JAKARTA – Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) akan merekomendasikan kepada MPR 2024 – 2029 melakukan kajian mendalam dan menyeluruh terhadap usulan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo menuturkan hal tersebut, Minggu, 18 Agustus 2024, saat membuka Seminar Hari Konstitusi di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta.
Hadir sebagai narasumber Jimly Asshiddiqie, Yudi Latief dan Jimmy F. Usunan. Juga Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid dan Fadel Muhammad.
Diungkapkan, amandemen terhadap UUD 1945 sebelumnya telah mengubah sistem ketatanegaraan secara fundamental. Salah satunya, reposisi MPR yang tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dengan segala kewenangan superlatif yang melekat sebelumnya.
Meski demikian, MPR masih memiliki kewenangan konstitusional tertinggi dalam hal mengubah dan menetapkan UUD, termasuk memberi putusan akhir pada proses pemakzulan (impeachment) terhadap presiden/wakil presiden.
“Setelah 26 tahun reformasi menghantarkan euforia demokrasi, kini mulai muncul wacana untuk mengkaji kembali opsi amendemen terhadap UUD NRI 1945, termasuk dari para tokoh bangsa. Tujuannya untuk mengoreksi kembali hasil amendemen konstitusi yang telah dilakukan selama periode 1999 hingga 2002,” ujar Pimpnan Majelis yang akrab disapa Bamsoet, seperti dilansir detik.com.
Dijelaskan, terkait wacana amendemen UUD NRI 1945, MPR telah mendapatkan beberapa aspirasi. Pertama, amendemen terbatas, terkait kewenangan MPR membentuk PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara). Kedua, penyempurnaan atau pengkajian menyeluruh terhadap UUD Tahun 1945 hasil amendemen sebelumnya.
“Ketiga, kembali ke UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keempat, kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian disempurnakan melalui adendum. Kelima, tidak diperlukan adanya amendemen konstitusi karena UUD NRI Tahun 1945 yang saat ini berlaku masih relevan,” ungkap Ketua DPR RI ke-20 itu.
Ada Kekhawatiran
Bamsoet menerangkan urgensi untuk meninjau kembali konstitusi, salah satunya berangkat dari kekhawatiran, bahwa masih ada banyak celah yang ditinggalkan UUD NRI 1945 yang berlaku saat ini. UUD NRI 1945 pasca reformasi tidak memiliki pintu darurat jika terjadi dispute atau kebuntuan konstitusi dan kebuntuan politik.
Sampai saat ini UUD NRI 1945 belum memiliki ketentuan hukum yang mengatur tentang tata cara pengisian jabatan publik, yang disebabkan hasil Pemilu tidak tepat waktu. Yakni, pergantian anggota DPR dan DPD tanggal 1 Oktober untuk Pileg dan 20 Oktober untuk Pilpres setiap lima tahunnya.
“Bagaimana jika keadaan darurat negara menyebabkan pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselesaikan tepat waktu sesuai perintah konstitusi? Maka secara hukum, tentunya tidak ada anggota legislatif, presiden dan atau wakil presiden yang terpilih sebagai produk Pemilu,” ujar Ketua Dewan Pembina salah satu Ormas Pendiri Partai Golkar ini.
“Dalam keadaan demikian, timbul pertanyaan, siapa yang memiliki kewajiban atau kewenangan hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut?,” ujarnya.
Ditambahkan, idealnya UUD NRI 1945 dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan atau ‘constitutional deadlock ‘. Jika situasi seperti itu benar-benar terjadi, prinsip kedaulatan rakyatlah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya.
Sebagai representasi dari prinsip kedaulatan rakyat, maka seharusnya MPR kembali memiliki kewenangan subjektif superlatif. Sehingga dengan kewenangan tersebut dapat mengambil keputusan atau penetapan-penetapan yang bersifat regeling.
Ketentuan yang bersifat umum, abstrak, mengikat semua orang dan berlaku terus menerus, guna mengatasi dampak dari suatu keadaan yang tidak dapat diantisipasi dan tidak bisa dikendalikan secara wajar. (*)