JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah turun, jelang Presiden Joko Widodo (Jokowi) lengser. Sampai Agustus 2024 totalnya mencapai Rp8.461,93 triliun atau 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB); turun Rp40,76 triliun dibandingkan bulan sebelumnya senilai Rp8.502,69 triliun atau 38,68% PDB.
“Rasio utang per akhir Agustus 2024 yang mencapai 38,49% terhadap PDB, tetap konsisten terjaga di bawah batas aman 60% PDB sesuai UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara,” tulis Kemenkeu dalam Buku APBN KiTA, dikutip Jumat, 27 September 2024.
Meski jumlahnya turun, kondisi itu masih lebih tinggi, dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlahnya naik Rp591,58 triliun dibandingkan total utang pemerintah Agustus 2023 yang mencapai Rp7.870,35 triliun atau 37,84% terhadap PDB.
Naik Tipis
Presiden Jokowi pertama kali dilantik menjadi Orang Nomor Satu di Indonesia pada 20 Oktober 2014, bersama pasangannya Jusuf Kalla (JK). Saat itu utang pemerintah masih Rp2.601,16 triliun, sampai tutup tahun 2014 naik tipis menjadi Rp2.608,78 triliun.
Selama empat tahun memimpin periode pertama, utang pemerintah di era Jokowi konsisten naik hingga 2019 tercatat mencapai Rp4.778 triliun.
Jumlahnya semakin bertambah di periode kedua Jokowi bersama Ma’ruf Amin yang dilantik 20 Oktober 2019.
Utang pemerintah mulai mencapai level Rp8.000 triliun sejak November 2023. Kenaikan utang tertinggi terjadi saat pandemi COVID-19. Saat itu jumlahnya bertambah dari Rp4.778 triliun di 2019, menjadi Rp6.074,56 triliun di 2020 dan terus meningkat.
Meski jumlah utangnya naik, rasio utang pemerintah terhadap PDB berhasil ditekan dari 38,68% di 2020 dan 41% di 2021, menjadi 38,65% di 2022 dan terbaru 38,49 di Agustus 2024.
Batas Aman
Adapun batas aman yang telah ditetapkan yakni 60% PDB sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Kondisi utang pemerintah terkini dari total utang per Agustus 2024 yang sebesar Rp8.461,93 triliun, mayoritas berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.452,56 triliun atau 88,07%. Sisanya 11,93% dari pinjaman Rp1.009,37 triliun.
Untuk utang yang berasal dari penerbitan SBN terdiri dari SBN Domestik senilai Rp6.063,41 triliun dan SBN Valas sebesar Rp1.389,14 triliun. Sedangkan pinjaman berasal dari pinjaman dalam negeri Rp39,63 triliun dan pinjaman luar negeri Rp969,74 triliun.
Dalam dokumen APBN KiTA edisi September 2024, disebutkan per akhir Agustus 2024, kepemilikan SBN domestik didominasi oleh investor dalam negeri dengan porsi kepemilikan 85,5%. Sementara, asing hanya memiliki SBN domestik sekitar 14,5% termasuk kepemilikan oleh pemerintah dan bank sentral asing.
“Lembaga keuangan domestik memegang kepemilikan SBN 41,3%, terdiri atas perbankan 19,2%; perusahaan asuransi dan dana pensiun 18,9%; serta reksadana 3,2%,” dikutip dari dokumen APBN itu.(*)