Demonstrasi kembali terjadi di sejumlah wilayah Jayapura, Selasa, 10 Mei 2022. Warga menolak pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) alias pemekaran wilayah dan mendesak pencabutan Otonomi Khusus (Otsus) di Bumi Cendrawasih.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua melaporkan seorang demonstran kritis setelah terkena peluru karet yang diduga dilepaskan oleh aparat kepolisian. Mereka juga menyebut polisi telah menangkap sejumlah orang atas aksi kemarin. Aparat kepolisian juga terlihat membubarkan paksa aksi dengan menggunakan water cannon.
Demonstrasi itu merupakan rentetan penolakan atas wacana kebijakan pemerintah pusat baru-baru ini. Pada April 2022, pemerintah dan DPR sepakat melakukan pemekaran tiga provinsi baru di Papua, yakni Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.
Rencana penambahan provinsi itu diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah yang disahkan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dalam rapat pleno pada 6 April lalu.
Wacana pemekaran wilayah di Papua itu sempat melahirkan demonstrasi dan penolakan besar-besaran di sejumlah wilayah, seperti yang terjadi di Jayapura, Wamena, Paniai, Yahukimo, Timika, Lanny Jaya dan Nabire. Demonstrasi itu juga membuat sejumlah korban luka-luka mulai dari warga sipil hingga aparat kepolisian.
Sementara penolakan kedua, terjadi setelah DPR RUU Otsus Papua menjadi Undang-Undang pada 15 Juli 2022. Adapun RUU yang diajukan pemerintah ini berisi 20 pasal. Sebanyak 18 pasal merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Adapun dua pasal lainnya adalah pasal baru.
Pengesahan RUU Otsus Papua kala itu juga diwarnai aksi unjuk rasa di Papua. Puluhan orang ditangkap dalam aksi menolak RUU Otsus di Papua. Lantas, sebab apakah yang melahirkan aksi penolakan atas dua wacana kebijakan di Papua itu?.
CNNIndonesia.com telah merangkum secara singkat rentetan sebab penolakan sejumlah warga Papua terhadap kebijakan Otsus dan DOB.
Poin-poin Krusial soal Otsus Papua
Sejumlah poin krusial muncul dalam RUU Otsus Papua. Pertama, Dana Otsus Papua hingga 2041. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 mengatur penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Papua sebesar dua persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAU). Dana itu diterima selama 20 tahun, berakhir 2021.
Aturan itu direvisi lewat Pasal 34 ayat (3) huruf e dan ayat (4) RUU Otsus Papua Penerimaan khusus dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus Papua sebesar 2,25 persen dari plafon DAU. Dana itu akan terus diberikan ke Papua hingga 2041.
Kedua, pemekaran daerah lebih mudah. RUU Otsus Papua mempermudah pemekaran wilayah di Bumi Cendrawasih. Pemerintah pusat punya wewenang untuk melakukan pemekaran di Papua.
Pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2021 hanya berisi satu ayat soal pemekaran. Pemekaran dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.
Sementara itu, ada empat ayat baru di RUU Otsus Papua. Salah satunya mengatur kewenangan pemerintah pusat untuk memekarkan daerah di Papua.
Ketiga, pembentukan badan khusus. RUU Otsus Papua mengamanatkan pembentukan badan khusus untuk mengawasi Otsus di Papua. Amanat itu tertuang dalam pasal baru, yakni pasal 68A.
Ayat (2) pasal tersebut menyebut badan khusus dipimpin oleh wakil presiden. Wapres bakal dibantu oleh sejumlah menteri, yaitu menteri dalam negeri, menteri perencanaan pembangunan nasional, menteri keuangan, dan satu orang perwakilan dari setiap provinsi di Papua.
Keempat, RUU Otsus Papua menghapus dua ayat yang berkaitan dengan hak warga Papua membentuk partai politik. RUU itu juga mengubah satu pasal tentang kewajiban parpol berkonsultasi dengan DPRP dan MRP dalam rekrutmen.
Kelima, aturan wakil gubernur. RUU Otsus Papua mengubah aturan pada pasal 17 ayat (3). Jabatan wakil gubernur bisa kembali diisi jika wakil gubernur definitif berhalangan tetap.
Pada UU Otsus sebelumnya, posisi wakil gubernur tak bisa diisi jika pejabat sebelumnya berhalangan tetap. Jabatan itu dibiarkan kosong sampai periode masa jabatan habis.
Otsus dan DOB Papua Dicap Kepentingan Elite
Pasca pengesahan RUU Otsus Papua menjadi UU, dilaporkan sebanyak 714.066 orang Papua dan 112 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menolak pengesahan RUU tersebut. Mereka menilai Otsus bukan jawaban untuk menyelesaikan permasalahan di tanah Papua.
Mereka menilai Otsus merupakan produk yang dihasilkan dari perselingkuhan antara elite Papua dan elite Jakarta. Menurutnya, kebijakan tersebut sama sekali tidak mengakomodasi kepentingan orang Papua.
Senada, Majelis Rakyat Papua (MRP) juga menyebut pemerintah maupun DPR seharusnya cermat dan tak buru-buru memutuskan pemekaran Papua. Menurutnya, dampak kebijakan ini bakal melepas sebagian besar wilayah kultural MRP dan wilayah pemerintahan provinsi Papua.
MRP menilai, pesan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mensejahterakan Papua dan mengevaluasi otonomi khusus salah diterjemahkan oleh segelintir menteri dengan cara membentuk provinsi baru berdasarkan UU Otsus baru yang bermasalah.
RUU pembentukan tiga provinsi baru itu mengabaikan aturan yang tertuang dalam Pasal 77 Undang-undang 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang mewajibkan konsultasi dengan rakyat Papua. Dalam Otsus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan MRP.
