Juli 2021 merupakan tenggat yang diberikan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan baru yang pro rakyat dan pro bisnis bagi industri maritim Kota Batam. Apabila usulan pembenahan tidak dikabulkan, para pengusaha mengancam akan mogok operasi. Ini peristiwa yang agak langka─tapi benar terjadi─apalagi baru-baru ini tiga serikat pekerja di Indonesia menyatakan mendukung aksi para pengusaha itu.
Rencana aksi diinisiasi oleh para pengusaha yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam─baru terbentuk 26 Maret 2021─mewakili ratusan perusahaan dan ratusan ribu pekerja dari delapan organisasi. Tujuannya dibentuk ialah, untuk mendesak Presiden segera mengambil tindakan dengan mengintervensi kebijakan buatan pemerintah daerah─Badan Pengusahaan (BP) Batam─yang selama ini katanya justru menghambat investasi. (Baca: Senja Kala Industri Maritim Batam).
Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Syaiful Badri Sofyan, mengatakan pihaknya sudah mendengar rencana aksi dari aliansi itu dan mempelajarinya semua keluhan para pengusaha. Meskipun belum ada berkoordinasi secara resmi dengan para petinggi aliansi, SPSI katanya akan tetap mendukung niat baik para pengusaha asalkan memang benar-benar aksi itu murni demi kemajuan investasi.
“Kita tidak melihat siapa [melakukan] yang terpenting itu benar-benar untuk kemajuan investasi, karena ini juga termasuk berbicara soal kepentingan buruh. Terutama kalau [tuntutannya] itu soal pembenahan regulasi-regulasi yang dirasa [pengusaha] menghambat investasi, dan akhirnya berdampak kepada kesejahteraan buruh. Kami pasti akan mendukung mereka,” kata Syaiful Badri Sofyan saat dihubungi HMS, 3 Juli 2021.
Baginya ini adalah permasalahan bersama yang harus mendapat jalan keluar. Banyak hal yang ia soroti mulai dari; kondisi 115 perusahaan yang kini hanya 30 persen beroperasi; 300.000 tenaga kerja industry kemaritiman menganggur; Batam tidak lagi menjadi daerah tujuan bagi kapal domestik maupun asing; pungutan sembarangan tarif kepelabuhanan; hingga soal pengakuan para agen kapal perihal segala urusan yang berhubungan dengan jasa pandu, tunda, dan tambat, yang katanya, selalu bertemu dengan pungutan paksa. (Baca: Dipaksa Bayar Pandu dan Tunda Kapal, Agen: Ini Pungli).
“Saya rasa memang harus segera diatasi. Menurut saya, baik pengusaha ataupun pekerja yang tergabung dalam asosiasi pengusaha dan serikat pekerja, ayo saling bekerja sama untuk mengatasi hal-hal seperti itu [pungutan paksa]. Kita bisa saling memberi informasi dan saling berkoordinasi. Karena itu tidak boleh dibiarkan,” katanya.
Sofyan menjelaskan, para pekerja di Batam yang sekarang terdaftar sebagai anggota SPSI berjumlah sekitar 23 ribu orang. Dia meminta, baik anggotanya maupun yang belum tergabung dalam serikat dapat menyikapi protes dari para pengusaha kepada pemerinta ini secara bijak. Perlu cermat mengambil tindakan dan jangan sampai ditunggangi kepentingan-kepentingan yang yang tidak menguntungkan bagi para pekerja.
“Bagi saya, bagaimanapun sampai sekarang 59 persen PDRB [Produk Domestik Regional Bruto] Kota Batam itu dari manufaktur, artinya memberi kontribusi terbesar. Tapi buruh-buruh sendiri yang berada di situ kondisinya belum seperti yang diharapkan, jadi kalau ada yang menghambat investasi dan akan berdampak kepada buruh [membuat ekonominya semakin buruk], kita akan support [aksi untuk membenahi] itu,” katanya.
Dukungan aksi juga datang dari Federasi Serikat Buruh Patriot Pancasila (FSBPP). Sekretaris Jendral-nya, Benhauser Manik, mengatakan, dirinya sudah berkoordinasi langsung dengan beberapa petinggi aliansi. Saat ini ia juga sedang mempersiapkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh serikatnya apabila mogok operasi itu benar-benar terjadi.
Menurut pria yang berprofesi sebagai pelaut sejak tahun 1990-an ini, bersatunya para pengusaha industri kemaritiman ini sudah sangat jelas memperlihatkan ada kebuntuan yang tengah dihadapi. Dia sudah mempelajari keluhan para pengusaha (Baca: Penyebab Runtuhnya Industri Maritim Batam, Salah Kelola dan Harus “Direset” Kembali), dan katanya, apabila poin-poin penting dalam tuntutan itu tidak dikabulkan, tentunya hal ini akan berdampak besar kepada kelangsungan hidup buruh.
