JAKARTA – Pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut Tiga, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD tampil unik dalam acara debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kamis, 22 Desember 2023 malam.
Datang ke tempat acara di Jakarta Convention Centre Senayan, Ganjar Pranowo mengenakan baju khas dari wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), sedangkan Mahfud MD berbusana ala Madura, Jawa Timur.
Sebelum keduanya tiba, Capres dan Cawapres Nomor Urut Dua Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sudah tiba terlebih dulu di JCC. Mereka mengenakan baju berwarna biru muda.
Sedangkan Pasangan Nomor Urut Satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN), datang setelahnya. Pasangan tersebut mengenakan kemeja putih dengan jas warna gelap serta peci hitam.
Busana yang dikenakan Ganjar Pranowo adalah baju adat dari Kabupaten Rote Ndao.
Tokoh masyarakat Desa Nusakdale, Kecamatan Pantai Baru, Kabupaten Rote Ndao, Nyongky Malelak mengaku bangga, busana adat mereka dikenakan salah satu calon presiden.
“Sebuah kebanggaan bagi kami orang Rote. Walau jauh di beranda terselatan, tapi pakaian kebesaran kami menjadi pilihan Mas Ganjar saat debat,” katanya dikutip dari Kompas.com , Sabtu, 23 Desember 2023.
Ia mengatakan, busana yang dikenakan Ganjar tersebut disebut Badu Lote. Busana itu digunakan pada acara-acara adat, seperti perkawinan, acara hus (tarian berkuda), pemakaman jenazah warga dan acara adat lain.
“Baju digunakan dengan selimut atau dalam bahasa Rote disebut Lafa,” kata Nyongky.
Topi Ti’i langga
Aksesori yang digunakan yakni habas (kalung), penik (ikat pinggang) dan topi berbentuk antena (ti’i langga).
Khusus untuk topi ti’i langga, kata dia, menjadi ciri khas dari pakaian adat Rote yang menjadi pembeda dengan suku lainnya di Wilayah NTT.
Topi ini memiliki bentuk runcing di bagian atas. Adanya bagian runcing pada topi ternyata bukan tanpa arti.
“Bagian tegak dan runcing ini seolah menggambarkan sifat orang Rote yang cenderung bertekad keras,” ungkap Nyongky.
Topi ini dibuat dari bahan dasar daun lontar. Daun lontar kering ini dipercaya sebagai simbol kewibawaan dan simbol kepercayaan bagi kaum laki-laki Suku Rote.
Nyongky berharap, busana adat Rote Ndao semakin terkenal luas di Indonesia, sehingga bisa berdampak pada ekonomi warga.
“Semoga ini menjadi kebangkitan bagi dunia usaha mikro kecil menengah, khusus ibu-ibu perajin tenun ikat,” ujar dia. (*)