JAKARTA – Astra International saat ini menjadi nama besar di dunia otomotif Indonesia. Namun siapa sangka pendirinya William Soerjadjaja atau Tjia Kian Liong mengalami kebangkrutan.
Sejak berdiri tahun 1957, Astra sukses menguasai lebih dari 50% pasar mobil di Indonesia. Tak heran, William dan keluarganya mendapat kedudukan terhormat. Sayangnya, saat berada di puncak kejayaan William diterpa badai besar yang membuatnya jatuh tersungkur.
Dilansir dari CNBC Indonesia, 13 July 2024, cerita bermula ketika putra sulungnya, Edward Soerjadjaja, membeli Bank Agung Asia pada 1988. Bank tersebut berubah nama menjadi Bank Summa. Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Grup (2016) menyebut, Bank Summa dalam sekejap tumbuh besar di tangan keluarga Soerjadjaja. Bahkan, masuk ke dalam 10 bank swasta terbaik di Indonesia pada akhir 1990.
Namun, setahun kemudian Bank Summa dilanda krisis. Ini disebabkan karena banyak kontraktor yang gagal membayar cicilan ke bank tersebut. Ditambah lagi, Bank Summa terlilit utang luar negeri mencapai Rp.1,5 triliun.
Tanpa Pertolongan BI
Pada kondisi ini, Bank Summa berada di posisi sulit. Sebab, bank ini tidak diberi pertolongan oleh Bank Indonesia tanpa alasan jelas. Maka, untuk menyelamatkan uang para nasabah, William mengambil keputusan paling memilukan sepanjang hidupnya: menjual 76% kepemilikan saham di Astra International yang kala itu konglomerasi terbesar kedua di Indonesia.
Parahnya, William terpaksa menjual sahamnya di Astra di bawah harga pasar, yang kala itu sebesar Rp10.000, yakni Rp7000-8000 per lembar.
Di balik keputusan tersebut banyak yang mempercayai ada konspirasi besar untuk menjatuhkan William dan Astra.
Menurut Ricardi S. Adnan dalam disertasinya berjudul The Shifting Patronage: Dinamika Hubungan Pengusaha dan Penguasa dalam Industri Otomotif 1969-1998 (2010), ada hubungan antara ketidaksukaan Presiden Soeharto terhadap William dan Astra.
Tidak seperti pengusaha lain yang dekat dan menjadi tangan kanan presiden, William berdiri independen dan sangat menjaga profesionalisme. Bahkan, posisi politik William berseberangan dengan penguasa. Diketahui, pendiri Astra itu dekat dengan Megawati dan menjadi donatur tetap Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Tercatat pula pernah membangun kerjasama bisnis dengan Nahdlatul Ulama dan Gus Dur.
Independensi William ini juga terlihat pada sikapnya yang tidak memanjakan penguasa dengan berbagai hadiah. Astra tidak pernah memberikan diskon kendaraan kepada pemerintah, petinggi militer, dan pejabat pemerintah. Dia juga tidak mau memberi bantuan ketika Bank Duta (milik Keluarga Presiden Soeharto) dilanda kesulitan.
Sengaja Dilemahkan
Sebagaimana dipaparkan Ricardi, mengutip majalah Warta Ekonomi (No 25 th.XI/8 Nop. 1999), mantan anggota DPR, Ichsanuddin Noorsy pun menyebut Bank Summa sengaja dilemahkan dengan mencabut kliringnya. Baginya, Bank Summa dinilai sangat sehat dan kuat. Tidak mungkin bank tersebut tiba-tiba bangkrut.
Dalam wawancaranya kepada Tempo (18 Juli 1999), William juga mengakui secara eksplisit bahwa telah terjadi konspirasi yang menginginkannya keluar dari Astra yang telah dibangunnya.
Sampai sekarang, teori konspirasi kejatuhan Astra ini masih misterius. Memang, tidak ada bukti Presiden Soeharto melarang pemberian bantuan kepada Bank Summa. Alasan logis ketiadaan bantuan Bank Indonesia disebabkan karena bank sentral itu memang tidak lagi memberi bantuan kepada bank swasta. Terakhir kali Bank Indonesia memberi bantuan hanya kepada Bank Duta.
Namun, melihat relasi penguasa-pengusaha yang lazim di era Soeharto, tampak masuk akal kalau William dan Astra, yang bukan kroni Soeharto, berupaya dijegal.
Usai kejadian itu Astra tak lagi milik William. Pilar utama kekayaan William pun runtuh. Keluarganya harus mencari mesin pendulang uang baru. Upaya memasukkan kembali William ke dalam Astra di era Megawati dan Gus Dur pun gagal.
Setelahnya Astra dipegang oleh Putra Sampoerna (14,67%), Bob Hasan (8,83%), Prajogo Pangestu (10,68%), Toyota Jepang (8,26%), Kelompok Salim (8,19%), Usman Admadjaja (5,99%) dan sisanya tersebar di tangan publik. (*)