JAKARTA – Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) telah membuka ruang bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) untuk memperkuat konsolidasi sekaligus meningkatkan modal melalui initial public offering (IPO). Dalam beleid tersebut, BPR dapat melakukan penawaran umum di bursa efek dengan syarat dan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyatakan, ketentuan dalam UU PPSK dapat melakukan listed, transfer dana, perluasan kerja sama dengan bank umum ataupun lembaga jasa keuangan lain, serta penyertaan modal terhadap lembaga penunjang BPR.
“Ini tentu saja memerlukan, yang bisa dikatakan penulisan kembali atau rewriting kebijakan kami, supaya memastikan bahwa apa yang dicantumkan dalam UU betul-betul bisa diimplementasikan untuk kemajuan BPR,” tutur Dian dikutip dari Bisnis, Kamis (05/01/2023).
Dijelaskan, salah satu poin terpenting dari UU PPSK adalah menuntut proses konsolidasi lebih cepat. Oleh sebab itu, OJK perlu merumuskan syarat dan ketentuan secara cermat. Tidak hanya berfokus pada kinerja bank, tetapi juga mengutamakan aspek perlindungan konsumen.
“Tentu ada persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh kami di samping bank bisa bekerja dengan baik, tapi juga aspek perlindungan konsumen. Jangan sampai ada yang dirugikan, baik itu investor pasar modal maupun yang terkait dengan transfer dana,” paparnya.
Sejauh ini, lanjut dia, OJK telah melakukan banyak upaya untuk mendorong konsolidasi BPR, di antaranya menetapkan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar paling lambat akhir Desember 2024.
“Walaupun jatuh temponya pada 2024, tetapi kami sekarang melakukan akselerasi dan kami sangat mendorong dengan bekerja sama asosiasi untuk mempercepat konsolidasi BPR. Ini sangat penting bukan hanya untuk BPR tapi juga untuk rakyat,” terang Dian.
Menurutnya, BPR cukup dibutuhkan dalam layanan keuangan masyarakat, khususnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Oleh karena itu, OJK menilai dibutuhkan langkah-langkah sistematis untuk memperkuat BPR.
Catatan OJK, saat ini terdapat 1.612 BPR di Indonesia. Jumlah ini dinilai Dian kurang efisien karena beberapa grup BPR baik pemilik individu maupun perusahaan, memiliki BPR lebih dari 1 bahkan hingga 10.
“Selanjutnya, ini akan kami dorong terus untuk melakukan merger, sehingga hanya akan ada 1 BPR oleh satu pemegang saham pengendali,” ujarnya.
Merujuk Laporan Profil Industri Perbankan Indonesia yang dirilis OJK, total aset BPR sampai dengan akhir September 2022 mencapai Rp175,65 miliar. Realisasi ini meningkat sebesar 8,18 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. (*)