JAKARTA – Proses pengurusan sertifikat tanah di kebanyakan kantor pertanahan sangat berbelit-belit dan tidak seragam. Di kantor pertanahan di Jakarta misalnya, formulir permohonan tidak diizinkan diisi tulisan tangan. Padahal tidak diketahui ada aturan resminya.
“Pelaksanaan pengurusan E-Sertifikat terasa berbelit-belit,” ujar advokat Dr. Ir. Albert Kuhon, MS, SH, saat dihubungi pers Selasa, 2 Juli 2024 petang. Ia dimintai komentar tentang pelaksanaan E-sertifikat di lingkungan Kementerian Agraria, Tata Ruang dan Badan Pertanahan (ATR BPN).
Diketahui, sejak akhir Mei 2024 pihak BPN mulai melaksanakan proses E-sertifikat pertanahan.
“Terlalu terburu-buru, aparat maupun perangkat di lingkungan kantor pertanahan belum betul-betul siap melaksanakan E-sertifikasi,” ujar Kuhon yang biasa mendampingi klien yang hadapi masalah pertanahan.
Dikatakan, hal itu tampak di sejumlah kantor pertanahan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, DKI Jakarta dan beberapa wilayah lain yang sudah dikunjunginya. “Di kantor-kantor pertanahan di Jakarta, pemberlakuan E-sertifikat dimulai sejak 31 Mei 2024. Di beberapa wilayah Jawa Tengah mulai diberlakukan Juni-Juli ini,” tuturnya.
Dari pengalamannya, banyak klien yang ragu-ragu mengurus sertifikat baru, karena khawatir mengenai pengamanan database (pusat data BPN). Sebagian lagi, merasa enggan mengurus E-sertifikat karena prosedurnya lebih rumit dari prosedur biasa.
“Mengurus sertifikat biasa saja sangat berbelit-belit, apalagi menggurus E-sertifikat,” ujar Kuhon.
Diungkapkan, selain sangat berbelit-belit, proses pengurusan sertifikat tanah di kebanyakan kantor pertanahan pun tidak seragam. Berbeda dengan kantor-kantor pertanahan di Jakarta, dalam pengisian formulir permohonan yang tidak boleh dengan tulisan tangan; Di kantor-kantor di Jawa Tengah dan Lampung, formulir pertanahan masih bisa diisi dengan tulisan tangan.
“Di Kantor Pertanahan Jakarta Timur, saya pernah terpaksa mengulang prosesnya karena loket di sana tidak mau menerima formulir yang diisi dengan tulisan tangan,” tutur mantan wartawan senior media nasional itu.
Bantu Teman
Ia juga bercerita, pernah membantu bekas teman kosnya di Yogyakarta, mengurus perpanjangan sertifikat Hak Guna Bangunan di salah satu kantor pertanahan di Jakarta. Temannya tinggal di luar kota. Kuhon terpaksa harus bolak-balik sepuluh kali ke kantor pertanahan tersebut, karena selalu ada kekurangan kelengkapan dokumen.
“Setiap kali kekurangan dipenuhi, muncul kekurangan lain. Misalnya, fotokopi KTP harus berwarna. Padahal sebelumnya tidak dipersyaratkan begitu,” ujarnya.
Staf kantor pertanahan juga menyuruh Kuhon mengurus data kependudukannya di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Katanya, data kependudukannya tidak sesuai dengan data yang ada di Dinas Dukcapil. “Apa hubungannya dengan isi sertifikat yang diurus. Saya kan hanya membantu teman saya yang jadi pemilik tanah tersebut,” tuturnya terkekeh-kekeh.
Foto Batas
Lain lagi terkait Foto Batas Tanah, salah satu lampiran yang dipersyaratkan untuk pendaftaran permohonan penetapan batas (pengakuran). Ada kantor pertanahan yang membolehkan lampirannya berupa foto biasa. Tetapi ada juga yang mempersyaratkan bahwa foto batas harus berisi keterangan tentang koordinat lahan. Sehingga pemotretan harus dilakukan mengunakan kamera yang bisa dioperasikan dengan aplikasi geotagging.
Selain itu, ada juga kantor pertanahan mempersyaratkan, pemilik atau kuasa pemilik harus ada dalam foto berkoordinat. “Setelah menyerahkan foto berkoordinat, saya diminta mengulangi pengambilan foto. Katanya, harus ada gambar pemilik lahan atau kuasa pemilik lahan yang menunjukkan batas tanah,” Kuhon menambahkan.
Ia sangat berharap, prosedur dan persyaratan pendaftaran pengukuran atau permohonan sertifikat tanah harus tuntas dijelaskan. Hal tersebut agar tidak timbul kesan, instansi ini sengaja mempersulit masyarakat. (*)