JAKARTA – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendeteksi adanya kontaminasi bahan aktif obat atau APIs, yakni paracetamol dan amoxilin. Bahan aktif obat ini ditemukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu, Jawa Barat (Jabar).
Temuan ini terungkap dari hasil penelitian dilakukan dengan penghitungan banyak aspek, seperti konsentrasi bahan aktif obat yang diminum, frekuensi obat, jumlah obat yang dikonsumsi, dan berapa lama masa sakit responden dalam setahun.
“Hasilnya untuk bahan kimia aktif dapat dilihat, bahwa ternyata paracetamol dan amoxilin menjadi APIs dengan penggunaan paling besar di DAS Citarum Hulu,” ungkap Peneliti Kelompok Riset Ekotoksikologi Perairan Darat, Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air, BRIN, Rosetyati Retno Utami dalam keterangan di laman resmi BRIN, Senin, 8 Juli 2024.
Apa Risiko?
Apa risiko saat perairan tercemar bahan aktif obat?
Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof Zullies Ikawati mengatakan risiko dari kontaminasi bahan aktif, seperti paracetamol dan amoxilin, mungkin saja ada. Apa saja dampak yang muncul, menurutnya, dipengaruhi konsentrasi cemaran yang ditemukan di perairan.
“Untuk paracetamol, jika sangat kecil mungkin belum akan memberikan efek signifikan terhadap lingkungan biota perairan, maupun orang yang mengkonsumsi air sungai tersebut (bila ada),” jelas Prof Zullies saat dihubungi detik.com, Senin, 8 Juli 2024.
Tetapi untuk antibiotik, perlu perhatian lebih. Karena antibiotik ini dapat membunuh mikroorganisme yang ada di perairan tersebut, tetapi tergantung dari dosisnya,” sambungnya.
Prof Zullies menjelaskan adanya paparan antibiotik dapat menyebabkan musnahnya bakteri-bakteri baik, yang mungkin diperlukan oleh lingkungan. Seperti bakteri untuk pembusukan dan lain sebagainya.
Di sisi lain, paparan antibiotik ini dapat memicu terjadinya mutasi bakteri. Hal itu bisa membuat bakteri resisten terhadap obat antibiotik.
“Hal ini cukup berbahaya jika bakteri patogen tersebut menginfeksi manusia, dan kebetulan adalah bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Maka, penyakit infeksi menjadi lebih sulit disembuhkan dan memerlukan antibiotik yang lebih kuat dan kadang lebih mahal,” tuturnya. (*)