Sebuah kapal cepat dengan dua unit mesin tempel 200 PK melaju kencang memecah kesunyian malam. Riuh yang hadir di perairan Pulau Putri, Nongsa di malam Jumat itu mungkin tampak biasa bagi mereka yang duduk menatap malam di pinggir pantainya. Namun, lain hal dengan situasi yang hadir dari atas kapal tersebut. Diperkirakan ada 30 orang manusia yang duduk berhimpitan dan saling berpangkuan. Di antara ombak nasib yang akan membawa mereka terombang-ambing di lautan.
Mereka hanyalah orang-orang nekat yang mengharapkan nasib baik dari Ringgit yang kian terasa legit. Mereka pertaruhkan nasib ke negeri seberang di atas kapal fiber dengan panjang kurang lebih lima sampai enam meter dan lebar dua meter. Bersama kapal itulah harapan mereka bawa, sebab hidup tak memberi banyak peruntungan di kampung halamannya.
Sahman, pria yang hadir di dalam tragedi kapal karam itu mengisahkan bagaimana malam mencekam itu nyaris merenggut nyawanya. Seakan laut menjadi malaikat maut yang datang bersama kecipak airnya. Namun, Tuhan dan tragedi adalah dua hal yang berbeda dan tak bisa dipisahkan. Baginya tragedi yang hadir adalah jurang menuju kematian, namun, segala kuasa kembali pada Tuhan.
Dalam ketegangan dan keputusasaannya, kelam laut membayangkan wajah anak dan istrinya. Di antara cemas dan takut ia berkata. “Nak, maafkan bapak, mungkin ini akhir hidup Bapak di dunia ini. Maaf, bapak belum bisa bahagiakan kamu, semoga kita bertemu lagi di akhirat nanti.”
Tuhan nyatanya berkata lain, ia utus nelayan sekitar untuk menyelamatkannya. Ia bersyukur Tuhan masih meberikannya kehidupan. Meski trauma masih ia rasakan.
Satu jam sebelum kejadian, sebuah panggilan masuk ke telepon genggam Sahman. Di seberang telepon seseorang mengabarkannya untuk segera bersiap. Ia akan segera diberangkatkan, sementara sebuah Avanza hitam telah siap menunggunya.
Waktu menunjukkan pukul 18.30, hari Kamis, 16 Juni 2022. Sahman dan tujuh rekannya terlebih dahulu ditampung di salah satu hotel di Batam, sebelum berangkat menuju daerah Nongsa. 30 menit perjalanan, akhirnya mereka sampai di Nongsa Pantai. Di sana ia bertemu dengan rombongan lainnya yang juga akan berangkat bersama.
Sahman dan 29 PMI ilegal lainnya terlebih dahulu harus mendaki bukit dan menuruni lereng untuk bisa sampai ke sebuah dermaga kayu, tempat kapal yang akan mengangkut mereka berada.
Perasaan gembira menyelimutinya, takada sedikitpun firasat buruk akan adanya bencana dalam beberapa jam ke depan. Dalam pikirannya saat itu hanyalah Malaysia dan uang Ringgit yang akan dikirim ke keluarga di rumah.
Malam itu gelap, Sahman tak melihat dengan jelas, warna kapal yang akan membawa mereka berangkat. Ia hanya naik dan bersiap untuk segera berangkat agar segera sampai negeri Jiran. Di dalam kapal Sahman berhimpit-himpitan bersama 29 PMI lainnya. Bahkan ada yang tak dapat tempat. Hanya bersender pada bagian tepi kapal. Bagian depan telah terisi penuh oleh tas-tas yang mereka bawa, “kapal itu kecil untuk kami yang banyak,” kata Sahman.
Saman merasa aneh, sebab uang yang mereka keluarkan tidak sedikit. Satu orang harus merogoh kocek hingga Rp9 juta untuk dapat berangkat lewat jalur gelap. Namun, kapal yang membawa mereka justru sangat tak layak.
Malam Mencekam Dimulai
Setelah semua penumpang naik. Kapal melaju kencang ke arah utara Nongsa Pantai. Baru 30 menit melaju, mesin kapal tersebut telah menabrak gelondongan kayu. Tekong, yang menjadi nakhoda kapal berusaha menghidupkannya kembali, tapi sayang usahanya sia-sia.
Sementara Tekong berusaha, air perlahan mulai masuk ke dalam kapal, kapal mulai tak stabil, kemudian oleng seperti akan mulai karam. Tekong itu segera meminta bantuan rekannya. 15 menit berselang, kapal kayu berukuran sama datang ke lokasi kecelakaan. Tekong dan ABK-nya segera loncat ke kapal kayu. Terdengar ucapan dari tekong, “biarkan saja sudah, biar mati saja orang itu,” kata Sahman mengulang ucapan Tekong.
Sahman yang mendengar ucapan Tekong, langsung loncat dari kapal fiber ke kapal kayu, diikuti 29 lainnya. Ada yang sempat naik, dan sebagian yang lain belum. Kapal tetap melaju kencang. Sebagian PMI ada yang bergelantungan, memegang pinggiran kapal kayu. Terseret kurang lebih seratus meter dari kapal pertama. Tekong kapal seperti tak peduli dengan nasib mereka.
