Dua pekerja bangunan tewas tertimpa tanah longsor saat mengerjakan proyek batu miring di Perumahan Nagoya Valley Palace, Kelurahan Seraya, Kecamatan Batu Ampar, Kota Batam, Kepulauan Riau, Jumat, 8 Januari 2021 lalu. Buruknya cuaca saat itu diduga menjadi penyebab kejadian nahas tersebut. Namun, kejadian ini juga membuktikan bahwa pekerjaan tukang bangunan penuh risiko dan mereka layak mendapat proteksi diri.
Berdasarkan laporan resmi Polsek Batu Ampar, kejadian bermula saat tiga pekerja bangunan sedang membuat mal untuk pembangunan batu miring setinggi 4,5 meter. Hujan yang turun selama dua hari berturut-turut mengakibatkan masa tanah semakin berat hingga mengakibatkan longsor. Dua pekerja tewas tertimbun material yang terdiri dari tanah, semen cor, dan besi. Sementara satu di antaranya selamat. Lantaran hujan, evakuasi kedua korban memakan waktu hingga tujuh jam lamanya. Escavator mini pun turut diterjunkan Badan SAR Nasional (Basaranas) Tanjung Pinang.
Amandala Brian (24), petugas Health, Safety, and Environment di sebuah perusahaan swasta di Batam mengatakan, kecelakan kerja tersebut merupakan kejadian fatal. Sebab, seharusnya, kata dia, persoalan keselamatan kerja harus dipahami oleh setiap perusahaan.
“Kalau merujuk Undang-undang No 1 tahun 1970, di situ sudah lengkap dan dijelaskan soal K3 [Keselamatan dan Kesehatan Kerja], kewajiban perusahaan, juga kewajiban pekerja.” kata dia kepada HMStimes.com, Sabtu, 9 Januari 2021.
Menurutnya, safety amat penting diterapkan dalam hampir setiap pekerjaan, terlebih kerja-kerja berisiko seperti kerja bangunan. Sebab, kata dia, safety itu penting karena prinsip dasarnya adalah moral, legal, dan finansial. Namun, penarapan K3 bergantung pula pada jenis pekerjaan yang musti dibarengi dengan risk assesment atau penilaian risiko. Ia menjelaskan, secara umum penilaian risiko adalah upaya gabungan dari identifikasi dan analisis peristiwa potensial yang berdampak negatif pada individu, aset, atau lingkungan tempat bekerja.
“Tapi dalam kasus ini, pekerjaan proyek kenapa belum membentuk sistem K3 ya karena masalah utamanya adalah biaya yang tinggi. Pengertian safety pun luas sebenarnya, dan setiap perusahaan wajib melatih pekerjanya sesuai dengan tingkat biaya. Perusahaan wajib menyediakan alat pelindung diri bagi karyawannya: biaya. Perusahaan wajib men-training pekerjanya sesuai dengan bidangnya: biaya. Perusahaan wajib menyediakan tempat kerja yang aman dan tidak terpapar langsung dengan risiko bahaya yang ada, juga biaya,”
“Makanya soal safety ini, karena banyak memakan biaya, banyak perusahaan yang belum mampu menyediakannya. Padahal sifatnya wajib,” katanya.
Anggota Komisi IV DPRD Batam Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Sumber Daya Manusia, Mochamat Mustofa mengatakan, pihaknya memang membidangi ketenagakerjaan tapi yang bersifat formal. Seperti galangan dan industri. Namun, untuk pekerja proyek, kata dia, sebenarnya mereka tercatat di perusahaan, tapi kadang tidak didaftarkan ke dalam kepesertaan BPJS Tenaga kerja.
“Karena bisa jadi kontraktor ini dari tempat lain. Misalnya PT Waskita Karya atau PT Hutama Karya ketika mengerjakan proyek di sini, pekerjanya bukan didapat di Batam, tetapi dibawa dari Pulau Jawa misalnya. Tentu kalau dibawa dari luar kota, nama pekerja itu pastinya tercatat di daerah asal mereka datang. Maka yang ingin kami ketahui lebih dulu, status dari dua pekerja yang tewas itu,” kata dia kepada HMStimes.com, Kamis, 14 Januari 2021 lalu.
