agama lain akan dipaksa masuk islam. Satu hal yang harusnya menjadi urusan atau hak asasi tiap individu.
“Beberapa di antara kami juga dipaksa bergabung atau istilahnya dibai’at untuk bergabung dengan Taliban. Mereka ingin menjalakan pemerintahan Afganistan dengan syariat islam, lantaran mayoritas penduduknya merupakan muslim. Padahal indonesia juga demikian, tetapi tidak ada paksaan berlebihan di sini,” katanya.
Afganistan di bawah kepemimpinan Taliban kata dia tidak akan lebih baik dibanding dengan pemerintah yang sah. Dia berkisah, Afganistan adalah negara yang cantik bahkan sejak Presiden RI pertama, Sukarno, berkunjung ke sana pada 1961. Nama Sukarno pun didengarnya dari ayahnya saat kecil dulu.
Dalam dua hari belakangan, Reza tidak dapat menghubungi keluarganya di Afganistan lantaran tidak ada jaringan di sana. Setelah Taliban menguasai ibu kota Kabul, pesan singkat yang datang dari keluarganya pun berisikan kabar-kabar baik tentang kondisi mereka. Namun, Reza yakin bahwa keluarganya sedang ketakutan. Menurutnya anggota Taliban akan memeriksa setiap telepon genggam milik warga untuk dilihat isi di dalamnya.
“Telepon genggam itu urusan pribadi, mustinya tidak mereka [Taliban] urusi,” katanya.
Gerakan Santri
Taliban berasal dari bahasa Pashtun yang artinya murid atau pelajar. Nama ini pada 1996 menjelma menjadi gerakan nasionalis Islam Sunni yang secara efektif menguasai hampir seluruh wilayah Afganistan selama 6 tahun. Pada tahun 2001, kelompok ini digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden. 20 tahun setelah itu, mereka berhasil mengkudeta pemerintahan dan membuat kabur Presiden Afganistan Ashraf Ghani dari istananya.
Beberapa negara dan organisasi internasional mencap gerakan ini sebagai organisasi teroris. Dewan Keamanan PBB bahkan mengecam tindakan kelompok ini karena kejahatannya terhadap warga negara Iran dan Afganistan. Akan tetapi, seperti yang dikutip dari wikipedia, kelompok ini mendapat pengakuan diplomatik dari tiga negara: Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Arab Saudi, serta pemerintah Republik Chechnya Ichkeria yang tidak diakui dunia.
Anggota-anggota paling berpengaruh dari Taliban, termasuk Mullah Mohammed Omar, pemimpin gerakan ini, adalah mullah desa (pelajar yunior agama Islam), yang sebagian besar belajar di madrasah di Pakistan. Gerakan ini terutama berasal dari Pashtun di Afganistan, serta Provinsi Khyber Pakhtunkhwa di Pakistan, dan juga mencakup banyak sukarelawan dari Arab, Eurasia, serta Asia Selatan.
Kelompok Taliban dibentuk pada September 1994, mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan Pakistan. Namun, pada tahun 2001 Pemerintahan Taliban digulingkan oleh Amerika Serikat karena dituduh melindungi pemimpin Al Qaeda Osama Bin Laden yang juga dituduh Washington mendalangi serangan terhadap menara kembar WTC, New York pada tanggal 11 September 2001 bekerja sama dengan kubu Aliansi Utara.
Invasi ini dimulai pada bulan Oktober sampai dengan bulan November 2001 dengan secara mengejutkan sehingga pihak Taliban langsung keluar dari ibu kota Afganistan, Kabul sehingga pihak Amerika relatif cepat dan mudah menguasainya. Sejak 2001, pasukan Amerika dan negara sekutu yang lain seperti Britania Raya dan Jerman mulai menduduki Afganistan untuk menumpas Taliban dan membantu menjaga keamanan negara.
Pada Mei 2021, pasukan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya mulai menarik diri dari Afganistan secara bertahap. Karena peristiwa penarikan pasukan tersebut, Taliban kembali memberontak terhadap pemerintah Afganistan. Pemberontakan ini mengakibatkan ratusan hingga ribuan penduduk Afganistan harus mengungsi ke ibu kota Kabul. Beberapa diantaranya ada yang melarikan diri ke luar negeri khususnya ke Iran, Turki dan negara-negara Eropa.
Terkait dengan pemberontakan tersebut, Presiden Joe Biden kembali mengerahkan sekitar 3.000 personel militer AS untuk bekerja sama dengan militer Afganistan dalam melawan Taliban. Pasukan cadangan juga disiagakan di negara-negara terdekat seperti Kuwait, Arab Saudi dan Qatar.
Per 13 Agustus 2021, Taliban telah menguasai sepuluh wilayah Afganistan dalam kurun waktu enam hari. Kota-kota utama seperti Kandahar, Herat dan Jalalabad telah jatuh ke tangan Taliban.
Pada 15 Agustus 2021, pihak Taliban telah mengepung wilayah Kabul dan bernegosiasi dengan Pemerintah Afganistan terkait penyerahan kekuasaan secara damai. Akibat pengepungan tersebut, Presiden Ashraf Ghani dan beberapa diplomat AS di Afganistan segera dievakuasi dan meninggalkan Afganistan.