Penghujung Maret 2021, Siprianus Apiatus (27), narapidana Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas 2 A Batam, dipindahkan ke sel baru. Dia dipindahkan dari kamar lamanya karena penyakit gatal-gatal yang dia alami. Sekitar lima belas hari setelahnya, pemuda malang itu menemui ajal. Bukan karena penyakit gatal-gatal, melainkan karena tubuhnya tak mampu menahan luka akibat dianiaya.
Fakta baru tentang penyebab kematian Siprianus ini terungkap setelah polisi turun tangan mengusut kasusnya. Namun demikian, tim pengacara merasa masih ada hal yang janggal dalam kasus kematian tahanan kasus pengeroyokan ini. Mulai dari soal interval waktu yang cukup lama antara terjadinya penganiayaan dan tewasnya korban, yang memunculkan tudingan ada rekayasa soal kronologi penganiayaan. “Kami percaya polisi dapat mengungkap fakta sesungguhnya karena kematian tersebut akibat kekerasan,” kata Tonny Siahaan, kuasa hukum korban, 10 Mei 2021 lalu.
Untuk membuat terang penyebab kematian Siprianus, HMS mencoba menelusuri kembali beberapa keterangan sumber terdahulu dan mencocokkannya dengan keterangan narasumber terbaru. Inilah rangkuman hasil wawancara HMS bersama kepolisian, para sipir penjara, pihak rumah sakit, tim pengacara, hingga teman sekamar korban.
Penganiayaan Terjadi di Kamar Lama Korban
Terungkapnya penyebab kematian Siprianus bermula setelah polisi menerima hasil autopsi. Dari situ ketahuan ada pendarahan pada organ di dalam perut, yang memicu respon radang sistem dan menimbulkan kegagalan multi organ korban. Berdasarkan itu, polisi kemudia berkoordinasi dengan pihak Rutan dan melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah tahanan.
Pada Sabtu 8 Mei 2021, akhirnya didapatkanlah 3 orang tahanan yang mengakui bahwa telah melakukan penganiayaan terhadap korban. Ketiga orang itu yakni Muhammad Yandi, Rinaldo Putra, dan Adi Saputra, narapidana kasus pencurian. Mereka bertiga ini sempat sekamar dengan Siprianus di kamar blok nomor 7, sebelum korban menempati sel blok C8, kamar terakhir yang ia singgahi sebelum menemui ajal.
“Kita sudah melakukan penyidikan terhadap ketiga pelaku dan kita sudah menentapkan ketiganya sebagai tersangka,” kata Kapolsek Sagulung, AKP Yusriadi Yusuf.
Adapun kronologi kejadian berawal pada tanggal 1 Februari 2021, saat korban dipindahkan ke kamar blok nomor 7. Waktu itu, karena korban adalah penghuni baru dan kamar itu sudah penuh, oleh kepala kamar si Muhammad Yandi, korban pun terpaksa diberi jatah tempat tidur di sekitaran toilet.
Sekitar pukul 20.30 WIB, barangkali sudah menjadi tradisi penjara bahwa penghuni baru harus siap-siap menjadi babu. Muhammad Yandi pun menyuruh Siprianus berdiri mengibas-ngibaskan gabus busa ke arah penghuni kamar supaya ruangan yang pengap itu terasa sedikit lebih sejuk. Namun, perintah itu ditolak mentah-mentah oleh Siprianus dengan alasan kakinya sedang sakit dan tidak bisa berdiri.
Penolakan itu membuat murka si kepala kamar. Dia pun membabi-buta mengarahkan tinjunya ke wajah Siprianus, serta mengahantam perut dan dada Siprianus menggunakan lutut, hingga pemuda malang itu jatuh tersungkur. Dalam kondisi tak berdaya itu, ternyata ada beberapa tahanan lain yang ikut berang yakni Adi Saputra, ia melesatkan kakinya menghantam pinggang Siprianus. “Lalu datang Rinaldo membawa korban ke belakang dan menyuruh duduk lalu ditinju sebanyak 1 kali. Setelah melakukan kekerasan, korban disuruh istirahat oleh para tersangka,” kata dia.