Ia mengatakan, karena permasalahan ini menyangkut dengan advokasi bagi korban nanti, maka, pihaknya akan mencari tahu terlebih dahulu pertanggungjawaban seperti apa yang diberikan perusahaan ke keluarga korban. Selain itu, kata Mustofa, yang paling penting adalah, kalau pekerja itu masuk di sebuah perusahaan, maka wajib masuk di BPJS TK dan harus mendapat program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian.
“Kalau melihat konteks kejadiannya, maka itu masuk ke dalam kecelakaan kerja. Selama itu terjadi di lingkup ruang kerja atau pada jam kerja, maka perusahaan harus bertanggung jawab. Masalah terjadi kalau pekerja itu tidak dimasukkan ke dalam kepersertaan BPJS TK . Kalau tidak, maka perusahaan itu wajib menanggung semuanya. Terus bagaimana caranya? Apalagi ini orang lemah, dengan wawasan tentang hak yang harus didapat tapi kurang dipahami, maka harus ada bantuan dari lembaga hukum,”
“Terus peran kami seperti apa? Peran dari legislasi sendiri, artinya kami tidak bisa masuk dalam persoalan ini. Nanti kami akan jadwalkan berkunjung ke perumahan itu untuk mengetahui seperti apa kronologinya kan kami tidak tahu. Apakah betul itu kejadiannya pada saat dia bekerja, ini yang perlu disampaikan ke masyarakat bahwa sebenarnya kalau dia mengikuti aturan yang ada, seluruh perusahaan apapun, kalau dia memperkerjakan orang, wajib diikutkan di BPJS TK dan BPJS Kesehatan sesuai undang-undang yang ada memerintahkan itu. Lahkalau itu tidak dilakukan, selain dikenai hukuman yang bersifat administratif, tapi kalau terjadi apa-apa maka yang bertanggung jawab sepenuhnya adalah perusahaan. Itupun kalau yang terkena musibah ini ada yang membantu, kadang kalau tidak adaa yang membantu kejadian seperti ini ya lewat gitu saja,” kata kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Mustofa menerangkan, dirinya memang memiliki latar belakang di serikat pekerja dan sampai hari ini dirinya mulai mengajak pekerja di sektor bangunan tapi dalam arti bukan mereka yang bekerja di pembangunan perumahan. Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa pekerja yang diajak bergabung di dalam serikat adalah mereka yang bekerja di perusahaan yang memproduksi cor. Sementara pekerja yang bekerja di perusahaan di bidang kontruksi, sampai hari ini belum memiliki serikat pekerja. Mustofa mengakui, aspek keselamatan kerja di bidang pekerja kontruksi sangat lemah. Pihaknya akan mengklarifikasi kejadian tersebut dan kalau memang kecelakaan itu benar terjadi, maka hal itu akan menjadi masukan Komisi IV DPRD Batam.
“Ya minimal kami pengin tahu kronologis kejadian itu dan kasus ini sudah sampai mana hasil dan pertanggungjawabannya. Karena memang di pengerjaan perumahan itu tidak ada ahli K3 atau ahli safety. Sebab pekerja bangunan itu rata-rata ikut bekerja karena diajak seseorang. Lalu bagaimana caranya kami membantu mereka atau yang keluarga bersangkutan secara prosedur hukum menuntut haknya? Agak sulit kalau tidak ada yang membantu, apalagi dengan tingkat pemahaman mereka terhadap haknya itu memang kurang,” katanya.
Selain itu, menurutnya daya tawar pekerja bangunan kepada perusahaan juga rendah. Namun, secara aturan hal itu bisa dituntut ke pihak developer yang mengklaim tidak bertanggungjawab atas peristiwa itu karena telah menyerahkan proses pengerjaan batu miring di Perumahan Nagoya Valley Palace ke pihak kontraktor.
