JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan membantah pernyataan Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN), Thomas Lembong, soal pabrik mobil listrik Tesla di China yang tak lagi memakai material nikel.
Disebutkan, Tesla yang mulai mensubtitusi nikel untuk memproduksi baterai kendaraan listrik dengan lithium ferro phosphate (LFP) memang tak sepenuhnya keliru. Namun yang harus digarisbawahi, kata Luhut, pabrik Tesla di China sejauh ini masih tetap mengandalkan nikel untuk pembuatan baterai lithium. “Tidak benar pabrik Tesla di Shanghai menggunakan 100 persen LFP untuk mobil listriknya. Mereka masih tetap menggunakan nikel based baterai,” ujar Luhut dalam video yang diunggah di akun Instagram pribadinya dikutip pada Kamis, 25 Januari 2024 seperti dilansir kompas.com.
“Jadi, seperti suplai nikel based baterai itu dilakukan oleh LG Korea Selatan untuk model mobil listrik yang diproduksi Tesla di Shanghai,” kata dia lagi.
Ia mengakui, penggunaan LFP untuk memproduksi baterai kendaraan listrik memang mengalami tren kenaikan. Karena itu pula, Pemerintah Indonesia terus mendorong hilirisasi nikel agar komoditas ini bisa terus bersaing dalam jangka panjang. “Memang ada yang mulai LFP karena penelitian mengenai LFP makin berkembang. Ya memang satu ketika tidak tertutup kemungkinan nikel ini makin kurang penggunaannya, makanya kita juga harus genjot juga. Tapi dengan tadi yang terukur,” jelasnya.
Pengembangan LFP
Bahkan, klaim Luhut, Indonesia juga kini tengah menjajaki pengembangan LFP bersama dengan China. Pemerintah juga terbuka untuk bekerja sama dengan negara-negara lainnya.
“Nah kita bersyukur LFP juga kita kembangkan dengan Tiongkok. Tadi lithium baterai juga kita kembangkan dengan China maupun dengan lain-lain,” ucap dia.
Menurut mantan Dubes Indonesia untuk Singapura itu, hilirisasi adalah kunci Indonesia mengendalikan sumber daya alamnya sekaligus jadi upaya mendongkrak devisa ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
Namun menurut Luhut, tren harga nikel tersebut harus dilihat secara jangka panjang. Karena semua komoditas tambang adakalanya mengalami fluktuasi. “Anda harus lihat data panjang 10 tahun. Kan Anda pebisnis juga. Kan siklus dari komoditi itu naik turun. Apakah batu bara, nikel, timah, atau emas. Apa saja,” ucapnya.
“Tapi kalau kita melihat selama 10 tahun terakhir ini, harga nikel dunia itu di 15 ribuan dollar AS (per ton). Bahkan pada 2014-2019, periode hilirisasi mulai dilakukan, harga rata-rata nikel itu cuma 12 ribuan dollar AS.
Mantan Danrem Madiun itu juga mengomentari soal pernyataan Thomas Lembong yang menyebut penurunan harga nikel global terjadi karena penambangan masif oleh Indonesia guna mendukung program hilirisasi. “Saya nggak ngerti bagaimana Tom Lembong ini memberikan statement seperti ini. Bagaimana Anda berikan advice bohong kepada calon pemimpin yang Anda dukung?” beber Luhut. (*)