“Saya malah sudah melihat permasalahan ini sejak tiga tahun yang lalu. Tentu saya tidak terlalu terkejut mendengar kabar rencana aksi ini. Intinya, dengan bersatunya mereka dalam Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam, itu memperlihatkan dengan mata telanjang bahwa telah terjadi kebuntuan, sehingga sikap bersama aliansi terwujud untuk melakukan aksi dengan tujuan pembenahan yang terlanjur masuk jurang,” kata Benhauser Manik kepada HMS.
Dia menjelaskan, catatan aliansi yang menyatakan bahwa sektor industri perkapalan dan jasa kapal menyelamatkan Batam, saat terjadi gejolak ekonomi dunia yang mengalami laju pertumbuhan negatif, sementara Batam masih mampu tumbuh sebesar 3,08%, jauh diatas pertumbuhan ekonomi nasional yang (negatif) -14,78%. Kemudian Batam selamat di masa tiga goncangan ekonomi global yakni krisis keuangan global 2008-2009 (Avg.6%), krisis hutang dalam negeri Eropa tahun 2010–2012 (Avg. 7,25%) dan krisis hargakomoditi global 2014-2016 (Avg. 6,50%), memang benar adanya.
“Seharusnya dari dulu mereka melakukan aksi seperti ini. Saya rasa ini momentum bagi pekerja dan pengusaha bersatu menghadapi kebuntuan, tentu saya harap setelah ini pengusaha jangan sampai lupa mensejahterakan para pekerjanya. Intinya, kita akan dukung aksi-aksi yang memang untuk kebaikan para pekerja,” kata dia.
Panusenan Siregar─akrab disapa Bung Omreg─yang menjabat sebagai pimpinan cabang Serikat Pekerja Perkapalan dan Jasa Maritim, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, menyatakan pihaknya akan berjuang bersama aliansi. Serikatnya saat ini merupakan satu dari delapan organisasi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam─satu-satunya serikat pekerja dalam aliansi─yang memutuskan bergabung karena sudah bertahun-tahun tidak adanya terobosan dari BP Batam, untuk mengatasi ratusan ribu pekerja galangan yang menganggur.
“Kami berharap BP Batam membuka ruang dan melakukan perubahan terhadap aturan-aturan yang mempersulit investasi. Banyak warga kita yang lulusan SMK atau SMA ini semakin membutuhkan pekerjaan, dan ini mau dibawa kemana kalau Batam tidak siap menampung investasi. Menurut kita yang terpenting bukan bagaimana Perka-nya, tetapi bagaiamana ada sesuatu kebijakan terobosan yang dilakukan BP Batam melihat kondisi sekarang,” kata dia.
Dia mengatakan, perusahaan-perusahaan galangan di Batam sekarang sudah kehilangan daya saing dan hampir tidak mampu lagi bertahan. Hal ini yang berimbas pada munculnya ratusan ribu penganggur. Bahkan kata dia, para pekerja galangan kini sudah tidak punya rate dan grade lagi, karena cost pengusaha beberapa tahun belakangan ini terlalu besar, tetapi bukan untuk membayar para pekerja, melainkan membayar biaya operasional yang muncul dari kebijakan yang dianggap terlalu “mencekik” itu.
“Adanya deposito sebelum kapal masuk ini kan, aturan-aturan yang mempersulit investasi. Coba kita lihat daerah maju seperti Singapura, investasi masuk terus karena pembayaran dilakukan setelah kapal selesai dikerjakan dan keluar. Jadi harusnya dipangkas aturan yang mempersulit itu. Kita bukan mau menggadaikan negara atau merugikan negara, tetapi ya dibuatlah aturan itu secara sederhana,” katanya.
Menurut dia, apabila aturan itu tetap tidak diubah maka selamanya galangan kapal di Batam akan berkalang sepi. Pekerjaan galangan akan terus menjadi musiman seperti sekarang ini. Sebab, kalau kapal-kapal yang hendak melakukan perbaikan atau perawatan dipersulit masuk dengan regulasi, otomatis tidak ada pekerjaan. Bukan hanya negara atau pengusaha yang merugi, buruh juga kena imbas.
Bahkan dia berkeyakinan kalau BP Batam terus membiarkan kondisi ini tanpa perubahan, pada 5 tahun kedepan buruh tidak akan mampu lagi menyekolahkan anak-anaknya sampai tamat sekolah menengah atas (SMA). Hal ini dia katakan karena sekarang upah pekerja galangan saja itu cuma Rp17 ribu perjamnya, atau kalau dikalikan 173 jam (base salary) itu hanya bekisar Rp2,9 juta.
