Pihak Mangatur Nainggolan Law Firm (MNL) selaku advokat dan penasihat hukum yang bertindak untuk dan atas nama Jhon Simbolon dan Charlianto, mengirim tanggapan dan penjelasan tertulis, atas penyampaian hak jawab PT PP Properti Tbk. terhadap Pemberitaan HMSTimes.com tanggal 21 Juni 2022 dengan judul “Komnas HAM: Penggusuran Bangunan di Transyogi Depok, Masuk Kategori Serius dan Urgent.”
“Kami bermaksud meluruskan fakta-fakta terkait dengan Penyampaian Hak Jawab tersebut,” demikian bunyi surat dari MNL.
Dari hak jawab yang sudah dipublikasikan dalam Pemberitaan HMSTimes.com tanggal 9 Juli 2022, pihak MNL menyimpulkan, PP Properti mengakui/mengonfirmasi terkait tindakan pembongkaran/penggusuran paksa yang dilakukannya. Sehingga hal tersebut semakin membuktikan dugaan kerja sama antara PP Properti dengan oknum Polisi dari Kepolisian Resor Depok dan sekelompok orang tanpa seragam dan atribut aparatur negara, yang dapat ditengarai mereka para preman;
Bahwa pada dasarnya PP Properti bersama dengan preman tidak memiliki kewenangan melakukan pembongkaran atas bangunan yang diduga liar, sebab hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat cq Pemerintah Kota Depok melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah no. 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja;
MNL menegaskan, terkait tanah yang menjadi pembicaraan tersebut sepenuhnya milik Klien kami, sebagaimana dibuktikan dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 10024 yang terletak di Keluarahan Harjamukti Kecamatan Cimanggis Kota Madya Depok Provinsi Jawa Barat dengan luas 300M2 (SHM No 10024) dan Klien kami telah menempati dan bertempat tinggal disana secara terus menerus sejak tahun 1999 hingga saat ini;
Dugaan Tindak Pidana
Menurut MNL, bahwa oleh karena pembongkaran/penggusuran paksa di luar kewenangan tersebut, maka semakin nyata terjadi dugaan tindak pidana yang dilakukan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 200 ayat (1) KUHP “barangsiapa dengan sengaja menghancurkan atau merusak Gedung atau bangunan, diancam: Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum.”
Pasal 406 ayat (1) KUHP “Barangsiapa dengan sengaja melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
PP Properti juga mengklaim adanya kepemilikan sebagaimana Sertifikat Hak Milik, yang mana hal tersebut semakin menunjukan adanya kekeliruan dalam pernyataan tersebut. Karena berdasarkan Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), tidak memperbolehkan badan usaha yang berbentuk badan hukum memegang hak milik atas tanah.
Bahwa oleh karena adanya pengakuan oleh PP Properti atas kepemilikan SHM, maka secara mutatis mutandis masih terdapat cacat formil atau setidaknya masih terlalu dini PP Properti mengklaim memiliki alas hak atas nama PP Properti pada tanah dimaksud.
Atas hak jawab tersebut, kami juga menyimpulkan PP Properti telah keliru dalam menyatakan, melakukan pembongkaran dengan benar, sehingga tidak ada pelanggaran hukum maupun pelanggaran HAM yang dilakukan, oleh karena telah melakukan upaya persuasive dan melakukan dua kali somasi (teguran);
MNL menegaskan, secara hukum, PP Properti bersama preman tidak memiliki kewenangan apapun untuk membongkar bangunan yang diduga liar, sehingga pembongkaran dan penghancuran bangunan adalah tindakan yang tidak dapat ditolerir. Selain itu adanya klaim upaya persuasive dan melakukan somasi bukan merupakan bentuk upaya penyelesaian konflik pertanahan.
Selesaikan Dengan Beradab
Menurut MNL, dalam konflik pertanahan, dalam hal ini jika terjadi sertifikat ganda, seharusnya dapat diselesaikan melalui cara-cara yang beradab dan sesuai hukum yang berlaku, yaitu: (1) Penyelesaian dengan musyawarah; (2) Melalui Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; (3) Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan. Namun PP Properti justru memilih jalan Main Hakim sendiri dengan berkerja sama dengan pihak yang diduga preman merobohkan segala bangunan yang ada di atasnya hingga rata dengan tanah ;
Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights Jo. Pasal Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, maka segala tindakan Pembongkaran/Penggusuran paksa yang dilakukan PP Properti, masuk dalam kategori Pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga perbuatan tersebut jauh dari nilai-nilai AKHLAK yang dijunjung tinggi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara;
Pihak MNL mengungkapkan, bahwa atas tindakan pembongkaran/penggusuran paksa tersebut, Pihak PP Properti tidak menjalankan prinsip Responsibilitas, sebagaimana Pasal 3 angka 3 Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER 01 /MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara (Permen No. 01/2011), yaitu:
“Pasal 3 angka 3 Pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat”
Jo. “Pasal 2 ayat (1) BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan berkelanjutan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini dengan tetap memperhatikan ketentuan, dan norma yang berlaku serta anggaran dasar BUMN”
Surat Tanggapan atas Penyampaian Hak Jawab PP Properti dari Mangatur Nainggolan Law Firm (MNL) ini, dengan Nomor : MNL/M/115/VII/HMS/2022 dan ditandatangani Mangatur Nainggolan, S.E., S.H., M.M., CPA. dan Azas Tigor Nainggolan, S.H., M.Si., M.H.