Setelah kejadian itu kata Yusriadi Yusuf, korban sudah mulai merasa sesak nafas namun hal itu hanya dia pendam sendiri dan tidak diceritakan kepada orang lain. Bahkan sampai saat dia dipindahkan ke kamar sel Blok C Nomor 8. Kemudian barulah sekira tanggal 7 April 2021 sampai 9 April 2021 korban mulai mengalami muntah-muntah dan tidak mau makan. Korban pun akhirnya menemui ajal pada 10 April 2021, atau dua bulan sepuluh hari setelah dia menerima kekerasan dari tiga tahanan itu.
Keterangan Tahanan Sekamar Korban
Pada 12 April 2021, setelah laporan HMS terbit berjudul (baca: Dua Versi Tentang Kematian Narapidana Rutan Batam), siang harinya HMS meminta izin kepada Kepala Pengamanan Rutan Kelas II A Batam, Ismail, untuk mewawancarai salah satu rekan kamar korban. Dengan harapan mendapat versi lain tentang kondisi korban sebelum ia meninggal dunia. Pihak Rutan pun terbuka atas hal itu dan permintaan wawancara pun dikabulkan.
Hari itu, dengan pakaian serba biru bertuliskan warga binaan, Dofan Fernandes, teman sekamar korban di blok C nomor 8 pun dihadirkan. Dalam wawancara itu, Dofan memberikan keterangan yang nyaris sama dengan apa yang sudah diungkapkan oleh pihak Rutan. Yaitu dua hari sebelum meninggal, korban sempat mengeluh sakit pada bagian ulu hatinya, tetapi tidak pernah menceritakan adanya kekerasan yang dialaminya.
Dofan bercerita, Siprianus baru menempati kamar blok C nomor 8 itu kurang lebih selama 15 hari sebelum dia meninggal. Dofan yang posisinya lebih dulu menempati kamar itu mengatakan, kondisi Siprianus saat pertama kali masuk, sepengelihatannya tidak ada yang aneh. Dan dalam kamar baru itu, Siprianus pun mendapat perlakuan yang baik, karena kebetulan si kepala kamar berasal dari daerah yang sama dengannya.
Siprianus baru menunjukkan sikap yang aneh dan ketahuan sedang sakit pada rentang 7 April sampai 9 April 2021. Waktu itu, korban katanya tidak mau makan dan selalu merasa mual. “Kami dalam kamar itu ada 30 orang, kebetulan saya teman satu kelompok makan [Siprianus]. Dia mulai tidak mau makan itu ya dua hari sebelum meninggal. Itu sempat saya tanya dia kenapa tidak makan? Dia bilang, ‘perut sama ulu hati saya sakit.’ Terus saya bilang sama dia, ‘Makanlah, kalau tidak makan nanti tambah sakit.’ Tapi ketika dia makan, dia nampak mual dan muntah-muntah,” kata Dofan bercerita. Dia tampak santai menjelaskan kronologi yang dia tahu, tanpa terlihat ada tekanan.
Sewaktu korban muntah-muntah, para penghuni kamar pun berusaha memanggil para sipir dan kemudian oleh sipir yang datang korban diberikan obat. Hanya saja, setelah meminum obat itu korban masih saja muntah-muntah. Puncak sakitnya yaitu pada malam hari 9 April 2021, Siprianus sempat dilarikan ke klinik penjara untuk mendapatkan perawatan. “Balik dari klinik dia disuruh istirahat ke kamar oleh petugas. Sampai di kamar dia minta bantu kerokan sama teman [kepala kamar],” kata Dofan.
