JAKARTA – Menyikapi kemungkinan Hari Raya Idulfitri 1 Syawal 1444 Hijriah/2023 Masehi yang segera tiba dengan tanggal tidak sama, maka masyarakat harus memaknai perbedaan itu sebagai keberkatan.
Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rubiyanah Jalil menyatakan makna tersebut, berdasarkan hadis Rasulullah SAW, al ikhtilaafu ummati rahmah, yang berarti perbedaan di antara umatku adalah rahmat.
Perbedaan harus dimaknai sebagai keindahan yang harus dipupuk, dan tidak dijadikan sebagai alat politisasi suatu kelompok.
“Jika perbedaan-perbedaan itu justru dijadikan sebagai bahan untuk memunculkan perpecahan karena ingin memenangkan satu kelompok sendiri, maka perbedaan itu justru akan menjadi musibah bagi bangsa Indonesia,” kata dosen program studi magister Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah ini, di Jakarta, Senin (17/4/2023).
Pada tahun ini, pemerintah kemungkinan akan menetapkan Idulfitri 2023 jatuh Sabtu (22/4/2023), sedangkan organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah sudah mengumumkan, jatuh pada Jumat (21/4/2023).
Landasan Semangat Spiritual
Diharapkan dengan dilandasi semangat spiritual dan kebangsaan, sejatinya momentum ini mampu memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa yang semakin bisa meredam perpecahan bangsa.
Ditegaskan bahwa, bulan Ramadan dikenal memiliki banyak kemuliaan, mulai dari bulan suci, bulan penuh rahmat, hingga bulan syahru jihad atau bulan jihad. Dinyatakan syahru jihad, karena secara historis pelaksanaan Ramadan pada masa Nabi Muhammad SAW bertepatan peristiwa kemenangan besar kaum muslimin dalam Perang Badar.
Namun semangat ini, menurut Rubiyanah Jalil, kerap disalahartikan beberapa kelompok dengan konteks yang tidak sesuai. Jihad kerap diartikan dengan makna perang (qital). Sehingga dimunculkan pendapat Ramadan adalah waktu yang tepat membuat teror.
“[Padahal] ketika umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa atau menahan diri, pada dasarnya kita sedang berjihad, oleh karena itulah Ramadan disebut juga dengan syahrul jihad,” tuturnya.
Rubi mengungkapkan, Perang Badar yang dilakukan Nabi Muhammad bersama para sahabatnya saat bulan Ramadan itu, bentuk perlawanan tidak seimbang.
Pasukan muslimin saat itu hanya 313 orang. Sedangkan pasukan lawan 1.000 Kafir Qurais. Namun dengan kondisi tak sebanding itu, pasukan Muslim berhasil mengalahkan para tentara kafir itu.
Namun ternyata kemenangan dalam Perang Badar ini, digambarkan Rasulullah hanya perang kecil. Nabi Muhammad mengatakan, roza’kna min jihadil asgar ila jihadil akbar (kita pulang dari jihad kecil menuju jihad besar).
Menurut Rasulullah, jihadul akbar jihadul nafs, jihad akbar itu adalah perang melawan diri sendiri. Jadi sebenarnya jihad yang paling besar, bukan secara fisik berperang.
“Jihad besar itu adalah perang untuk melawan diri sendiri dari segala hawa nafsu yang bisa menghancurkan baik diri sendiri, maupun orang lain dan itu [saat] berpuasa,” terang Dewan Pakar Asosiasi Komunikasi Penyiaran Islam (ASKOPIS) Indonesia ini.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, makna jihad melawan hawa nafsu juga dapat dipupuk untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia sebagai negara yang penuh keberagaman suku, agama, ras dan budaya, perlu menamkan nilai-nilai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan. (*)