BATAM – DPR sudah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), meski di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang kontroversial. Salah satunya pasal 411 KUHP tentang perzinaan, yang dianggap dapat mengganggu industri pariwisata akan turunnya kunjungan wisatawan mancanegara (wisman).
Namun hal itu tampaknya tidak berpengaruh di Batam. Alih-alih menurun, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Kota Batam, Ardiwinata justru mengungkapkan sebaliknya. Jumlah kunjungan wisman di Batam meningkat.
“Untuk saat ini tidak ada pengaruh (pasal 411 KUHP). Karena bisa dilihat dari kunjungan wisman itu mulai naik,” ujar Ardiwinata, Selasa (13/12/2022).
Ia menjelaskan, pasca dibukanya border hampir 79 ribu kunjungan wisman ke Batam dalam perbulannya. “Dan sekarang ini sudah mendekati angka 80 ribu perbulan,” sebutnya.
Menurut Ardiwinata, kunjungan wisman dengan pasal 411 KUHP tersebut tidaklah signifikan. “Produk hukum yang seperti ini tidak ada gejolaknya. Saat ini tidak menimbulkan wisman tidak datang. Karena Batam dikemas Bapak Wali Kota yang sekarang dengan konsen terhadap aksesibilitas pengembangan pariwisata,” terang pria kelahiran Selat Panjang, Riau itu.
Beliau juga menuturkan, bahwa wisman yang datang ke Batam ingin melihat, mengamati dan mengkonsumsi budayanya, hingga menikmati kualitas produk lokal yang unggul dan murah. Selain itu, Batam juga memiliki alam yang indah, terutama alam perairan seperti wisata pantai, dan penduduk yang sangat ramah.
Selama menjabat Kadisbudpar Batam hingga detik ini, ia menegaskan belum ada satupun peringatan, reaksi-reaksi maupun komplain dari pelaku pariwisata. “Dengan adanya KUHP ini, sama sekali tidak ada canceled. Beda seperti saat covid melanda,” ucap Ardiwinata.
Sementara, menanggapi tentang disahkannya KUHP baru, ia mengaku mendukung karena hal tersebut tidak lahir begitu saja, melainkan dengan berbagai kajian dan pembahasan.
“Kita respon postif (mendukung) karena KUHP yang sekarang ini produk Indonesia. Jadi bisa dibilang bahwa kita sudah punya satu regulatif baru yang sangat meng-Indonesia lah tibanya, beda dengan yang lama dari zaman Belanda. Jadi tentunya kajian-kajian itu sudah mempertimbangkan kearifan lokal, faktor lingkungan dan sebagainya,” ungkapnya. (Dwi Septiani)