Setelah mendapat perawatan tradisional oleh teman sekamarnya itu, kondisi Siprianus ternyata semakin drop. Penghuni kamar pun kembali memanggil para petugas, pada 10 April 2021, kabar terakhir soal Siprianus yang dia tahu pun sekadar kalau sudah dibawa petugas ke Rumah Sakit Unit Daerah (RSUD) Embung Fatimah. “Setelah itu saya tidak tahu lagi bagaimana. Tiba-tiba saja kami dapat kabar bahwa Siprianus sudah meninggal dunia,” jelasnya.
Petugas Rutan Sempat Bantah Ada Penganiayaan
Pernyataan ada bekas-bekas penganiayaan pada tubuh korban yang dinyatakan oleh pengacara dibantah oleh Kepala Pengamanan Rutan Kelas II A Batam, Ismail. Dia mengatakan, perihal bekas memar di dada dan punggung korban itu hanyalah bekas kerokan, karena sewaktu korban sakit rekan satu selnya mengira si korban sedang mengalami gejala masuk angin.
Sementara soal patah tulang menurut dia, itu karena korban dulunya menurut keluarga pernah jatuh dari sepeda motor yang mengakibatkan tulang lengannya patah. Artinya patah tulang itu adalah luka lama dan lagipula katanya hasil visum di RSUD Embung Fatimah juga tidak ada yang menyatakan kalau si korban ini patah tulang.
“Saya mendapatkan laporan itu dari petugas keamanan yang berjaga. Kebetulan saat itu saya sedang di rumah, tiba-tiba dapat kabar kalau ada tahanan [Siprianus] yang sedang sakit. Saya perintahkan petugas jaga untuk mengarahkan berobat di klinik,” kata Ismail, 12 April 2021.
Waktu itu, kata dia, Siprianus pun sempat mendapat perawatan dan disarankan untuk beristirahat di klinik saja sampai kondisinya membaik. Namun baru setengah jam berbaring di sana, sekitar pukul 09.30 WIB, Siprianus meminta untuk kembali beristirahat di kamar selnya.
Setelah sampai di kamar itulah Siprianus meminta dikerok kepada rekan tahanan yang lain. Menurut Ismail, kondisi kesehatan Siprianus menurun usai badannya dikerok. “Saat itu komandan jaga menghubungi saya bilang kondisi Siprianus memburuk dan butuh perawatan medis. Saya perintahkan segera membawa ke rumah sakit,” kata Ismail.
Siprianus akhirnya dibawa ke RSUD Embung Fatimah, dan tiba di sana sekira pukul 11.00 WIB. Dokter katanya sempat melakukan tindakan medis, hanya saja pada pukul 12.46 WIB, Siprianus dinyatakan meninggal dunia. Kata Ismail, menurut keterangan dokter Siprianus mengidap penyakit restorasi destress.
“Jadi tidak ada mendapatkan tindakan kekerasan selama berada di dalam rutan ini. Tetapi karena keluarga belum puas dengan keterangan dokter. Kami terbuka dan masih menunggu hasil dari autopsi. Dipikirnya ada penganiayaan,” kata Ismail.
Siprianus Meninggal Sebelum Sampai di Rumah Sakit?
Pada Kamis, 15 April 2021, HMS mendatangi RSUD Embung Fatimah untuk menanyakan pihak rumah sakit mengenai kronologi kematian dan hasil visum luar korban.
Namun, karena saat itu direktur RSUD dan Bagian Humas sedang tidak berada di tempat, HMS mendatangi bagian program. HMS kemudian diminta menunggu dan tak lama seorang laki-laki perwakilan RSUD mendatangi HMS dan menanyakan tujuan kedatangan.
Setelah mengajukan pertanyaan mengenai korban atas nama Siprianus Apiatus, ia lalu menghubungi salah satu karyawan RSUD via telepon dan menanyakan data korban. Selesai melakukan panggilan telepon, ia lalu mengatakan, “Dari data kita, korban sampai ke sini sudah dalam kondisi meninggal dunia” katanya.