MRP mengatakan Papua tidak memenuhi syarat kepadatan penduduk untuk dimekarkan. Mereka kemudian membandingkan jumlah penduduk Papua dengan provinsi lain yang memiliki penduduk banyak. Sehingga aneh bagi mereka apabila pemerintah justru berambisi melakukan pemekaran di Papua alih-alih di daerah tersebut.
Ketua Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth juga menilai rencana pemekaran ini kemungkinan besar akan bermuara juga pada kepentingan politik.
Jatah politik lantaran sebuah provinsi baru otomatis akan memilih pemimpin baru. Untuk itu, publik menurutnya perlu ikut mengawal fraksi partai politik dalam penentuan pejabat di wilayah pemekaran nantinya.
Selain itu, ada pula jatah ekonomi lantaran dengan pemekaran daerah baru maka akan ada pembangunan di sektor ekonomi. Dengan kondisi itu, ada peluang elite pejabat ataupun pihak oligarki yang memiliki kepentingan dan berpotensi diuntungkan di sana.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menilai rencana pemekaran di Papua justru bukan melahirkan solusi, melainkan malah menjadi masalah baru yang menyulut konflik bersenjata tak kunjung reda di Bumi Cendrawasih.
Usman juga menilai pengesahan RUU soal pemekaran tiga provinsi di Papua itu cacat prosedural dan material. Disebut cacat prosedural karena dibuat dan disepakati tanpa partisipasi dan konsultasi orang asli Papua setidaknya MRP. Padahal kebijakan itu berdampak besar bagi mereka.
Kemudian disebut cacat material karena RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Tengah, dan Provinsi Papua Pegunungan Tengah itu menggunakan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang materinya sedang diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Diketahui, pada September 2021, MRP melayangkan permohonan uji materiil UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua ke MK. Salah satu pasal yang digugat yaitu terkait wewenang pemekaran wilayah di Papua.
Usman juga curiga, ambisi pemerintah melakukan pemekaran di Papua terkait dengan proses perizinan penambangan di Blok Wabu. Selama 2-3 tahun terakhir, kata dia, ada tarik ulur antara Kementerian ESDM dengan Gubernur Papua soal penambangan di tempat tersebut.
Dengan kondisi itu, ia menduga pemerintah mengambil jalan pintas dengan pemekaran wilayah agar izin mudah diberikan. Untuk itu, Usman meminta agar pemerintah dan DPR segera mengundang MRP dan Gubernur Papua. Sementara kesepakatan RUU pemekaran itu dibatalkan, setidaknya menunda rencana itu sampai putusan MK terbit.
Berpotensi Picu ‘Api’ di Daerah Konflik
Ketua Kajian Papua dari LIPI Adriana Elisabeth menilai rencana pemerintah menyepakati pemekaran di Papua merupakan langkah yang kurang cermat. Ia menyebut, perlu ada kajian secara spesifik terkait rencana pemekaran terutama di tanah Papua yang merupakan daerah konflik.
Rencana pemekaran di Provinsi Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah kemungkinan akan malah memicu konflik senjata semakin panas, sementara untuk Papua Selatan menurutnya akan ‘adem’ lantaran minim daerah konflik di sana.
Kesepakatan untuk melakukan pemekaran di Papua menurutnya bukanlah sebuah solusi apik yang ditawarkan pemerintah saat ini. Namun malah ada kekhawatiran lebih serius dibandingkan nilai kemanfaatannya lantaran masih ada sejumlah poin yang tidak dilakoni pemerintah dalam melakukan pemekaran di daerah konflik.
“Karena di daerah konflik akan ada persoalan perspektif korban atau kacamata aktivis yang mengkhawatirkan ini pasti akan ada penambahan markas Kodam dan sebagainya. Padahal masyarakat Papua sebagian masih sangat traumatik,” kata Adriana.
Dalih Pemerintah Otsus dan DOB Demi Kesejahteraan Papua
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kala itu mengklaim UU Otsus Papua yang baru disahkan merupakan wujud komitmen pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat di provinsi paling timur tersebut.
Tito mengatakan pihaknya berpijak pada semangat untuk melindungi dan menjunjung harkat serta martabat orang asli Papua. Pihaknya juga berpijak pada percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua.
Mantan kapolri itu juga janji bakal menyosialisasi UU Otsus Papua yang baru ini kepada seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah. Ia akan menyusun peraturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD ikut mengungkapkan bahwa keutuhan NKRI adalah alasan utama pemerintah dalam menyusun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 mengenai Otsus Papua.
Mahfud mengklaim pemerintah dan masyarakat Indonesia telah sepakat menjadikan Papua yang saat ini terbagi menjadi dua provinsi akan dimekarkan menjadi beberapa provinsi. Setiap provinsi itu, kata Mahfud, akan menjadi daerah yang menyandang otonomi khusus.
Menurutnya, UU Otsus Papua telah mengatur arah pembangunan Papua secara menyeluruh. Ia juga menyebut pembangunan ini dilakukan menggunakan pendekatan kesejahteraan melalui peneguhan di berbagai sektor seperti politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Perihal pemekaran wilayah Papua, Mahfud juga mengklaim 82 persen rakyat Papua meminta pemekaran atau pembentukan DOB. Menurutnya, hasil itu diperoleh dari survei yang dilakukan oleh lembaga kepresidenan. Namun ia tak merinci kapan survei dilakukan dan berapa banyak responden yang dilibatkan.
Mahfud lalu mengatakan pro dan kontra yang terjadi saat ini dalam merespons wacana pembentukan daerah otonom baru Papua merupakan hal yang biasa. Ia mengatakan, jumlah publik yang setuju dan tidak setuju terhadap wacana pembentukan daerah otonom baru Papua sama.
Sumber: CNN Indonesia