Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terlalu luas cakupan tugasnya. Akibatnya banyak bolong dalam pengawasan industri keuangan non-bank (IKNB), “Sudah saatnya OJK mendelegasikan sebagian kewenangannya ke asosiasi, sehingga memudahkan pekerjaan mereka,” kata Henri Lumban Raja dalam Webinar bertajuk Menilik Satu Dekade Otoritas Jasa Keuangan pada Jumat, 25 Juni 2021.
Kegiatan seminar yang dilakukan secara daring, menggunakan fasilitas internet ini digagas dan selenggarakan para mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum-Universitas Kristen Indonesia (UKI). Forum terbuka ini menjadi ruang diskusi umum guna mencari solusi terbaik atas permasalahan-permasalahan yang timbul, terkait OJK, baik dari pihak konsumen maupun penyelenggara Industri Jasa Keuangan.
IKNB di antaranya terdiri dari asuransi, pegadaian, pembiayaan, fintech sampai koperasi. Hasil dan kinerja OJK untuk pengawasan industri jasa keuangan dalam 10 tahun terakhir, disebutkan kurang nyata dan terkesan lembaga pengawas ini tidak bisa berbuat banyak menghadapi krisis.
Henri Lumban Raja seorang advokat, kurator serta kuasa hukum pajak ini bahkan mengatakan, OJK terbukti tak berdaya saat sejumlah perusahaan asuransi gagal bayar. Di antara kasus yang tidak sedikit merugikan masyarakat (nasabah/peserta asuransi) tercatat PT. Asuransi Jiwasraya dan PT. Asuransi Asabri.
Bangkrutnya kedua asuransi dengan kapitalisasi dana sangat besar itu harusnya segera ditindaklanjuti pihak DPR dan pemerintah, merevisi Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. “Mengapa kita harus menunggu terlalu lama, padahal Presiden Jokowi sejak kasus ini meledak, telah menyampaikan agar undang-undang tentang OJK direvisi,” katanya.
Pendiri Law Office Henri Lumban Raja & Parteners ini bahkan mengungkap kembali, dalam Kasus Asuransi Jiwasraya menyeret pejabat aktif OJK sebagai tersangka. “Kejaksaan Agung menetapkan Deputi Pengawasan Pasar Modal, Fakhri Hilmi sebagai tersangka bersama 10 perusahaan manajer asuransi,” kata advokat senior sekaligus konsultan hukum Pasar Modal ini.
Webinar yang dipandu Togi Marganda Purba juga menghadirkan narasumber lain yakni Masinton Pasaribu, anggota Komisi XI, DPR RI, Rizal Ramadhani mewakili Dewan Komisaris OJK dan Dian Puji N Simatupang, dosen hukum tata negara dan pakar keuangan negara.
Secara online juga dipaparkan tanggapan dan masukan dari Kaprodi dan Pemerhati Pasar Modal Gindo L Tobing, dan Prof. Tumanggor. Terkait kasus PT. Asabri (perusahaan asuransi ABRI) disebutkan mengalami kegagalan investasi saham. Mereka memiliki portofolio investasi di beberapa saham yang pernah dipegang Jiwasraya. Audit investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kerugian negara mencapai Rp10 triliun.
Terkait kasus ini Henri Lumban Raja mempertanyakan pernyataan Ketua OJK Wimboh Santoso, bahwa pihaknya tidak mengawasi Asabri. Ada peraturan pemerintah bahwa pengawasan eksternal Asabri dilakukan beberapa instansi. OJK tidak termasuk sebagai pengawas eksternalnya. “Mengapa ada pengecualian dalam hal pengawasan oleh OJK tersebut, padahal Asabri usaha asuransi juga?”.
Selain kedua asuransi besar itu, ternyata PT. Asuransi Bumiputra juga mengalami musibah yang sama. Gagal bayar. Untuk hal ini dalam Webinar yang diikuti 200 orang lebih, Henri menunggu tindakan OJK ikut menyelesaikannya. Walaupun disebutkan kasus ini terjadi sebelum OJK terbentuk.
Ketua Panitia Webinar, Mangatur Nainggolan menjawab pertanyaan HMS mengatakan, keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama satu dekade mengawasi Industri Jasa Keuangan di Indonesia sangat penting. Saat kondisi perekonomian nasional semakin terpuruk khususnya akibat Pandemi Covid-19, kita ingin menyoroti hasil kinerja mereka yang sudah 10 tahun berkiprah . Untuk itu tugas pokok dan fungsi OJK, perlu kita ungkap dan kritisi. Semua tentu berharap OJK sebagai lembaga pengawasan industri jasa keuangan mampu berbuat dan bertindak memperbaiki keadaan buruk ini.