Pada 11 Mei 2021, HMS kembali mencoba mengonfirmasi Direktur RSUD Embung Fatimah Any Dwyana, untuk memastikan keterangan dari perwakilan rumah sakit itu. Any Dwyana menyarankan HMS untuk bertanya kepada Agung, Dokter Forensik, yang menangani Siprianus hari itu. Hanya saja, Agung, sampai berita ini ditulis belum menjawab pertanyaan HMS.
Tim Pengacara Menduga Ada Rekayasa dan Akan Menyurati Presiden
Tim pengacara Siprianus mengapresiasi kinerja polisi yang akhirnya dapat membuktikan kecurigaan dari keluarga sebelumnya, bahwa Siprianus memang bukan meninggal karena sakit, melainkan karena dianiaya. Hanya saja, mereka belum menerima salinan hasil autopsi dan belum bisa berbicara secara rinci soal kekerasan apa saja yang menimpa Siprianus.
Langkah pihaknya setelah mendapatkan fakta terbaru ini yaitu menyurati Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Presiden. Hal ini dilakukan karena pihaknya masih menduga ada hal yang ditutup-tutupi. Terlebih sedari awal pihak rutan berulangkali mengklaim kalau Siprianus meninggal karena sakit.
“Supaya peristiwa ini tidak terulang lagi, kami akan menyurati Kemenkumham, bahkan kepada Presiden. Supaya pemerintah bisa membersihkan oknum-oknum penegak hukum, apalagi di Rutan yang selama ini kita lihat banyak korban di sana, tetapi kita lihat tidak ada keberanian dari pihak keluarga, juga terbatasnya biaya untuk meminta bantuan penasehat hukum. Dan kami turun dengan rasa kemanusiaan, kami bersedia mendampingi pihak keluarga dalam kasus meninggalnya Siprianus, sampai semuanya benar-benar tuntas,” kata Toni Siahaan, 10 Mei 2021.
Dugaan adanya rekayasa itu diperkuat dari sejumlah keterangan mantan narapidana yang sudah ditanyai oleh pihaknya. Selain itu kata dia, beberapa waktu lalu, sebelum dan sesudah Siprianus meninggal ada juga narapidana lain yang mendadak meninggal dunia.
“Dan kami dari pihak penasehat hukum telah mengumpulkan informasi dari teman-teman bahkan mereka yang pernah ditahan di sana, mereka yang sudah bebas menceritakan hal tersebut [adanya penganiayaan]. Ada juga disitu tahanan memukul tahanan tetapi bukan keinginan tahanan tersebut, tetapi perintah dari petugas,” katanya.
Atas dasar itulah pihaknya tidak akan mentah-mentah mempercayai keterangan tiga tersangka yang sudah diumumkan polisi tersebut. Tim pengacara masih menduga, ketiga orang ini memang sengaja dijadikan kambing hitam karena hasil autopsi membuat pihak Rutan tidak dapat mengelak lagi kalau Siprianus meninggal memang benar karena dianiaya.
“Harus dilindungi hak tersangka ini agar bersedia mengungkap siapa yang menyuruhnya. Karena pada awalnya Kepala Rutan mengatakan, tidak ada perkelahian atau permusuhan antara korban dan terduga tersangka. Konon karena hasil autopsi sudah menjelaskan kematian korban maka pihak Rutan mengkambinghitamkan ketiga nama tersebut. Ini harus di usut dan ketiga tersangka harus terbuka jujur tentang siapa yang menyuruhnya,” kata dia.
Selain itu pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Ombudsman Kepulauan Riau. Tonny Siahaan mengatakan, “Komunikasi berkaitan dengan perkara tersebut, kami menyerahkan informasi putusan Pengadilan Negeri Batam. Di mana setelah divonis bersalah dia [Siprianus] sampai kematiannya, dia masih ditahan di Rutan. Sebagaimana biasanya setelah selesai statusnya inkrah, harus dipindahkan ke lembaga permasyarakatan. Hingga kematian tersebut, korban masih berada di sana. Itu menjadi salah satu kejanggalan yang harus dijawab oleh pihak Rutan,” kata dia.
