JAKARTA – Penerapan hukum terhadap seorang mahasiswa Universitas Indonesia (UI) MH.Syaputra, yang tewas sebagai tersangka dalam peristiwa tabrakan di sekitar Kampus UI Depok pada Oktober lalu, memunculkan polemik.
“Ia sebagai tersangka karena kelalaiannya dalam mengendarai sepeda motor, mengakibatkan dirinya meninggal, ” ungkap Direktur Lalulintas Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya (Dirlantas PMJ) Kombes Latif Usman kepada wartawan, Jumat (27/01/2023).
Pernyataan pihak kepolisian yang dimuat sejumlah media tersebut, mendapat reaksi beragam dari masyarakat. Netizen mempertanyakan mengapa si mahasiswa yang sudah meninggal masih dinyatakan sebagai tersangka.
Sebagian netizen pun sangat menyesalkan sikap polisi, sekaligus menduga, apa karena yang “menabrak” seorang purnawirawan Polri berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP).
Secara hukum, sang purnawirawan ini memang merasa di jalur yang benar ketika peristiwa nahas tersebut terjadi. Hal ini sesuai penyelidikan dan penyidikan laka lantas.
Tetapi Ditlantas PMJ dalam menetapkan korban menjadi tersangka, mengusik logika hukum di masyarakat. “Sudah meninggal kok masih jadi tersangka”.
Pendekatan prosedural hukum yang sangat kental dilakukan Polri itu, tanpa melihat aspek psikologis keluarga korban yang sudah kehilangan nyawa anaknya.
Restorative Justice
Seharusnya Polri melakukan pendekatan Restorative Justice atau kompromistis, antara si purnawirawan dengan keluarga korban. “Sehingga bisa dicapai win-win solution,” tutur salah seorang netizen.
Sebab menurut Pasal 77 KUHP: Hak menuntut hukum gugur (tidak laku lagi) lantaran si terdakwa meninggal dunia. Apabila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir dari pengadilan, maka hak menuntut gugur. Jika hal ini terjadi dalam taraf pengusutan, maka pengusutan itu dihentikan.
Peristiwa itu terjadi di Jalan Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, wilayah seputar Kampus UI, pada 6 Oktober 2022 sekira pukul 01.30 WIB.
Dirlantas PMJ Kombes Latif Usman mengatakan, saat kejadian cuaca dalam kondisi hujan dan jalan licin. Korban HAS, saat itu mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan 60 km/jam. Ini berdasarkan keterangan teman korban yang ada di belakangnya.
“Jadi temannya dia sendiri menerangkan, bahwa pada saat itu tiba-tiba ada kendaraan di depannya [korban] mau belok ke kanan. Sehingga si korban melakukan pengereman mendadak,” terang Latif kepada wartawan.
Akibat mengerem mendadak, kendaraan korban pun tergelincir. Setelahnya, kendaraan korban berpindah lajur ke jalan yang berlawanan arah.
Di saat yang sama, AKBP (Pur) Eko Setio Budi Wahono (ESBW) tengah mengendarai mobilnya Pajero Sport dengan kecepatan 30 km/jam di lajur yang berlawanan dengan kendaraan korban.
“Nah, pak Eko dalam waktu ini sudah tidak bisa menghindari karena sudah dekat. Jadi memang bukan terbentur dengan kendaraan Pajero, tapi korban dan kendaraanya jatuh ke kanan diterima [tertabrak] oleh Pajero, sehingga terjadilah kecelakaan,” paparnya.
Runutan kejadian ini berdasarkan keterangan para saksi. Termasuk, bukti yang dikumpulkan, seperti bekas jatuh kendaraan, titik tabrak, dan sebagainya.
Mediasi Gagal
Disampaikan Latif, usai kecelakaan sempat diupayakan proses mediasi antara pihak keluarga HAS dengan Eko. Namun, mediasi ini tidak menghasilkan titik temu.
Akhirnya, kepolisian pun melanjutkan proses hukum dengan melakukan gelar perkara. Hal ini dilakukan demi kepastian hukum.
Hasil gelar pekara, pihak kepolisian menetapkan HAS yang merupakan korban tewas dalam insiden ini sebagai tersangka. Alasannya, karena korban lalai dalam berkendara sehingga menyebabkan dirinya meninggal dunia.
Di sisi lain, Latif menyebut bahwa Eko tidak bisa dijadikan tersangka berdasarkan sejumlah pertimbangan. Salah satunya, ia berada di jalur yang benar.
“Dalam posisi hak utama jalan, Eko ada di jalan utamanya dia. Jadi dia [korban] istilahnya yang merampas hak lain. Karena Eko berada di lajurnya. Ini kan cuma dua arah, dan pas jalannya kanan-kiri sesuai dengan aturannya. Eko berada di hak utama jalannya,” Latif menambahkan.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kasus ini dihentikan dan telah diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), karena tersangka telah meninggal dunia.
“[Kami] mengambil kesimpulan, kasus ini SP3,” ucapnya.
Sebelumnya anggota tim advokasi keluarga korban, Indira Rezkisari membenarkan penetapan HAS sebagai tersangka.
Ia menyebut, informasi penetapan HAS tersangka berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) terkait kasus kecelakaan tersebut.
Dalam surat itu, juga turut dilampirkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3). Sebab, HAS yang berstatus sebagai tersangka telah meninggal dunia. (*)