JAKARTA – Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mengungkapkan, kemungkinan pemungutan suara Pemilu 2024 dilakukan dengan sistem proporsional tertutup atau hanya memilih partai bukan calon legislatif (caleg).
“Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi. Ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup,” kata Hasyim dalam acara Catatan Akhir Tahun 2022 di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Disebutkan, sistem tersebut sedang disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Jadi ada kemungkinan MK menetapkan sistem tertutup jika melihat rekam jejak putusan selama ini.
Namun Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan kapasitas Ketua KPU Hasyim Asy’ari berbicara kemungkinan Pemilu 2024 kembali memakai sistem proporsional tertutup atau hanya coblos partai. Sebab menurutnya, hal itu hanya bisa terjadi jika ada revisi Undang-Undang yang prosesnya mesti matang.
“Itu saudara Hasyim dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu. KPU adalah institusi pelaksana Undang-Undang. Sementara bila ada perubahan sistem pemilu, itu artinya ada perubahan Undang-Undang. Perubahan UU hanya terjadi bila ada revisi UU, terbitnya Perpu yang melibatkan DPR dan pemerintah atau berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” papar ketua Komisi dari Fraksi Partai Golkar itu, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (29/12/2022).
Sedangkan terkait pernyataannya, Ketua KPU Hasyim menjelaskan, nama caleg tidak akan lagi dicantumkan dalam surat suara jika sistem proporsional daftar calon tertutup diberlakukan kembali. Surat suara hanya berisi nama, nomor urut dan logo partai. Dengan demikian, akan percuma bagi caleg mensosialisasikan diri dengan spanduk atau baliho.
“Siapa tahu sistemnya kembali tertutup? Sudah lumayan belanja pasang baliho, pasang iklan, namanya enggak muncul di surat suara,” ucap Hasyim.
Ajukan Uji Materi
Diketahui, sejumlah politisi mengajukan uji materi terhadap UU No. 7 tahun 2019 atau UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Jika MK mengabulkan gugatan itu, maka sistem proporsional daftar calon tertutup akan kembali diterapkan. Surat suara dalam pemilu hanya mencantumkan partai politik.
Apabila partai politik menang dan mendapat jatah kursi, mereka berhak menentukan orang yang akan duduk di kursi dewan perwakilan tersebut.
Indonesia sudah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2004. Masyarakat memilih langsung calon anggota legislatif dengan mencoblos (mencontreng) di surat suara.
Menanggapi hal tersebut Doli mempertanyakan, apakah Ketua KPU menjadi salah satu yang mendorong proses itu. Memang diketahui, sejumlah politisi mengajukan uji materi terhadap UU No. 7 tahun 2019 atau UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Mereka meminta MK untuk membatalkan pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
“Memang saya mendapatkan informasi bahwa ada pihak yang sedang mengajukan judicial review (JR). Apakah Hasyim menjadi bagian yang mendorong pihak yang mengajukan JR tersebut? Atau apakah MK sudah mengambil keputusan yang cuma Hasyim yang tahu?” ujarnya.
Lebih lanjut Ketua Komisi II dari daerah pemilihan Sumatera itu berharap, MK bisa netral dalam menyikapi isu ini. “Jadi kalaupun mau diubah, harus melalui revisi UU dan harus dilakukan kembali lagi kajian yang serius. Karena itu akan menyangkut masa depan sistem politik dan demokrasi Indonesia,” tutur Doli.
Menurutnya, itulah kenapa dua tahun lalu Komisi II mendorong adanya revisi UU, bila terjadi perubahan pasal secara parsial dan sporadis satu atau dua pasal berdasarkan putusan MK. “Apalagi kita sudah memasuki tahapan Pemilu seperti saat ini, maka itu dapat menimbulkan kerumitan baru dan bisa memunculkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024,” sambungnya. (*)