“Klaim itu tidak bisa begitu saja dipercaya. Sebab, proses pengerjaannya memang diserahkan ke pihak kontraktor, tapi kontraktor itu kadang tidak berbadaan hukum. Kalau dia tidak berbadan hukum maka pihak developer adalah main cost yang bertanggungjawab. Kalau keduanya berbadan hukum, maka proses pengerjaan batu miring yang diserahkan ke pihak kontraktor itu disebut out sourcing. Tapi tetap, penanggungjawabnya adalah pihak main cost atau developer itu. Karena pihak kontraktor pun bekerja di areal milik developer itu. Artinya, kalau penegerjaan proyek batu miring itu berada di lokasi perumahan, dan kontraktor mengerjakannya di perumahan itu kita gak peduli kalau yang mengerjakan ini kontraktor. Tapi kau [developer] harus bertanggung jawab, ini kan areamu,” kata dia.
Pada Selasa, 19 Januari 2021, HMStimes.com kembali mengonfirmasi Mustofo terkait perkembangan kasus ini. Namun, ia mengatakan belum terjun ke lokasi lantaran anggotanya yang belum ada.
Perumahan Nagoya Valley Palace sendiri merupakan proyek yang dimiliki oleh PT Dua Putri Propertindo selaku developer. Namun, dalam pengerjaan batu miring yang menewaskan dua pekerja itu diserahkan kepada pihak kontraktor yaitu PT Cahaya Ilham Barokah. Berdasarkan situs resmi Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) Kementrian Hukum dan Ham, PT Dua Putri Propertindo beralamat di Komplek Purimas Blok B no 9, Batam Center. Akan tetapi, pantauan HMStimes.com pada Selasa, 19 Januari 2021 ke alamat tersebut, tidak ditemukan adanya plang atau tanda sebuah kantor perusahaan berada.
Ade (34), juru parkir di ruko Komplek Purimas megaku telah bekerja di sana selama empat tahun. Selama itu pula ia melihat bahwa Komplek Purimas Blok B no 9, Batam Center tidak berpenghuni.
“Terakhir ada yang mengisi ruko dua lantai itu orang jualan printer, setelah itu kosong bertahun-tahun,” katanya.
Pada Sabtu, 8 Januari 2021 lalu, HMStimes.com berhasil menghubungi kontak PT Dua Putri Propertindo yang didapat dari media sosial instagram perusahaan developer tersebut. Namun, jawaban yang diutarakan HMStimes tidak terjawab. Jawaban dari suara di telepon mengaku tidak dapat berbicara banyak dan mengatakan sudah menyerahkan proyek pembangunan batu miring kepada pihak kontraktor. Di hari yang sama, HMStimes juga berusaha mengonfirmasi pihak kontraktor yakni PT Cahaya Ilham Barokah. Melalui sambungan telepon, pihak kontraktor mengaku sedang dalam proses pemeriksaan di Polsek Batu Ampar. Setelah menunggu sekira 30 menit, HMStimes mendatangi seorang pria yang diyakini sebagai pihak manajemen PT Cahaya Ilham Barokah. Hal itu didapat dari foto profil Whatsapp dengan nomor yang didapat dari situs resmi Ditjen AHU Kementrian Hukum dan HAM.
“Oh kita bukan bahas soal kejadian [kecelakaan kerja di Perumahan Nagoya Valley Palace] itu,” katanya.
Padahal, HMStimes sempat berbincang dengan beberapa rekan Selamat Sasongko, salah satu korban meninggal dalam kejadian kecelakaan kerja tersebut. Dengan logat Jawa, ia mengatakan bahwa bos mereka sedang berada di dalam ruangan pemeriksaan Polsek Batu Ampar. Ia juga menjabarkan ciri-ciri bosnya sesuai dengan orang yang menolak menjawab pertanyaan HMStimes.