JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih nyaman bersama Calon Presiden (Capres) Prabowo Subianto, ketimbang dengan Capres Ganjar Pranowo. Meski pun Ganjar satu partai dengan Jokowi, akan tetapi Ganjar lebih dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri.
“Drama Politik ini belum selesai, masih panjang. Mungkin klimaknya tanggal 25 Oktober 2023. Akan tetapi sutradaranya siapa lagi, kalau bukan Jokowi. Hampir dekade ini Jokowi tampil lebih kuat, setelah Presiden Soekarno,” kata Wakil Ketua SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos dalam diskusi yang digelar PARA Syndicate di Jakarta, Minggu, 15 Oktober 2023.
Diskusi menyoroti Jokowi ini dipandu Peneliti PARA Syndicate, Lutfia Harizuandini. Para pembicara yang diundang Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo, Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara Petrus Selestinus, dan Direktur Lingkar Madani Ray Rangkuti.
Lebih lanjut Bonar menyatakan, Jokowi percaya bahwa Prabowo lebih mudah dikontrol ketimbang Ganjar. “Ini menyulitkan bagi Jokowi. Hubungan Ganjar dekat Megawati. PDIP juga gak puas dengan Jokowi, jabatan empat menteri koordinator ada gak dipegang PDIP. Jabatan Menteri Dalam Negeri, Menteri BUMN dan ESDM tidak ada dipegang PDIP.
Sejak awal Puan (Puan Maharani-red) ingin maju tapi dukungan terhadap dirinya rendah. Saya akui pak Jokowi orang piwai politik. Organisasi HTI dan FPI dibubarkan. Bagaimana Gatot Nurmantyo (Panglima TNI) disingkirkan oleh Jokowi,” tukas Bonar.
Politik Dinasti
Diakui, Jokowi selama berkuasa membangun politik dinasti dengan terpilihnya Gibran Rakabuming Raka menjabat Wali Kota Solo, dan menantunya Bobby Nasution menjabat Wali Kota Medan.
Bonar mengemukakan, politik dinasti (biasanya) terjadi setelah tidak berkuasa. Berbeda dengan Jokowi, baru enam tahun berkuasa sudah membuat anak dan menantunya menjabat Wali Kota Solo dan Medan.
“Anak dan mantunya maju karena Jokowi Presiden. Setidaknya 20-30 persen memilih karena bapak atau mertuanya (Jokowi). Orang ini bukan hanya kuat, tetapi pandai dalam memainkan politik,” ujarnya.
Diakui, sejak awal Jokowi berupaya memainkan strategi berkuasa dengan menginginkan tiga periode. Namun keinginan itu ditolak DPR di parlemen.
Bonar melanjutkan, (jadi) Jokowi ingin melenggangkan kekuasaannya seperti Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew melakukan suksesi kepemimpinan dengan mengganti dirinya dengan putranya Lee Hsien Loong.
Dalam pada itu Bonar mengingatkan, Jokowi tidak memaksakan kehendaknya ingin memajukan anaknya maju sebagai Cawapres mendampingi Prabowo.
“Besok tidak tahu putusannya seperti apa, akan tetapi MK (Mahkamah Konstitusi-red) lagi mendapat tekanan, menolak atau mengabulkan hasil judicial review,” katanya.
Diakui Bonar, adalah hak asasi setiap orang dipilih, tapi dalam negara demokrasi tidak seperti itu, harus ada keterangan tambahan yang menjadikan syarat untuk maju sebagai Capres atau Cawapres. Secara beragumentasi memungkinkan untuk dikabulkan, tapi kalau dikabulkan akan terjadi tekanan, apakah ini bisa disadari Jokowi.
“Kalau seperti ini dia (Jokowi) berpikir ulang, sudahlah Gibran ke Jakarta atau ke Jawa Tengah, atau menjabat menteri. Itu bisa saja. Drama politik ini adalah kawan atau lawan. Kalau tetap memaksakan, ini blunder besar. Relawan Jokowi sekitar 60 persen memiliki massa yang mendukung Ganjar, dan kalau 40 persen yang mendukung Jokowi tidak punya massa,” ujarnya.
Relawan Ganjar
Diakui Bonar, relawan Jokowi pendukung Ganjar itu bukan karena uang, tapi kalau aktivis yang suka main-main, jelas tergantung kepentingan uang dalam memberi dukungan bukan untuk Ganjar.
“Tapi relawan yang mendukung Ganjar ini sulit, tidak punya uang, namun mereka orang yang punya massa dan solid. Semua kembali kepada pak Jokowi, mudah-mudahan pak Jokowi berpikir ulang kalau pressure (tekanan-red) seperti ini untuk memajukan cawapres Gibran,” ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Petrus Selestinus mengemukakan, Mahkamah Konstitusi (MK) bisa dibuktikan sekarang (jadi) Mahkamah Keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemohon judicial review atau uji materi Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia Capres dan Cawapres.
Diakui Petrus, hasil putusan MK syarat dengan kepentingan Jokowi. Pasalnya, Ketua MK Anwar Usman menikahi adiknya Jokowi, yakni Idayati.
“Yang digugat disitu keponakan dan oom. Maka Anwar Usman dia harus mundur besok, sebelum dimulai sidang mundur harus dari perkara ini. Betapa rusaknya undang-undang kita, di periode ke dua Presiden Jokowi,” ujar Petrus. (*)