Nasib kapal kayu itu pun sama. Mesinnya mati, lalu oleng karena Sahman dan rekannya yang bergelantungan. Semua orang terpisah, berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Sahman langsung masuk ke dalam air, saat naik ke permukaan, ia mencari Mawardi (keponakannya). Mawardi ia temukan dan ia pegang dengan satu tangannya, sedangkan satu tangannya lagi mengepak-ngepak berusaha tetap mengapung. Namun, dalam usahanya itu banyak PMI berusaha menarik pundaknya. Membuat Sahman tenggelam. Sesaat muncul lagi. Mawardi hilang.
“Tangan saya satu sudah pegang dia, satu saya gini-gini [mengepak-ngepak], tapi bahu saya banyak yang pegang, jadi saya tenggelam. Mawardi tak tahu ke mana,” kata Sahman.
Saat muncul kembali, napasnya terengah-engah. Dia berteriak mencari keponakannya, namun tak kunjung ia temukan. Saat tengah mencari Marwardi, Sahman bertemu Sumiati, seorang wanita rekannya berangkat dari Lombok. Ia coba memegang Sumiati, tapi kejadian seperti Mawardi terulang lagi. Sahman tenggelam, Sumiati hilang bersama suaminya Wirnan.
Sahman mengapung di laut kurang lebih 45 menit. Tenaganya sudah hampir habis. Dalam pikirannya kini hanyalah kematian.
“Saya sudah pasrah, saya berpikir inilah waktunya saya menghadap Allah. Yang terpikir anak saya yang masih kecil, ibu dan istri saya. Saya cuma bisa minta maaf saja dalam hati,” ujar Sahman.
Detik-detik akhir itu, tangannya sempat berusaha menggapai-gapai, sampai akhirnya terpegang bagian tepi perahu nelayan. Saat itu juga, nelayan membantu Sahman naik ke perahu.
“Telat semenit saja, mungkin nyawa saya hilang. Malaikat maut malam itu terasa dekat,” kata Sahman.
Jeriken Penyelamat
Lain hal dengan Amat. Pria bertubuh jangkung itu tak mengingat jelas bagaimana kejadian mencekam yang hampir merenggut nyawanya malam itu. Ia hanya mengingat kapal karam dan tenggelam, saat sadar ia telah di rumah sakit.
Pemuda asal Batu Jai, Mangilok, Lombok Tengah itu tidak bisa berenang. Ia telah berusaha, namun tetap saja gagal. Air laut terlalu banyak ia minum, hingga tak sadarkan diri.
Beruntung, ia masih punya rekan yang setia menolongnya, memeganginya, sembari mengapung di atas jeriken.
Zohir, rekan Amat yang menyelamatkannya, mengatakan kondisi rekannya sudah tidak sadarkan diri. Amat terus meracau memanggil ibu, anak, dan istrinya.
“Amat terus bilang ibu, ibu, ibu, Fadillah Fadillah [anak Amat], berulang kali,” kata Zohir mengulang racauan Amat malam itu.
Tak hanya Zohir dan Amat, Harum dan Yusuf, juga selamat karena jeriken minyak yang mereka gunakan untuk mengapung. Jika tidak ada jeriken, mungkin mereka telah dijemput ajal. Dalam insiden tersebut, Amat kehilangan adik iparnya, Muhammad Rohim.
Sahman, Amat, Zohir, Harum, Yusuf, Abdillah mengaku uang Rp9 juta yang mereka bayarkan ke Tekong adalah hasil meminjam. Ia berniat saat sampai di Malaysia dan bekerja, nantinya uang yang dipinjam itu akan mereka kembalikan. Namun, nyatanya uang pinjaman tersebut jadi beban lainnya saat mereka pulang ke kampung halaman.
Uang Hasil Pinjaman
Mereka mengaku takada pekerjaan tetap di kampung. Mereka hanya kerja serabutan. Tak punya ladang untuk ditanam hanya menunggu orang membutuhkan tenaga mereka.
“Kadang kalau ada orang mau bercocok tanam, dia panggil kita. Sehari itu paling dikasih sarapan sama makan siang, terus diupah Rp30 ribu. Bagaimana kita mau bayar hutang lagi,” kata Abdillah.
Abdillah mengaku, jika berangkat secara resmi ia diminta biaya lebih mahal, bisa mencapai belasan juta. Abdillah pernah masuk ke Malaysia, namun 2019 akhir, ia ditangkap oleh polisi karena tak memiliki izin tinggal. Ia dideportasi dan dilarang maauk kembali ke Malaysia. Keadaan di kampung yang tak bisa memenuhi kebutuhan keluarganya membuat ia nekat menempuh jalur gelap itu lagi.
“Kalau di Lombok itu, kita kalau enggak ke Malaysia bangun rumah itu susah. Ringgit itulah bisa buat hidup keluarga kita di sana senang. Kita cuma incar tukarannya saja,” kata pria bertubuh tambun itu.
Saar ditanya apakah mereka jera masuk ke Malaysia? Mereka bingung, karena takada pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tulisan ini merupakan hasil wawancara Muhamad Ishlahuddin, reporter Ulasan.co dengan para korban tenggelamnya kapal pembawa PMI ilegal, di perairan Pulau Putri, Nongsa, Batam, Kepulauan Riau Kamis, 16 Juni 2022, silam.