BATAM – Gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus), berujung pada hasil putusan yang menuai kritikan dari berbagai pihak.
Pasalnya, salah satu poin dari amar putusan itu menyatakan, menghukum pihak tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan (02/03/2023), dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari, yang artinya jatuh pada 9 Juli 2025.
Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid secara tegas mengkritik putusan tersebut dengan menyatakan PN Jakpus tidak memiliki kewenangan atau kompetensi absolut dalam menangani perkara yang melibatkan KPU dengan partai politik (Parpol).
“Merujuk kepada aturan Pasal 470 ayat (1) dan (2) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengarahkan sengketa proses Pemilu itu diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di Pengadilan Negeri (peradilan umum),” kata Hidayat dalam keterangan resmi yang dirilis MPR-RI, Jumat (03/03/2023).
Dijelaskan, secara spesifik telah diatur apabila ada sengketa antara KPU dan Parpol terkait dengan verifikasi, maka diselesaikan di PTUN. “Sangat jelas dan tegas aturannya seperti itu. Jadi PN tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut apalagi dengan amar putusan yang membuat gaduh,” ungkapnya.
Terlebih, lanjutnya, dengan putusan menunda Pemilu hingga 2025 juga jelas sudah mencederai UUD NRI 1945 dan UU Pemilu. Bahwa, Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu berbunyi, Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
“Jika merujuk pada putusan yang membuat Pemilu akan dilaksanakan Juli 2025, berarti melanggar ketentuan UU bahwa Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali. Ini akan terjadi kekuasaan Eksekutif [Presiden dan para Menteri] serta Legislatif [DPR, DPD, MPR] yang tidak memiliki basis legitimasi konstitusional. Memicu chaos politik,” lugas Hidayat.
Ia menambahkan, maka wajar bila para Pakar Hukum Tata Negara (HTN), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dan aktivis yang terhimpun dalam Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), tegas menolak putusan hakim PN Jakpus tersebut.
Menurut Hidayat, putusan yang membuat gaduh ini mestinya tidak dibuat, karenanya penting segera dikoreksi dan dibatalkan di tingkat banding oleh pengadilan tinggi.
Pihaknya mengapresiasi sikap KPU yang langsung menyatakan banding, yang berarti putusan PN itu belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga tahapan Pemilu tetap harus terus dilaksanakan.
“Semoga KPU dapat benar-benar menjadikan peristiwa gugatan ini sebagai koreksi atas celah ketidak profesionalannya, agar tidak terulang lagi pada tahapan Pemilu berikutnya,” tutupnya.
Diketahui, gugatan Partai Prima terhadap KPU didasari atas kesalahan KPU yang dinilai tidak teliti dalam proses verifikasi. Di mana, Partai Prima merasa dirugikan KPU dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi yang menyatakan Partai Prima Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.
Padahal setelah dipelajari dan dicermati oleh Partai Prima, jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan. Partai Prima menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi, yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.
Akibat dari kesalahan dan ketidaktelitian KPU, Partai Prima mengaku mengalami kerugian immateriil yang mempengaruhi anggotanya di seluruh Indonesia. Karena itu, Partai Prima yang dikabulkan gugatannya oleh PN Jakpus, meminta agar KPU dihukum sebagaimana putusan yang dibacakan Kamis (02/03/2023). (*)