Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Sitorus, menyayangkan sikap beberapa pihak yang berburuk sangka tentang hasil tes wawasan kebangsaan yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN). “Ayolah kita berpikir positif, tes seperti itu bagus untuk mengetahui seberapa kuat pemahaman dalam bernegara dan berbangsa,” katanya kepada pers Jumat, 7 Mei 2021.
Tes ini juga merupakan konsekuensi dari revisi Undang-undang KPK pada 2019, yang mengharuskan seluruh pegawai KPK beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sebelumnya menurut Ketua KPK, Firli Bahuri, tes wawasan kebangsaan didasarkan Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai Menjadi ASN.
Tes dilaksanakan pada 18 Maret hingga 9 April 2921 diikuti sebanyak 1.351 pegawai KPK setelah dikurangi dua orang yang tidak bersedia ikut.
Hasilnya 75 orang tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil tes itu. Di antara yang tidak lulus itu terdapat nama penyidik senior Novel Baswedan dan Yudi Purnomo yang juga Ketua Wadah Pegawai KPK.
Sementara itu Koordinator Aliansi Rakyat Anti Koruptor, Heri Ferdinant, di tempat terpisah menyatakan, tes wawasan kebangsaan harus kita apresiasi sebagai upaya dan kesungguhan KPK menyeleksi para pengawainya dengan cara ilmiah.
Oleh karena itu ia menyayangkan munculnya komentar tentang tes seolah-olah sebagai cara menyingkirkan Novel Baswedan dari KPK. “Jika membaca komentarnya Novel, selalu narasinya seperti dizalimilah, ada yang tidak sukalah. Apa memang Novel mau seumur hidup jadi pengawai KPK? Dan yang harus kita ingat bahwa negara tidak boleh kalah dalam menghadapi Novel cs,” kata Heri yang biasa dipanggil Barong ini.
Menanggapi komentar dari Novel Baswedan itu, Ketua Solidaritas Jaringan Reformasi, Pery Rinandar, juga menyatakan penyesalan atas sikap Novel Baswedan. “Seandainya KPK mau berbuat begitu, mengapa juga harus lewat tes segala, ribet amat, jika mau dimutasi ya mutasi saja si Novel. Tes ini sebagai prasyarat pengawai KPK adalah ASN dan hal ini ada dasar hukumnya UU No 19 tahun 2019. Jadi bukan direkayasa demi seorang Novel,” kata Pery, Jumat, 7 Mei 2021.
Atas komentar Novel dianggap simbol integritas di KPK, tegas dibantahnya. “Ini tidak boleh, karena KPK jadi tidak gesit bergeraknya, KPK jadi tersandera,” demikian pernyataan Pery yang juga dikenal aktivis 98.