Ombudsman Turun Tangan
Ombudsman Kepulauan Riau mulai turun tangan mengawasi proses kasus kematian Siprianus. Lembaga negara ini menelisik semua potensi maladministrasi yang dilakukan oleh petugas Rutan. Terlebih sejauh ini ternyata memang sudah banyak laporan soal adanya kekerasan yang masuk, hanya saja, sampai sekarang belum ada yang terbukti.
Kepala Perwakilan Ombudsman Kepri, Lagat Paroha Patar Siadari, mengatakan, pengusutan ini dilakukan setelah pihaknya mendapat laporan laporan pengacara dari keluarga korban. “Tentu kami akan mengambil tindakan nantinya kalau memang terbukti ada maladministrasi di Rutan Batam. Memang dulu-dulu ada laporan tentang dugaan tindakan penganiayaan di dalam Rutan, tetapi kan, belum ada terbukti kejadiannya,” kata dia.
Sementara pihaknya belum menemukan adanya korelasi atas dugaan keterlibatan sipir dalam kasus penganiayaan ini. Karena memang informasi yang mereka dapat kalau Siprianus mendapat penganiayaan dari tahanan sekamarnya dulu. “Masih dalam tahap pemeriksaan,” katanya.
Ada beberapa hal baru yang menjadi pertimbangan pihaknya dalam kasus ini. Salah satunya soal jumlah penghuni Rutan yang sudah 300 persen melebihi kapasitas. Dampaknya yaitu kini satu kamar yang seyogianya hanya untuk menampung 10 orang kini harus ditempati oleh 30 tahanan.
Jumlah sipir yang tidak bertambah dan tidak sebanding dengan jumlah tahanan juga menjadi perhatian pihaknya. Sebab, menurut dia bisa saja karena kondisi penjara yang sudah melebihi kapasitas itu berakibat kepada tahanan menjadi stres sehingga emosinya tidak terkendali kemudian melakukan penganiayaan kepada tahanan lain.
“Secara administratif bisa saja sudah dilaksanakan dan juga bisa saja tidak menjadi fiktif karena kekurangan SDM maka terjadilah pengeroyokan. Makanya secara implisit kita lihat apa yang petugas lakukan itu sudah bagus, sudah sesuai dengan SOP Permenkumham,” katanya.
Dua Versi Berbeda Tentang Kematian Siprianus Sebelumnya
Sebelumnya, ada dua versi yang jauh berbeda tentang kematian Siprianus Apiatus Bin Philipus (27). Menurut dua pengacaranya, narapidana yang mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) Kelas II A Kota Batam, Kepulauan Riau, itu meninggal dunia dengan kondisi tubuh ada bekas luka dan patah tulangnya. Sementara menurut petugas penjara, memar yang dikira luka itu hanyalah bekas kerokan dan patah tulang yang diributkan tidak lain adalah luka lama korban.
Dua pengacara narapidana malang itu bernama Radius dan Natalis Zega. Mereka menerangkan bekas luka itu berupa: bahu dan lengan yang patah, dada kiri area jantung, tulang rusuk, serta punggung yang membiru dan membengkak. Kondisi ini mereka temukan pada tubuh korban sewaktu mereka ikut melihat dan mendampingi keluarga melakukan visum di RSUD Embung Fatimah.
“Awalnya saya sudah konfirmasi ke Rutan, keterangannya korban meninggal karena asam lambung. Padahal sewaktu dapat kabar [korban meninggal] saya juga langsung ikut mendampingi keluarga di rumah sakit. Ternyata setelah sampai di rumah sakit itu korban ternyata bukan meninggal karena asam lambung sebagaimana yang disampaikan pihak Rutan. Tetapi meninggal dunia karena dibagian tubuh korban ada beberapa kejanggalan,” kata Radius didampingi oleh Natalius Zega, 11 April 2021.