“Kita juga tidak mungkin gontok-gontokan dengan pengusaha, kenapa? Cost mereka besar dan pelayanan lambat. Padahal kalau kapal repair masuk ke Batam, dalam agreement itu ada estimasi 21 hari kapal harus selesai, lebih dari itu dia kena penalti atau denda. Nah, kalau pemerintah nggak siap soal ini, bagaimana pengusaha bisa memberikan lapangan pekerjaan terhadap para buruh. Kita sebagai buruh sangat prihatin dengan kondisi ini. Dulu, indikator terpenting yang mendukung ekonomi Batam adalah galangan kapal. Sekarang? Yakinlah, kalau galangan kapal sepi, hotel sepi, hiburan akan sepi, dagangan juga akan sepi,” katanya.
Sebagai satu-satunya serikat pekerja di dalam aliansi ini, dia mengatakan, rencana aksi mogok operasi ini akan tetap berjalan apabila pemerintah tidak mengubah aturan yang dianggap mempersulit itu. Pertemuan terakhir antara aliansi dan BP Batam berlangsung pada 30 Juni 2021, dalam pertemuan itu pemerintah kembali berjanji akan memberikan solusi perubahan dalam dua minggu kedepan. “Kami masih memberikan kesempatan, tetapi ketika akhirnya ruang diskusi sudah tertutup, yang jelas konsep sudah kita buat, lobi sudah kita laksanakan. Apabila semua mentok terpaksa yang kita lakukan adalah aksi,” kata Omreg.
Seperti diketahui, berbagai persoalan mendera industri kemaritiman Batam. Dipengaruhi oleh membingungkannya aturan dan ketidakpahaman pemangku kepentingan di daerah. Perusahaan-perusahaan kehilangan daya saing dan hampir tidak mampu lagi bertahan setelah sekian lama menunggu kebijakan yang pro rakyat dan pro bisnis. Berimbas pada munculnya ratusan ribu penganggur. Kini, industri andalan yang meliputi bidang perkapalan, pelayaran, dan jasa kepelabuhanan itu sedang menanti senja kalanya.
Kondisi ini sudah berlangsung sejak tahun 2016. Membuat pertumbuhan ekonomi daerah menurun. Galangan kapal lengang berkalang sepi menuju kebangkrutan, dari 115 perusahaan hanya 30 persen yang beroperasi. Sekitar 300.000 tenaga kerja industri kemaritiman menganggur. Batam tidak lagi menjadi daerah tujuan bagi kapal domestik maupun asing. Pungutan tarif kepelabuhanan ditarik secara sembarangan dan tidak sesuai aturan perundang-undangan. Begitulah yang disampaikan oleh Erdi Steven Manurung, Koordinator Aliansi Gerakan Kebangkitan Industri Maritim Batam.
Aliansi yang terbentuk pada 27 Maret 2021 ini, mewakili ratusan perusahaan dan ratusan ribu pekerja dari delapan organisasi diantaranya: BSOA (Batam Shipyard & Offshore Association), INSA (Indonesian National Shipowners Association) , ISAA (Indonesia Shipping Agencies Association), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat, Serikat Pekerja Perkapalan dan Jasa Maritim, Asosiasi Logitik dan Forwarding, Pelayaran Rakyat, dan Asosiasi Tenaga Ahli Kepabenan. “Tujuannya, membangkitkan kembali industri kemaritiman,” kata Erdi didamping anggota aliansi lainnya.
Lekas setelah terbentuk, aliansi langsung merumuskan semua masalah kemudian menyurati Presiden Joko Widodo, pada 5 April 2021 lalu. Dalam surat itu mereka menyampaikan permohonan serta hal-hal genting yang harus segera dibenahi. Intinya kata Erdi, mereka berharap Presiden segera mengambil tindakan dan mengintervensi kebijakan buatan pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan pusat, meminta penyelengaraan kepelabuhanan Batam dikembalikan kepada Kementerian Perhubungan, dan mencopot pejabat di pelabuhan yang tidak memiliki kompetensi dan kapabilitas.
Barangkali kalau aksi terjadi, ini adalah aksi mogok kerja pertama di Batam yang didalangi oleh para pengusaha. Aksi akbar yang direncanakan berlangsung pada awal Juli 2021 itu, menuntut perubahan. Selama tiga hari penuh, tidak akan ada pekerja industri maritim yang bekerja, tidak ada pelayanan terhadap kapal-kapal, dan jika itu “direstui” pemerintah dengan cara tidak mengambil tindakan secepatnya, diperkirakan negara akan merugi miliaran rupiah per harinya. “Sesuai rencana awal tiga hari, kalau belum ada tindakan bisa berhari-hari,” kata Erdi Steven Manurung.