BATAM – Kecelakaan kerja di PT Fuyuan Plastic Industry, Tanjung Uncang, Batam yang menimbulkan korban jiwa, pada Kamis, 15 Februari 2024 lalu adalah sebuah tragedi yang menimbulkan keprihatinan yang mendalam. Ini menjadi contoh yang sangat nyata dari buruknya penerapan K3 di tempat kerja industri di Kota Batam.
Menurut Dr. Parningotan Malau, selaku Anggota Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Kepri, yang juga Presiden Kepri Lawyers Club (KLC) Indonesia, Ketua DPD Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) Kepri, Praktisi dan juga Dosen Magister Hukum di Kampus Unrika, bahwa ketentuan dan syarat K3 di tempat kerja telah diatur sedemikian rupa agar tercipta lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi para pekerja.
“Namun sayangnya, perusahaan sering kali tidak mematuhi standar yang telah ditetapkan, yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja yang fatal,” kata dia.
“Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan kerja yang sering terjadi di Indonesia adalah pengabaian terhadap aturan yang telah ditetapkan,” Imbuhnya.
Ia menyebutkan, Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1970 dengan jelas mengatur bahwa pengurus perusahaan di tempat kerja wajib memerhatikan berbagai ketentuannya, mulai dari huruf a sampai huruf r. Ketentuan yang berlaku di tempat kerja termasuk pada bagian dimana dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas, peralatan, atau instalasi yang berbahaya atau yang dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran, atau peledakan.
Peraturan perundangan-undangan juga telah mengatur syarat-syarat K3, mulai dari penggunaan perlindungan diri, pengangkutan barang, bongkar muat, perlakuan, dan penyimpanan barang.
“Kondisi lingkungan kerja perlu diperhatikan dan diawasi dengan ketat. Salah satu penyebab terjadinya kecelakaan kerja adalah karena tidak dipatuhinya jarak aman mesin produksi dengan jalan kerja pesawat angkut forklif serta muatannya. Jika perusahaan dapat memperhatikan ketentuan dan syarat jalur forklift dan jarak aman terhadap mesin produksi, kecelakaan kerja dapat dihindari,” ungkapnya.
Dalam hal ini, Dr. Parningotan Malau menganggap tindakan yang dilakukan oleh pengurus perusahaan sebagai tindak pidana, yaitu delik kelalaian atau kealpaan yang mengakibatkan korban meninggal sebagaimana dimaksud Pasal 359 KUHP.
“Jika perusahaan tidak mematuhi aturan-aturan K3 dan mengakibatkan kematian seseorang, pengurus perusahaan dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun,” ujar dia.
Menyikapi kejadian ini, Dr. Parningotan Malau sangat berharap agar perusahaan senantiasa memperhatikan ketentuan dan syarat-syarat K3 demi menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para pekerjanya.
Lebih lanjut, ia meminta pihak yang berwenang, dalam hal ini pengawas ketenagakerjaan (K3) Dinas Tenaga Kerja untuk melakukan investigasi secara menyeluruh, dan mengambil langkah tegas sesuai dengan peraturan perundang-undangan K3 yang berlaku.
Di sisi lain, Dr. Parningotan Malau juga sangat berharap agar kasus ini ditangani dengan serius oleh penyidik kepolisian, sehingga dapat segera dilimpahkan ke pengadilan dan diberikan vonis maksimal sebagai upaya untuk memberikan efek jera. Hal ini harus dijadikan contoh agar kedepannya tidak terjadi kejadian serupa yang berdampak kepada para pekerja / buruh.
“Dalam Konteks K3, pihak terkait harus memperhatikan perlindungan hak asasi manusia. Pasal 28 D ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945, menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja,” beber dia.
“Selain itu, K3 merupakan salah satu isu penting dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB maupun Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” pungkasnya. (Tim)