Kejanggalan itu mengarah layaknya seperti tanda-tanda bekas penganiayaan. Selain itu menurut dia, berdasarkan keterangan dokter, kondisi jantung si korban yang dihukum pidana selama satu tahun enam bulan dan sudah dipenjara kurang lebih satu tahun ini, sama sekali tidak mencirikan orang yang meninggal karena sakit.
“Tidak seperti mayat yang meninggal karena suatu penyakit, tetapi meninggal karena jantungnya membesar. Ini keterangan yang saya dapat dari rumah sakit. Tadi sudah saya tanyakan juga kepada keluarga, apakah si korban ini pernah menderita suatu penyakit sebagaimana yang disampaikan oleh pihak Rutan? Jawabannya tidak, tidak pernah menderita penyakit apapun. Juga riwayat penyakitnya juga tidak ada,” kata dia.
Dia mengungkapkan, seharusnya tahanan kasus pengeroyokan ini juga sudah bebas bersyarat sejak 29 Maret 2021 lalu. Namun, nyatanya tetap ditahan dan akhirnya meninggal dunia pada 10 April 2021. Beberapa minggu lalu, keluarga korban sudah memenuhi semua berkas persyaratan bebas bersyaratnya, akan tetapi si korban tak kunjung dilepaskan juga.
“Mereka menunggu informasi [kapan korban dibebaskan] dari pihak Rutan. Namun, tidak ada konfirmasi atas bebas bersyarat yang sudah selesai mereka urus itu. Malahan dari pihak Rutan menelepon ke pihak keluarga, abang ipar si korban, mengabarkan kalau korban telah meninggal. Tentu dari pihak keluarga tidak terima dan mempersoalkan kematiannya,” kata dia.
Kasus ini kata dia sudah dilaporkan kliennya kepada kepolisian. Intinya mereka tetap merasa ada yang janggal, meskipun keterangan petugas menyatakan kalau si korban ini dua hari sebelum meninggal sudah mengeluh sakit pada bagian hulu hatinya. Bahkan sebelum meninggal, pagi harinya korban juga sempat dirawat di poliklinik sebelum akhirnya pada malam hari ia kembali mengeluh sakit dan dilarikan ke RSUD Embung Fatimah, kemudian meninggal setelah satu jam dirawat di sana.
Radius pun berharap petugas kepolisian bisa menangani kasus ini dengan serius dan menghukum semua pelaku yang terlibat apabila memang terbukti si korban meninggal karena dianiaya. “Kami meminta Kapolda Kepri dan Kapolresta Barelang memperhatikan kejadian-kejadian seperti ini. Tentu prosesnya tidak akan berhenti sampai di sini saja kalau tidak ada tindakan hukum terhadap pelaku dan tanggung jawab dari pihak Rutan. Kita akan koordinasi dengan Kementrian Hukum dan HAM di Jakarta,” kata Radius.
Terpisah, pernyataan ada bekas-bekas penganiayaan pada tubuh korban yang dinyatakan oleh pengacara dibantah oleh Kepala Pengamanan Rutan Kelas II A Batam, Ismail. Dia mengatakan, perihal bekas memar di dada dan punggung korban itu hanyalah bekas kerokan, karena sewaktu korban sakit rekan satu selnya mengira si korban sedang mengalami gejala masuk angin.
Sementara soal patah tulang menurut dia, itu karena korban dulunya menurut keluarga pernah jatuh dari sepeda motor yang mengakibatkan tulang lengannya patah. Artinya patah tulang itu adalah luka lama dan lagipula katanya hasil visum di RSUD Embung Fatimah juga tidak ada yang menyatakan kalau si korban ini patah tulang.
“Kami masih menunggu hasil dari autopsi, karena keluarga belum puas dengan keterangan dokter. Dipikirnya ada penganiayaan,” kata Ismail.