JAKARTA – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo kompak menyatakan, tekanan ekonomi global kini semakin berat. Hal itu akan membuat potensi pertumbuhan ekonomi dunia stagnan.
Keduanya menyampaikan dalam dua kesempatan yang terpisah. Sri Mulyani menyampaikan saat merilis kondisi APBN kuartal I-2024, sedangkan Perry saat menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2024.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Sri Mulyani mengatakan, kondisi ekonomi dunia saat ini diselimuti ketidakpastian, terutama akibat konflik geopolitik yang memanas, khususnya eskalasi antara Iran dan Israel serta tren suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS) yang masih akan tinggi.
Ketidakpastian ini membuat nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat melemah. Seperti diketahui saat ini nilai tukar Rupiah terus menurun dan per dolar AS menembus Rp16.200. Akibat hal itu, Sri Mulyani pun memasang alarm waspada tinggi.
“Berbagai faktor geopolitik harus diwaspadai, karena akan berdampak pada ekonomi kita,” ujarnya dalam konferensi pers APBN edisi April 2024, seperti dikutip Senin, 29 April 2024.
Pendapatan Turun
Saat awal membuka pemaparan tentang kondisi APBN per kuartal I-2024, Sri Mulyani langsung menyatakan pendapatan negara telah turun 4,1% menjadi Rp620,01 triliun. Ia menyebut tiga kali kata waspada untuk menggambarkan bagaimana pemerintah akan bersikap terhadap tekanan ekonomi global yang saat ini terjadi.
“Kita masih perlu harus waspada terhadap kemungkinan further disruption dari rantai pasok terutama minyak dan gas, terutama di region itu masih fluid, dan kecenderungan harga minyak tinggi memengaruhi ekonomi dan APBN kita, menyebabkan tekanan inflasi,” ia mengingatkan.
Sri Mulyani yang akrab disapa SMI, bahkan tak ragu menyatakan ekonomi dunia akan stagnan, berdasarkan proyeksi berbagai lembaga internasional. Misalnya, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2024 hanya 3,2%, tak berubah dari kondisi pertumbuhan ekonomi 2023 yang juga sama 3,2%.
“Lembaga lain seperti OECD bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia di bawah level yang diprediksi IMF alias 2,9%, sedangkan Bank Dunia lebih rendah lagi,” tuturnya.
Konflik Timteng
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo sampai buka-bukaan terkait pengukuran risiko yang telah anggota Dewan Gubernur BI buat, untuk mengantisipasi dampak yang disebabkan tekanan ekonomi global. Di antaranya rentang ukuran risiko konflik Timur Tengah (Timteng) hingga potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS, Fed Fund Rate.
Terhadap konflik di Timteng, pengukuran risiko itu didasari tiga kemungkinan; pertama skenario dasar atau baseline scenario yang kemungkinannya di atas 75%; lalu risiko potensial dengan probabilitas di sekitar 50%-75%; serta risiko terburuk atau yang ia sebut tail risk dengan probabilitas terjadi di bawah 50%.
Perry mengatakan, untuk baseline scenario, konflik di Timteng ialah retaliasi konflik dilakukan secara terbatas dan tentu akan berdampak kepada terbatasnya potensi kenaikan harga minyak mentah dunia.
Retaliasi adalah tindakan pembalasan di bidang perdagangan antarnegara dalam kerangka WTO yang dilakukan oleh suatu negara sebagai akibat dari tidak tercapainya suatu kesepakatan dalam proses penyelesaian sengketa.
Sedangkan potential risknya ialah eskalasi meningkat secara moderat, dan tail risk eskalasi konflik meluas.
“Namun, lagi-lagi baselinenya adalah tensi retaliasinya secara terbatas yang kita juga asesmen dari berbagai perkembangan ini, dan tentu saja kami harus mampu antisipasi kalau eskalasinya meningkat ke stadium menengah,” ucap Perry.
Suku Bunga Naik
Dengan pengukuran risiko itu, ia akhirnya mengumumkan untuk menaikkan suku bunga acuan BI Rate sebesar 25 bps menjadi sebesar 6,25%. Kebijakan suku bunga acuan BI itu dinaikkan untuk pertama kalinya, setelah sejak Oktober 2023 terus dipertahankan BI di level 6%. Alasannya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan tekanan inflasi.
“Dan tentu saja berbagai risiko itu ditambah perkembangan politik membutuhkan kebijakan-kebijakan yang antisipatif, forward looking dan preemptive. Intinya memitigasi risiko potensial agar dampaknya kembali ke baseline,” tegasnya.
Adapun sejumlah pengukuran risiko terhadap potensi penurunan suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate (FFR), ia sebutkan pertama dalam kategori baseline scenario yang probabilitasnya di atas 75%, yaitu FFR akan turun sekali sebesar 25 basis points (bps) pada kuartal IV atau Desember 2024.
“Dalam skenario kami untuk skenario baseline dengan probabilitas di atas 75%, Fed Fund Rate akan turun sekali di 25 basis points di kuartal IV yang kemudian kemungkinan terjadi pada Desember 2024. Itulah baseline scenario,” tutur Perry.
Untuk potensial risikonya, atau dengan probabilitas 50% sampai dengan 75%, yakni FFR tidak akan turun pada tahun ini. Namun, baru akan turun sebesar 50 bps mulai kuartal I atau kuartal II-2025. Untuk risiko terburuk atau tail risk dengan probabilitas di bawah 50% yakni FFR tetap tinggi lebih lama dan baru turun 25 bps pada 2025.
“Itu lah mengenai probabilitas-probabilitas yang kami lakukan untuk nanti bagaimana memitigasi potential risk agar kembali ke baseline,” ucap Perry.
Tentang kenaikan suku bunga dijelaskan “Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar Rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025 sejalan dengan stance kebijakan moneter yang pro-stability,” ucap Perry. (*