Personel Direktorat Pengamanan (BP) Batam dibuat sibuk. Siang itu, tembok Terowongan Pelita yang berwarna polos dilaporkan dicoret-coret menggunakan cat semprot. Yang kemudian membuat gaduh adalah, vandalism itu bertuliskan “Thx Jokowi i’M DEAD!”.
Direktur Humas dan Promosi BP Batam, Dendi Gustinandar, mengatakan, aksi mencoret-coret fasilitas umum itu sangat merugikan, utamanya dari sisi polusi visual. Oleh karena itu, tindak lanjut pengerusakan asetnya tersebut kini sudah diserahkan ke kepolisian.
“Kami mengimbau masyarakat agar tidak terpancing untuk melakukan aksi serupa dengan mengorbankan fasilitas umum yang telah dibangun,” katanya, Jumat, 20 Agustus 2021.
Tembok terowongan yang dicoret-coret itu kini telah dicat ulang kembali. Sebetulnya, kejadian serupa belakangan banyak terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, para pembuatnya pun memang sedang diburu polisi karena dianggap menghina simbol negara: Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Kota Batam, Salim menjelaskan, dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam, aksi mencoret dinding dapat dikategorikan sebagai pelanggaran. Hal itu dijelaskannya karena aksi mencoret dinding dapat mengganggu kebersihan, keindahan, dan ketertiban yang ada.
“Tetapi karena yang dilanggar adalah Perda, jika pelakunya tertangkap tidak akan dipenjara. Paling hanya denda atau kerja sosial,” katanya.
Salim mengatakan, jika dalam pelanggaran Perda itu terdapat unsur penghinaan kepada kepala negara, maka ranahnya ada di pihak kepolisian karena ada unsur pidana.
Belum ada keterangan resmi dari polisi terkait tindak lanjut kasus ini. HMS sampai berita ini ditulis juga masih berupaya mengonfirmasi pihak kepolisian.
Dimas, salah satu pelaku street art atau seniman jalanan di Batam, mengatakan bahwa aksi vandal di Terowongan Pelita adalah tindakan pemberani. Menurutnya, pelaku dianggap pemberani karena dengan kondisi saat ini, dia berani menuliskan kata-kata yang justru dianggap menghina kepala negara.
“Aku yang dari dulu minta izin buat membuat mural di sana aja gak pernah dikasih, lah dia malah main coret saja. Kata-katanya pun bikin polisi bakal nyari dia,” kata Dimas.
Meski begitu, Dimas menolak jika grafiti atau mural disamakan dengan aksi vandal. Menurutnya, anggapan itu hanya keluar dari orang yang kurang edukasi.
“Secara bahasa, vandal itu kan aksi merusak barang. Yang kami lakukan kan justru sebaliknya,” katanya.
Menurutnya, apa yang dilakukan pembuat grafiti atau writer adalah mengubah tembok luas dengan warna monoton menjadi media seni yang diberi grafiti atau mural terkonsep.
Lebih jauh, ia pun menjelaskan perbedaan antara grafiti dan mural yang kerap dianggap sama. Grafiti adalah coretan di dinding dengan mempertimbangkan komposisi warna, garis, bentuk, dan volume untuk menuliskan kata, simbol atau kalimat tertentu. Alat yang digunakan untuk grafiti juga biasanya cat semprot atau spray.
“Grafiti bersifat individualis atau merujuk pada kelompok tertentu. Karena gambar yang dibuat biasanya identik dengan si pembuat atau komunitas writer,” katanya.
Sementara mural, menurut Dimas memiliki arti yang lebih luas. Sebab mural seringkali digunakan untuk menyampaikan kritik sosial.
“Secara deskripsi sih begitu. Walaupun belakangan baik grafiti maupun mural sering dipadu padankan dan maknanya bisa disesuaikan dengan tujuan writer itu sendiri,” kata Dimas.