Sejumlah warga di Kelurahan Sei Pelungut dan Kelurahan Sei Lekop, Kecamatan Sagulung, Batam, Kepulauan Riau, mendatangi rapat dengar pendapat (RDP) di Kantor DPRD Kota Batam, Jumat, 26 Februari 2021. Kedatangan mereka bertujuan untuk menyampaikan persoalan legalitas kaveling, sulitnya memasang meteran listrik, dan tersendatnya aliran air yang kini dikelola PT Moya Indonesia.
Junaidi, Ketu RW 16 Kelurahan Sei Pelungut, mengatakan, pemasangan meteran listrik di kawasan rumahnya dirasa amat lambat. Menurutnya, pengajuan pemasangan meteran listrik harus menunggu hingga satu tahun lebih.
“Selain itu biaya pemasangannya juga tiap tahun selalu naik. Tiga minggu lalu biayanya saja mencapai Rp5,5 juta. Kenapa bisa naik padahal perekonomian masyakarat menurun,” kata dia.
Ia menambahkan, sejak 2014, pihak bright PLN Batam meminta warga memasang dua meteran listrik jika warga memiliki dua kaveling meski dimiliki satu orang. Pemasangan satu meteran listrik, kata dia, bakal dikenakan biaya tambahan.
Ketua RW 7 Sei Lekop, Jungjung, mengatakan, jumlah kaveling di wilayahnya mencapai 150 buah dan saat ini sudah ditempati oleh 40 kepala keluarga (KK). Seluruh warganya pun sudah mengajukan pemasangan metaran listrik dan air. Namun, tiap warganya mendapat tarif pemasangan yang berbeda-beda.
“Ada warga yang membayar biaya Rp5 juta untuk meteran itu, dan persyaratannya kaveling harus memiliki peta lokasi. Sementara kaveling ini sudah mengalami perubahan peta lokasi sebanyak tiga kali, dan belum ada status pembebasan lahannya (PL). Nah PL itu jadi salah satu dan peta lokasi kaveling baru jadi salah satu persyaratan permohonan pemasangan meteran listrik dan air,” kata Jungjung.
Sementara Ketua RW 13 Kelurahan Sei Lekop, Sukirno, mengeluhkan tentang air yang alirannya tersendat. Ia mengaku, air baru mengalir pukul 01.00 dan membuat warga terpaksa harus begadang untuk menampung air.
“Tolong hal ini diperhatikan dan diperjuangkan. Karena beberapa warga ada yang akhirnya tidak bisa mandi ketika pulang kerja,” katanya.
Lurah Sei Lekop, Lanaja, mengatakan, karena aliran air yang sering mati, beberapa warga berinisiatif membuat sumur bor, supaya bisa berwudu dan untuk keperluan lainnya.
“Saya tinggal di Griya Batu Aji Asri, [air tidak mengalir] kami alami pagi atau sore. Kalau misalnya pipanya kecil ya diganti lah, karena warga semakin padat,” kata Lanaja.
Anggota Komisi I DPRD Batam dan Ketua Rapat dalam RDP kali itu, Utusan Sarumaha, mengatakan, semua persoalan yang disampaikan itu diakuinya berfokus pada aturan. Untuk itu, fokus pihaknya lebih kepada prosedur atau pedoman yang telah ditetapkan oleh PT Moya Indonesia dan BP Batam terkait pemasangan instalasi air dan PL di kaveling itu.
“Artinya ke depan kami berharap masyakarat tidak mendapat kesulitan, baik dalam proses penyambungan dan pembayaran harga tiap meteran,”
“Tadi ada aduan yang mengatakan kalau dua rumah meski satu pemilik tapi diharuskan mengurus dua meteran. Saya kira hal ini yang perlu dipelajari lebih dalam. Apakah aturannya memang seperti itu atau tidak. Jadi jangan sampai ada kebijakan-kebijakan atau faktor yang membuat masyakarat kesulitan,” kata Sarumaha.
Ia juga mengatakan, dalam legalitas kaveling akan menjadi tanggung jawab Komisi I DPRD Kota Batam untuk bisa memfasilitasi pelaku usaha dengan masyakarat.
“Hari ini memang PT Moya Indonesia dan BP Batam tidak bisa datang karena ada beberapa kegiatan yang sudah dijadwalkan sebelumnya. Kami memaklumi itu tapi kami juga akan menjadwalkan ulang RDP ini sesuai dengan PT Moya Indonesia dan BP Batam yaitu pada awal Maret mendatang,” katanya.
Sarumaha berharap, kehadiran PT Moya Indonesia dan BP Batam dalam RDP nanti bisa memberikan informasi yang cukup dan terperinci bagi semua. Sehingga, kata dia, hal itu bisa menjadi edukasi pada masyakarat dan tidak terjadi hambatan-hambatan dalam mendapat pelayanan publik seperti air, listrik, dan lainnya.
“Nantinya kami juga akan turut mengundang pihak bright PLN Batam dalam pembahasan pemasangan meteran listrik yang dikeluhkan warga,” kata Sarumaha.