Oleh: Siswanto Rusdi
Cukup terkesima membaca berita di laman salah satu portal nasional yang mengutip pidato Presiden Joko Widodo saat membuka the 1st Finance Minister and Central Bank Governor Meeting di Forum G20, Kamis, 17 Februari 2022. Di hadapan hadirin, Kepala Negara menyinggung isu kelangkaan kontainer yang sampai hari ini masih mengharu biru.
Terkesima karena, sependek pengetahuan penulis, inilah kali pertama masalah tersebut dibunyikan di lembaga bergengsi itu sejak muncul pada 2020.
Kelangkaan peti kemas memang menjadi masalah yang dihadapi banyak negara, tidak terkecuali negara-negara anggota G20. Hal ini menambah persoalan yang dihadapi oIeh berbagai pemerintahan seantero penjuru mata angin tanpa terkecuali yang tengah berjibaku melawan merebaknya virus Corona di akhir 2019.
Pelabuhan China Tutup
Akibat pandemi itu banyak pelabuhan yang ditutup, khususnya di China yang menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap wabah tersebut. Artinya, bila suatu daerah atau fasilitas umum terjangkit, seluruh wilayah akan di lockdown.
Karena pelabuhan ditutup, maka kapal-kapal dengan trayek ke sana mau tak mau menghentikan layanannya. Atau, paling tidak, mengalihkan pelayarannya ke fasilitas terdekat dari pelabuhan destinasi.
Ratusan kapal melakukan langkah ini sehingga mempengaruhi jadwal yang sebelum pandemi sudah diatur sedemikian rupa, agar sesuai dengan keinginan pemakai jasa. Perubahan inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya kelangkaan kontainer seperti yang dipidatokan Jokowi.
Bila Presiden mengajak forum G20 untuk menyelesaikan masalah kelangkaan peti kemas, hal ini jelas sebuah terobosan. Karena selama ini penanganan masalah tersebut dilakukan sendiri-sendiri oleh tiap negara. Padahal, bisnis pelayaran itu bersifat lintas batas borderless di mana para pihak terhubung antara satu dengan lainnya. Diperlukan usaha bersama semua unsur pemangku kepentingan di sektor ini untuk menuntaskan setiap masalah yang muncul. Pada tataran ini imbauan Jokowi boleh dibilang terobosan.
Akibat kelangkaan kontainer tarif angkutan dari Asia ke pelabuhan di AS dan Eropa naik cukup signifikan. Pihak yang pertama dan terutama terpukul masalah kelangkaan peti kemas adalah China. Soalnya negara tersebut merupakan produsen barang manufaktur terbesar di dunia yang ekspornya sebagian besar tertuju ke AS dan Eropa.
Naik Enam Kali
Menurut Alan Murphy, head of consultancy Sea Intelligence, sudah sepuluh tahun freight pelayaran peti kemas tidak naik. Sementara itu, firma konsultasi Mckinsey mengatakan, saat ini freight pelayaran kontainer sudah naik enam kali lipat dibanding awal 2019. Ini khusus berlaku untuk rute dari China ke Eropa.
Sementara itu, Freightos Baltic Index, sebuah patokan bagi rute-rute pelayaran utama, mencatat freight pada rute China-Pantai Barat AS mencapai 7.000 dollar AS per satuan kontainer (20 kaki atau 40 kaki). Adapun untuk China-Eropa, tarif menyentuh 10.000 dollar AS.
Dengan kenaikan yang ada, pelayaran peti kemas membukukan keuntungan fantastis. Dilaporkan oleh berbagai media, pelayaran peti kemas membukukan pendapatan sekitar US$48,1 miliar hingga trisemester 2021 lalu.
Pencapaian itu sembilan kali lipat melebihi pendapatan yang diperoleh dalam periode yang sama pada 2020 sebesar US$5,1 miliar. Perolehan spektakuler ini mengalahkan penghasilan yang dibukukan oleh FANG (Facebook, Amazon, Netflix, Google). Menariknya, pencapaian pada 2020 itu sendiri sebetulnya sudah luar biasa bagi pelayaran kontainer. Tidak pernah mereka segemilang itu sebelumnya. Diramalkan, bisnis pelayaran peti kemas akan tetap bersinar di tahun 2022, seperti kondisinya saat ini.
Indonesia jelas terpengaruh dengan krisis kelangkaan peti kemas. Pasalnya, negeri kita merupakan salah satu eksportir Asia, khususnya di Asia Tenggara, yang lumayan besar kiriman barang manufakturnya ke AS dan Eropa. Kendati ekspor ini banyak yang harus singgah terlebih dahulu di pusat-pusat transshipment alias hub seperti di Singapura, Malaysia atau Shanghai sebelum mendarat di AS atau Eropa. Eksportir nasional disebut-sebut harus merogoh kocek sekitar Rp200 juta untuk biaya pengapalan.
Apakah Akan Disambut?
Pertanyaannya, apakah ajakan Presiden Joko Widodo agar G20 menyelesaikan kelangkaan kontainer betul-betul disambut oleh anggota forum? Apakah ajakan itu serius atau hanya pemanis pidato?
Ada beberapa alasan mengapa saya sedikit meragukan keinginan Kepala Negara kita. Pertama, agenda G20 sepertinya tidak memasukkan pembahasan isu kelangkaan peti kemas. Masalah ini sepertinya terlalu ‘remeh’ untuk dibahas para menteri, apalagi level kepala pemerintahan. Tetapi, bisa saja dengan posisi presidensi yang dipegangnya Indonesia akan menggolkan isu tersebut.
Kedua, diperlukan panel khusus untuk membahas kelangkaan peti kemas jika isu ini berhasil masuk sebagai salah satu agenda resmi pertemuan.
Masalah ini tidak cukup dibahas oleh pejabat-pejabat yang menjadi anggota delegasi tiap negara anggota G20. Diperlukan orang-orang dengan pengalaman, jaringan dan kompetensi khusus pula. Misalnya, eksekutif puncak perusahaan pelayaran peti kemas global, CEO operator terminal kontainer kelas internasional dan lain sebagainya.
Nah, pada point kedua itulah saya agak sedikit tidak yakin. Sehingga, ajakan Presiden bisa amsyong pada akhirnya. Apakah mereka mau membahas rahasia bisnisnya dalam forum yang kebanyakan membicarakan urusan politik dan politik ekonomi seperti G20? Entahlah.
Direktur The National Maritime Institute/NAMARIN.