BATAM – Ketua Tim Penasehat Hukum terdakwa kasus korupsi pengelolaan anggaran SMK N 1 Batam, Bobson Samsir Simbolon, menyebut bahwa Jaksa tak mampu membuktikan dakwaan terhadap kliennya yakni, Kepala Sekolah SMK N 1 Batam Lea Lindrawijaya, dan Bendahara dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Deni.
Dia mengatakan, sidang lanjutan pembuktian perkara dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan anggaran SMK N 1 Batam telah dilakukan, di Pengadilan Tipikor Tanjungpinang, Kamis (02/02/2023) lalu.
Dalam persidangan itu, Jaksa menghadirkan 18 orang saksi dan 1 orang ahli dari BPKP Perwakilan Provinsi Kepri.
“Kami juga menghadirkan 18 orang saksi yang merupakan guru dan honorer di SMK N 1 Batam, kemudian satu orang ahli yang merupakan Perancang Perundang-undangan dari Biro Hukum Kemendikbud Ristek RI,” ujar Bob, Minggu (05/02/2023).
Ia menilai, selama acara pembuktian, banyak fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Namun, tidak satu pun dari fakta persidangan yang dapat membuktikan dakwaan Jaksa.
Bahkan ahli dari BPKP Perwakilan Kepri tidak dapat menjelaskan laporan hasil perhitungan kerugian negara yang dijadikan salah satu alasan untuk mendakwa para terdakwa.
“BPKP hanya menghitung belanja Dana BOS yang ditunjuk oleh Jaksa saja, tidak dihitung semua belanja Dana BOS pada tahun 2017 sampai dengan 2019. Artinya, audit yang dilakukan BPKP adalah hanya untuk memenuhi selera Jaksa saja,” terangnya.
Ditambahkan, ahli juga tidak pernah memeriksa Komite SMK N 1 Batam, tetapi di dalam laporan BPKP ada perhitungan Dana Komite.
“Auditor BPKP telah menghitung Dana Komite tanpa memeriksa komite yang bersangkutan, dan fakta persidangan sudah membuktikan bahwa di SMK N 1 Batam tidak ada Dana Komite. Sehingga BPKP menghitung Dana Komite yang pada faktanya tidak pernah ada di SMK N 1 Batam,” tergas Bob.
Menurutnya, dari keterangan 36 orang saksi fakta yang diperiksa di bawah sumpah di muka persidangan, maka terungkap bahwa tidak ada dana BOS yang digunakan untuk belanja yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
“Semua belanja dana BOS yang dipermasalahkan oleh Jaksa ternyata sesuai dengan petunjuk teknis [juknis], begitu juga LPJ Dana BOS telah sesuai dengan Juknis,” papar dia.
Terkait Cashback
Bob menuturkan, yang dipermasalahkan Jaksa itu bukan Dana BOS, tetapi cashback yang diterima sekolah dari marketing buku yang belanjanya dari dana BOS.
“Cashback itu ternyata sumbangan dari pihak ketiga yang tidak terikat, sehingga cashback itu bukan uang negara. Bahkan fakta persidangan sudah membuktikan bahwa penerimaan cashback sebesar Rp 132.374.529 itu, serta tercatat dalam pembukuan bendahara sekolah,” jelasnya.
Dirincikan, dana itu digunakan untuk kebutuhan sekolah, menambah pembelian Robotino untuk alat praktik jurusan Elektronika Industri, seragam organisasi Taruna siswa, menambah pembuatan galeri kewirausahaan dan biaya training Management Vokasional.
Dengan tegas ia menyebut, semua yang dikatakan Jaksa di media selama ini tidak satupun terbukti di muka persidangan.
“18 orang saksi yang dihadirkan Jaksa, tidak ada satupun yang menerangkan adanya mark up, nota kosong, penunjukan sepihak oleh Kepala Sekolah. Bahkan semua penyedia barang yang memberikan cashback sama sekali tidak pernah berkomunikasi dengan Ibu Lea [Kepsek]. Jadi bohong itu kalau Jaksa bilang ada mark up, nota kosong dan penunjukan sepihak,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut, belanja yang menggunakan Dana SPP juga semuanya terbukti untuk kebutuhan dan kepentingan sekolah, bahkan Guru SMK N 1 Batam yang dijadikan saksi menerangkan semua belanja itu adalah untuk kebutuhan dan kepentingan sekolah.
“Tidak ada yang fiktif, semua belanja menggunakan dana SPP itu nyata dan telah disetujui oleh Ketua Komite SMK N 1 Batam pada saat itu,” ucap Bob.
Sementara, saksi ahli dari Kemendikbud Ristek RI yang hadir dipersidangan atas permohonan terdakwa, telah menerangkan dan menjelaskan kedudukan hukum dana BOS dan dana SPP sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Di mana kedudukan uang SPP bukan uang negara atau uang daerah yang tercatat di APBN/APBD, berdasarkan UU No 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
“Jadi uang SPP adalah domain sekolah yang dikelola sekolah dengan prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), berdasarkan UU No 25 Tahun 2000 tentang program pembangunan nasional,” imbuhnya.
Menurutnya lagi, sampai hari ini petunjuk teknis penggunanan SPP tidak ada, sehingga sebagai acuan penggunaan SPP SMK N 1 Batam membuat RKAS mengacu pada delapan standar nasional pendidikan.
“Hal ini yang tidak dipahami oleh Jaksa tentang Dana Pendidikan dan fungsi sekolah secara keseluruhan, Managemen Berbasis Sekolah, Merdeka Belajar dan arah pembanguanan Pendidikan itu sendiri,” sambung Bob.
Sebagai Penasehat Hukum terdakwa, ia mengaku menunggu tuntutan dari Jaksa pada sidang selanjutnya, penasaran akan cerita karangan yang bagaimana nanti akan dimuat Jaksa di dalam tuntutannya.
Bob memandang, kalau Jaksa berani jujur seharusnya Jaksa menuntut bebas para terdakwa, tetapi pihaknya yakin itu tidak akan mungkin meskipun fakta persidangan membuktikan bahwa terdakwa sama sekali tidak ada melakukan korupsi seperti yang didakwakan oleh Jaksa.
Bob berani mengatakan, sejak semula pihaknya sudah meyakini bahwa perkara atas kliennya, Lea dan Deni ini adalah by request dan by design.
“Hal itu sangat tepat dan benar adanya berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan. Dalam laporan terjadinya tindak pidana ada nama Bendahara SPP juga yang dilaporkan, tetapi kenapa cuma Ibu Lea dan Ibu Deni yang jadi tersangka? ada apa Jaksa dengan Bendahara SPP,” tutupnya.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam resmi menetapkan Lea Lindrawijaya Suroso dan Deni sebagai tersangka kasus korupsi SMK N 1 Batam, Senin (17/10/2022) sore. (*)