BATAM – Sejumlah warga perumahan Marchelia tahap II Batam Centre mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam. Mereka mengadukan permasalahan lahan yang lebih dari 20 tahun yang masih bermasalah.
Ketua Forum Komunikasi Penyelesaian Perumahan Marchelia Tahap II, Noviar, mengatakan, kasus tumpang tindih lahan di perumahan Marchelia tahap II sudah berjalan kurang lebih 21 tahun.
“Awalnya kami membeli itu di satu perusahaan saja, pihak pengembang, PT Anugrah Citra Segara [Antara], karena dia dapat hak membeli dan menjual,” kata Noviar, Senin (28/11).
Namun, setelah warga membeli di tahun 2000 hingga 2002, perusahaan yang memiliki Hak Penggunaan Lahan, PT Putri Selaka Kencana (PSK) dan perusahaan pengembang, PT Antara mengalami konflik internal pada 2002, dampaknya konsumen menjadi korban.
“Ibaratnya itu kalau suami sama istri bermasalah, anak tidak jadi korban. Tapi ini suami istri konflik, anak jadi korban. Tapi kita tahu masalahnya apa,” kata dia.
Akibat konflik dua perusahaan tersebut, proses akad kredit dari Bank BTN tidak berjalan [berhenti] dan pembangunan perumahan dihentikan oleh PT Antara.
Hingga akhirnya, kasus kedua perusahaan tersebut naik ke meja sidang Mahkamah Agung pada 2009, yang dimenangkan oleh PT PSK.
Salah satu amar putusan MA menyatakan pemenang perkara ini harus melanjutkan hubungan hukum dengan intervenien atau konsumen dan semua bukti transaksi dengan developer yang ada pada konsumen adalah sah.
“Mengacu pada putusan MA ini, konsumen menunggu PT PSK untuk menjalankan eksekusi putusan MA no 46/2009, namun hingga habis masa UWT 20 Maret 2020, PT PSK tidak menjalankan putusan MA dan tidak pernah menghubungi konsumen secara langsung maupun melalui RT/RW Perumahan Marchelia,” kata dia.
Namun, tiba-tiba muncul gugatan PT Putra Jaya Bintan (PT PJB) milik Irawan kepada PT Putri Selaka Kencana (PT PSK). Gugatan tersebut dimenangkan oleh PT PJB yang kemudian mengajukan lelang atausita jaminan atas tanah di Perum Marchelia ke pengadilan.
“Padahal lahan yang menjadi obyek lelang sebagian telah ada bangunan dan sudah jual beli kepada konsumen yang melalui sejumlah dokumen resmi,” kata dia.
Dalam lelang ini, lahan milik konsumen ini akhirnya PT Karimun Pinang Jaya yang pemiliknya juga Irawan sebagai pemilik PT PJB menang. Sejak itu tidak ada aktivitas pembangunan di lahan Perum Marchelia Tahap II.
Saat Maret 2020 UWTO Perum Marchelia telah habis. Persolan ini sempat dikemukakan ke Kepala BP Batam Muhamad Rudi dan staf Bagian Lahan BP Batam.
Hasilnya legalitas dokumen Perum Marchelia Tahap I diproses dan sejumlah dokumen telah diterbitkan seperti SKEP, SPPPL, PL Rekom, Faktur UWTO.
Hak Konsumen Terabaikan
Namun hal ini tidak berlaku bagi konsumen Perum Marchelia Tahap II, bahkan BP Batam justru menerbitkan legalitas dokumen seperti SKEP, SPPL, PL, Rekom, Faktur UWTO kepada PT Pinang Karimun Jaya.
Menurut informasi PT Pinang Karimun Jaya tengah mengajukan sertifikat kepada Badan Pertanahan Batam.
“Kami sebagai konsumen seperti dianggap tidak pernah ada, bahkan ada konsumen yang sudah membayar lunas dan membayar PBB. Kami membeli resmi dan memiliki surat dokumen resmi, mengapa kami seperti dianggap tidak pernah ada. Kami minta persoalan antara pengembang jangan membuat hak kami terabaikan,” jelasnya.
Ia mengatakan, permasalahan dari pengembang dugaan untuk menjauhkan konsumen dengan pengembang sehingga dengan mudah lepas dari tanggungjawab.
“Masyarakat masih menunggu penyelesaiannya. Padahal sudah bosan, tapi keinginan masih kuat. Makanya kami datang ke sini agar ini bisa selesai, agar pihak terkait berembuk bersama mencari titik terangnya,” kata dia.
Sementara itu, Pendiri Forum Komunikasi Penyelesaian Perumahan Marchelia Tahap II, Sujanto, mengatakan, kurang lebih 500 KK menjadi korban dalam kasus ini.
“Sekarang aktivitas mereka lagi membersihkan lahan tersebut, itu menyebabkan warga menjadi gerah. Ini tampaknya sudah mau mulai, makanya warga kembali berkumpul,” kata dia.
Sujanto mengatakan, masyarakat ingin lahan tersebut menjadi hak milik mereka. Karena mereka telah melalukan pembayaran.
“Dulu sudah di bangun. Ada 1 PL Induk, setelah mengetahui di proses ada beberapa rumah tidak bisa memperpanjang UWTO. Total lahan kurang lebih 12,5 hektare dari 500 korban itu. Dulu sudah sempat melakukan pembangunan karena terbengkalai, besinya ada hilang ,” kata dia.
Perpanjang UWTO Tidak Bisa
Sementara itu, Ketua DPRD Kota Batam, Nuryanto mengaku warga mengadu sudah beli rumah dan pecah PL, ternyata rumah dan tanahnya sudah atas nama PT lain.
menurutnya, DPRD Kota Batam hanya membantu memfasilitasi dan menjembatani. Namun, yang bisa menyelesaikan persoalan adalah pihak-pihak terkait.
“Kami mengeluarkan surat hari ini juga agar tidak ada aktivitas di lokasi,” kata Nuryanto.
Dalam kasus ini, ternyata beberapa Anggota DPRD Kota Batam juga turut menjadi korbannya, yakni Udin P Sihaloho, Aman, Arlon Veristo dan Bianto.
“Kita sudah mengundang developer tapi tak hadir. Di satu sisi, alat jalan terus. Kalau sudah ada alat, mereka pasti anggap serius. Tak usah Dir lahan BP yang turun, tapi staf-stafnya saja,” kata Udin.
Udin melanjutkan, 2020 UWTO habis 2018 pasti sudah mengajukan. Sayangnya tidak bisa memperpanjang UWTO tersebut. “Persoalan ini sudah dari tahun 2001 sampai sekarang,” tutupnya. (*)