JAKARTA – Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) menerbitkan Peraturan Nomor 12 Tahun 2024. Isi peraturan tersebut, antara lain tentang dibebaskannya Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Peraturan yang ditandatangani Menteri Nadiem Anwar Makarim tanggal 25 Maret 2024 itu, menurut Kak Berthold Sinaulan, Wakil Ketua Kwartir Nasional/Kakom Humasinfo masa Bakti 2018-2023), tidak perlu ditanggapi berlebihan.
Kepada HMSTimes , Senin, 1 April 2024 di Jakarta, penerima anugerah Pingat Perkhidmatan Gemilang dari Malaysia ini menyatakan, sebenarnya kegiatan ekstrakurikuler kepramukaan bukan dicabut sepenuhnya. Dalam peraturan terbaru itu, kepramukaan sebagai ekstrakurikuler di sekolah tetap ada, tetapi dilaksanakan sukarela sesuai keinginan peserta didik.
Selain kepramukaan, juga ada ekstrakurikuler pilihan lain yang dibebaskan yakni Palang Merah Remaja (PMR), Latihan Kepemimpinan Siswa (LKS), Unit Kesehatan Sekolah (UKS), Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra), sampai Kegiatan Ilmiah Remaha (KIR), dan berbagai latihan olah minat dan olah bakat, mulai dari beragam macam jenis olahraga sampai kegiatan seni budaya.
Memang peraturan terbaru itu antara lain mencabut Peraturan Mendikbud Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pendidikan Kepramukaan sebagai Kegiatan Ekstrakurikuler Wajib pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Berthold Sinaulan juga menyayangkan pihak yang bereaksi dan terkesan cenderung menyudutkan Kwarnas, karena dianggap tidak mampu “melobby” Mendikbudristek, sehingga akhirnya kegiatan pendidikan kepramukaan tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib.
Menurutnya, reaksi macam itu agak aneh. Justru sebagai anggota Gerakan Pramuka, kita merasa bersyukur, bahwa kepramukaan tidak lagi menjadi ekstrakurikuler wajib. Selama ini, dengan menjadi ekstrakurikuler wajib, pendidikan kepramukaan di sekolah-sekolah telah menimbulkan persoalan.
Masalah utama, kurangnya tenaga pendidik yang mampu memberikan pendidikan kepramukaan secara benar. Pendidikan kepramukaan seyogyanya diajarkan mereka yang benar-benar mumpuni dan matang sebagai Pembina Pramuka, melalui kursus-kursus Pembina Mahir dan pengalaman di berbagai latihan kepramukaan. Agak sulit mengharapkan guru-guru untuk “diubah” menjadi Pembina Pramuka, karena mereka sudah terbebani banyak sekali materi ajar dan hal lain yang wajib mereka lakukan, ungkap Berthold mantan Wartawan Senior Harian Suara Pembaruan.
Dikatakan, apalagi ekstrakurikuler kepramukaan wajib itu juga aplikasinya banyak sekali. Ada model aktualisasi dan blok yang menjadi tanggung jawab guru, dan ada pula model reguler yang dilaksanakan oleh Pembina Pramuka di gugus depan yang berpangkalan di sekolah bersangkutan. Akibatnya, kegiatan ekstrakurikuler wajib kepramukaan menjadi seadanya.
Alam Terbuka
Menurutnya, kegiatan pramuka yang benar, mengandung unsur pendidikan dan sedapat mungkin dilaksanakan di alam terbuka, di luar kelas-kelas sekolah.
Itulah sebabnya, kepramukaan dalam Bahasa Inggris disebut “ Scouting ”. Bila dilihat dari kata itu, maka yang mengemuka adalah kata “ outing ”, berkegiatan di alam terbuka.
Kepramukaan juga harus mampu membantu memberikan bekal pendidikan kepada kaum muda, melengkapi pendidikan informal di lingkungan keluarga dan pendidikan formal di sekolah. Kata kuncinya adalah “melengkapi”. Kepramukaan memang untuk melengkapi, sehingga wajar saja bila menjadi ekstrakurikuler pilihan dan bukan wajib.
Sebagai ekstrakurikuler pilihan, kepramukaan tetap dapat menampung minat para siswa. Untuk itu saatnya bagi Kwarnas dan seluruh jajaran Kwartir Gerakan Pramuka menyiapkan berbagai kegiatan yang lebih menarik, sehingga siswa menjadi ingin ikut kegiatan aktif kepramukaan.
Peraturan baru ini juga bisa menepis, kurikulum kepramukaan dilaksanakan “asal ada”, tanpa mempedulikan mutu. Bahkan di cukup banyak sekolah, yang penting siswa berseragam Pramuka. Soal ada atau tidak ada kegiatan kepramukaan, tak terlalu diperhatikan, Kak Berthold berujar. (*)